Produksi komoditas sagu di Sulawesi Tenggara terus menurun dari tahun ke tahun. Tidak adanya program pengembangan sagu dari pemerintah membuat pohon sagu terus berkurang. Pengolah pun banyak yang beralih profesi.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS - Produksi komoditas sagu di Sulawesi Tenggara terus menurun dari tahun ke tahun. Tidak adanya program pengembangan sagu dari pemerintah membuat pohon sagu terus berkurang. Pengolah pun banyak yang beralih profesi. Komoditas ini terancam habis jika tidak segera dikembangkan.
Data dinas Perkebunan dan Hortikultura Sulawesi Tenggara menunjukkan, produksi sagu pada 2017 hanya sekitar 2.600 ton. Jumlah ini terus turun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2016, produksi berada pada angka 2.765 ton dan sebanyak 3.259 ton pada 2015. Produksi pada 2014 bahkan mencapai 4.854 ton. Artinya, dalam tiga tahun produksi sagu berkurang hampir 50 persen.
Kepala Dinas Perkebunan dan Holtikultura Sultra Yesna Suarni menyampaikan, produksi sagu yang terus turun disebabkan beberapa hal. Di antaranya adalah alih fungsi lahan sagu menjadi persawahan dan perkebunan besar. Lahan sagu di Sultra pada 2017 seluas 4.482 hektar.
Namun, memang selama ini kami juga belum melakukan program untuk pengembangan sagu.
“Untuk diketahui, selama ini memang sagu itu bukan tanaman budidaya. Hanya tumbuh subur sejak dulu dan menjadi makanan utama warga. Warga mengelola secara mandiri. Namun, memang selama ini kami juga belum melakukan program untuk pengembangan sagu,” ucap Yesna, di Kendari, Kamis (25/7/2019).
Menurut Yesna, salah satu kendala belum dilakukannya pengembangan sagu adalah keterbatasan anggaran. Sejumlah anggaran difokuskan pada pengembangan komoditas lain yang dianggap memberikan nilai lebih bagi masyarakat, itu pun dilakukan dengan jumlah terbatas karena kurangnya anggaran.
Selain itu, ujarnya, pemerintah pusat juga belum menjadikan Sultra sebagai salah satu sentra penghasil sagu di Tanah Air. Pihaknya pernah mengusulkan agar sagu juga menjadi salah satu komoditas utama yang dikembangkan di Sultra, tapi belum mendapat perhatian. “Kami akan koordinasikan dan berusaha mengembangkan ke depannya. Kami akan berusaha mengembalikan Sultra sebagai sentra sagu,” ucap Yesna.
Beberapa komoditas yang menjadi perhatian utama di Sultra berdasarkan Kepmentan Nomor 470 tahun 2018 tentang Lokasi Kawasan Pertanian Nasional adalah kakao, cengkeh, lada, kelapa, mete, dan tebu. Tebu adalah komoditas yang ingin dikembangkan di Sultra, meski masyarakat di wilayah ini tidak pernah memiliki pengalaman terkait tebu. Jumlah total anggaran pemerintah pusat untuk pengembangan tanaman perkebunan dan hortikultura sebesar Rp 33 Miliar.
Kepala Subbagian Perencanaan Dinas Pertanian dan Hortikultura Sultra Agus Fadjar menuturkan, selama ini sagu memang tidak pernah masuk dalam program pengembangan komoditas seperti beberapa tanaman lainnya. Pendanaan dari APBD sangat minim untuk pengembangan banyak komoditas. Sementara itu, sumber pendanaan dari pusat difokuskan pada komoditas selain sagu.
“Sagu hampir tidak dikembangkan secara khusus dan hanya tumbuh secara alami. Tidak seperti kakao, cengkeh, atau kelapa yang memang dikembangkan, sagu tumbuh alami dan (diolah) turun temurun. Anggaran pun selama ini belum ada yang dikhususkan untuk sagu. Dalam rencana strategis kami memang belum masuk,” tutur Agus.
Wilayah Sultra adalah salah satu daerah penghasil sagu nasional, selain Riau, Papua, juga Maluku. Tepung sagu dari wilayah ini banyak dikirim ke Jawa Timur untuk diolah kembali. Sebelum beras dikembangkan, sagu adalah pangan utama masyarakat Sultra. Sagu diolah menjadi berbagai macam makanan, salah satunya adalah sinonggi, makanan khas wilayah ini.
Pohon sagu tumbuh di lahan-lahan warga dan sejumlah tempat di lahan yang lembab. Sentra penghasil sagu di Sultra tersebar di tiga kabupaten, yaitu Konawe, Konawe Selatan, dan Kolaka Timur. Meski demikian, tidak adanya perhatian terhadap sagu tidak hanya membuat produksi turun, tapi juga jumlah petani dan pengolah sagu terus berkurang. Jumlah petani sagu pada 2017 sebanyak 9.494 orang, terus turun dari tahun-tahun sebelumnya.
Di Desa Lamomea, Kecamatan Konda, Konawe Selatan, misalnya, petani sagu tinggal segelintir orang. Syukri, Kepala Desa Lamomea, menuturkan, di desanya hanya tersisa dua orang yang mengolah sagu. Kurangnya bahan baku membuat banyak petani berhenti mengolah sagu.
“Dulu di sini penuh sagu. Tapi, lama-lama habis karena berubah jadi sawah, kebun, juga perumahan. Habis (pohon sagu) untuk buka lahan. Untuk tumbuh besar itu butuh bertahun-tahun, tapi sekarang sudah tidak ada yang perhatikan,” ucap Syukri.