Pesan Berharga dari Peternak Sapi Perah Belanda
Empat peternak sapi perah Indonesia baru saja selesai mengikuti studi banding atau pelatihan pada peternakan sukses di Belanda. Di sana mereka menemukan bahwa beternak membawa kemakmuran, namun di negerinya tidak. Kesenjangan sangat tampak, ibarat sejauh langit dan bumi.
Mereka adalah Yanto dan Mita Kopiah dari Jawa Timur serta Nenih dan Apid dari Jawa Barat. Para peternak, yang memiliki pengetahuan terbatas dalam tata kelola dan tata laksana usaha peternakan, diutus setelah memenangi kompetisi di bawah program Farmer2Farmer (F2F) yang dijalankan Frisian Flag Indonesia (FFI).
Mengapa ke Belanda? Negara ini adalah salah satu penghasil susu dunia dan terbesar di Eropa dengan kehidupan peternaknya kaya raya dan sejahtera. Selain itu, F2F merupakan program pengembangan susu yang diprakarsai perusahaan induk FrieslandCampina, koperasi susu terbesar dunia yang berpusat di Belanda.
Mereka mengikuti pelatihan untuk belajar tentang aspek penting peternakan sapi perah, terutama terkait standar tata kelola dan tata laksana usaha. Misalnya tentang penyiapan dan pemberian pakan, perawatan dan pemeliharaan ternak, pemerahan, pemuliaan, pemrosesan pupuk kandang, hingga desain kandang.
Wartawan Kompas diundang FFI untuk melihat area peternakan yang menjadi tempat magang bagi empat peternak itu di Friesland, Belanda utara, awal Juli ini. Yanto dan Mita live in di peternakan Paul Sinnige (35). Nenih dan Apid magang di peternakan Minne Holtrop (62).
Baca juga: Peternak Sapi Perah Indonesia Ikuti Pelatihan di Belanda
Paul dan Minne adalah peternak kaya di sana. Minne adalah peternak sapi perah generasi kedelapan keluarga Holtrop dan Paul merupakan generasi keempat keluarga Sinnige. Mereka menguasai lahan masing-masing 100 hektar lebih dengan jumlah sapi perah sekitar 120 ekor hingga 250 ekor seorang.
Kedua peternak sukses Belanda itu memiliki banyak kandang sapi (cow sheds) untuk masing-masing usia. Ada kandang khusus untuk pedet (anak sapi), dara (sapi untuk pembiakan, sapi muda atau belum menghasilkan susu), sapi laktasi (penghasil susu), dan sapi kering (tidak produktif atau sedang hamil).
Seperti umumnya peternak Belanda, Paul dan Minne menggunakan robot pengontrol kondisi fisik dan pakan sapi. Robot akan mengirim sinyal jika sapi sakit atau kekurangan pakan. Mereka juga membangun sistem pemerahan robotik dan komputer yang mengatur keseluruhan. Teknologi ini mahal, satu robot seharga sekitar 200.000-250.000 dollar AS.
Selama magang, sejak 23 Juni - 4 Juli 2019, empat peternak kita menemukan bahwa manajemen peternakan mereka belum tepat dan masih tradisional. Mereka juga menghadapi berbagai kendala, seperti keterbatasan modal, pakan, lahan, pengetahuan, dan teknologi. Muaranya ialah produksi susu sapi rendah.
Baca juga: Peternak Indonesia Terbelit Berbagai Masalah
Mereka terperanjat ketika mengetahui, produksi susu sapi laktasi di peternakan Paul dan Minne berkisar 30-40 liter/hari. Bahkan sapi-sapi tertentu atau unggul bisa menghasilkan 45-50 liter per hari. Fantastis!
Sapi laktasi milik keempat peternak itu, seperti umumnya peternak sapi perah rakyat Indonesia, hanya memproduksi susu sekitar 10-15 liter per hari. Produksi menaik menjadi 17-20 liter per hari setelah mereka menjadi anggota koperasi binaan FFI dalam bingkai inisiatif F2F, program yang dimulai pada 2013.
Elemen terpenting
Bagaimana produksi susu Paul dan Minne meningkat? Kuncinya ialah suplai pakan dan perawatan. Mereka mengatakan, rumput adalah elemen terpenting peternakan sapi perah sehingga harus selalu tersedia di tempat yang mudah dijangkau sapi setiap saat. Setelah rumput, barulah sapi disuguhi konsentrat sesuai takaran.
“Yang kami lakukan berbeda, selalu menjadwal ketat pemberian pakan. Rumput diberikan pada waktu pagi, siang, dan sore. Satu ekor sapi dijatahi 40 kg rumput hijau per hari. Seharusnya rumput disediakan setiap saat dan tak dibatasi. Kami lebih dulu memberikan konsentrat, baru rumput. Praktik itu salah,” kata Apid.
Ketersediaan rumput hijau di peternakan Paul dan Minne melimpah karena lahan hijauan sangat luas. Pada saat paceklik, seperti musim dingin dengan suhu beku atau saat Eropa dilanda gelombang panas (heat wave) sapi tetap takkan kekurangan pakan meski tak ada hijauan.
“Keadaan luar biasa itu selalu kami antisipasi. Kami menyetok silase sebagai makanan cadangan saat ada kejadian luar biasa akibat gangguan alam,” kata Paul, yang secara secara terpisah diamini Minne.
Silase adalah pakan berkadar air tinggi hasil fermentasi rumput hijau dan atau daun jagung. Silase dibuat dengan cara memadatkan potongan hijauan dan menumpukkannya di silo, gudang, atau tempat tertentu lalu ditutup plastik atau membungkusnya rapat seperti membentuk gulungan besar (bale).
Peternak Indonesia tidak menyediakan silase karena kesulitan rumput hijau akibat lahan sempit. “Pada musim hujan saja kami kesulitan rumput, apalagi di musim kemarau,” kata Apid yang memiliki lahan hanya seluas 200 are untuk menampung 17 ekor sapinya.
Kondisi itu menurut mereka umum dialami peternak di Indonesia. Mereka harus mencari rumput ke daerah lain dengan ongkos mahal, yakni Rp 70.000 untuk membeli 40 kg rumput hijau jatah seekor sapi. “Itu baru soal pakan,” kata Mita sambil menambahkan, belum biaya perawatan kandang dan kesehatan sapi.
Peternak Indonesia juga menghadapi kendala minimnya akses modal usaha. Mita dan Apid mengatakan, pinjaman dari bank hanya untuk jangka waktu lima tahun dan itu pun dengan bunga tinggi, sekitar 4 - 4,5 persen per tahun.
Di Belanda, seperti dituturkan Paul dan Minne, peternak selalu mendapat dukungan pemerintah dan bank. Bank memberikan pinjaman untuk jangka waktu hingga 30 tahun dengan bunga 2,5 persen per tahun.
Fetti Fadliah, Corporate Communication Manager PT Frisian Flag Indonesia mengaku, masalah peternak sapi perah rakyat di Tanah Air kompleks. Dari hasil pembelajaran di Belanda, empat peternak itu diharapkan bisa mengaplikasikan ilmunya dan menularkannya kepada peternak lain.
Para peternak mengharapkan dukungan kuat dari pemerintah. Mereka punya ingin hidup sejahtera dan bisa mendukung produksi susu nasional, yang saat ini baru bisa memenuhi 18-20 persen permintaan susu nasional.
Situasi itu mendorong FFI berkomitmen untuk memberdayakan peternak sapi perah secara berkelanjutan, salah satunya adalah melalui program F2F. FFI mengirim peternak untuk mengikuti pelatihan di peternakan Belanda sejak 2018.(PASCAL S BIN SAJU)