MANADO, KOMPAS – Realisasi penyerapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara di Sulawesi Utara hingga triwulan kedua 2019 hanya menyentuh 35,36 persen. Capaian ini lebih rendah daripada target ideal yang ditentukan Direktorat Perbendaharaan Kementerian Keuangan. Akibatnya, dampak pembangunan melalui APBN tidak dapat segera dirasakan masyarakat.
Hal ini terungkap dalam rapat koordinasi program Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Pemerintah Provinsi Sulut, Jumat (26/7/2019), di Manado. Menurut data Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Perbendaharaan Sulut, realisasi penyerapan APBN di Sulut baru Rp 4,5 triliun dari pagu sebesar Rp 12,7 triliun.
Sebesar Rp 9,79 triliun dari total pagu sebesar Rp 12,7 triliun dialokasikan untuk belanja kementerian dan lembaga. Kepala Bidang Akuntansi dan Pelaporan Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan Sulut Rachnanto Adi Winarko mengatakan, 69 persen dari dana tersebut dianggarkan untuk fungsi pelayanan umum, ekonomi, dan pendidikan.
Namun, total belanja tersebut belum dapat dikategorikan normal jika diukur dengan Indikator Kinerja Pelaksanaan Anggaran (IKPA). Idealnya penyerapan APBD pada triwulan I sebesar 15 persen, disusul 40 persen pada triwulan II, 60 persen pada triwulan III, dan 90 persen pada triwulan IV.
“Artinya, ada selisih sekitar 4,6 persen. Ketertinggalan penyerapan anggaran harus bisa diatasi dengan usaha keras pemerintah untuk bisa memenuhi target di triwulan III nanti,” kata Rachnanto.
Sejauh ini, perwakilan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) di Sulut merealisasikan anggaran dengan nilai terbesar, yaitu sebanyak Rp 621,3 miliar dari total pagu sebesar Rp 2,7 triliun. Sebab, berbagai proyek infrastruktur sedang berlangsung di Sulut, seperti Jalan Tol Manado-Bitung, pembangunan Bendungan Kuwil, dan pembangunan Bandara Sitaro.
Meski begitu, Rachnanto mengatakan, penyerapan Kementerian PUPR masih tergolong rendah. Sebab, belanja tersebut hanya 22 persen dari pagu yang diterima. Berbeda dengan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Sulut, yang telah membelanjakan 76,9 persen anggaran, yaitu Rp 221,6 miliar dari pagu sebesar Rp 288,25 miliar untuk pemilihan umum serentak April lalu.
Kondisi bisa disebabkan oleh beberapa hal, seperti pembebasan lahan, keterlambatan lelang, serta ketidakdisiplinan satuan kerja (satker) pemerintah untuk membelanjakan dana APBN sesuai perencanaan. Rencana setiap satker bisa berubah drastis secara mendadak. Akibatnya, penyerapan anggaran selalu menumpuk di triwulan IV.
Pola ini telah muncul pada tahun 2018. Hingga akhir triwulan kedua, penyerapan APBN di Sulut baru mencapai 32 persen. Akibatnya, pembangunan melalui berbagai program dan proyek infrastruktur tidak optimal untuk segera dinikmati masyarakat.
“Selain itu, kalau tergopoh-gopoh, bisa juga berdampak pada status WTP (wajar tanpa pengecualian). Oleh karena itu, Ditjen Perbendaharaan mewacanakan penetapan pagu setiap triwulan untuk mengatasi penyakit menahun ini,” ujar Rachnanto.
Sementara itu, pengajar ilmu ekonomi Universitas Sam Ratulangi Noldy Tuerah mengatakan, pembelanjaan APBN yang menumpuk di triwulan IV sering tidak diimbangi dengan kualitas pembelanjaan. Selama Januari hingga Juni 2019, belanja modal Sulut telah mencapai Rp 586,7 miliar, sementara belanja barang sebesar Rp 1,62 triliun.
“Seharusnya belanja modal mendapat proporsi belanja yang paling besar. Berkaca dari tahun lalu, justru belanja pegawai yang paling besar, sampai 41,27 persen dari total belanja daerah,” katanya.
Ia menambahkan, salah satu penghambat realisasi APBN di Sulut adalah proses pelelangan yang terkadang tidak transparan. Di samping itu, prosedur penanaman investasi sering membingungkan pebisnis.
Saat ini, ada sistem online single submission dan ada DPMPTSP (Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu). Karena keduanya aktif dan punya persyaratan yang berbeda, pengusaha jadi bingung. Perlu ada penyatuan.
Sementara itu, Asisten 2 Bidang Perekonomian dan Pembangunan Sekretarian Daerah Sulut Rudi Mokoginta mengatakan, penyerapan dana APBN untuk pembangunan di Sulut per 30 Juni perlu terus dikoordinasikan. Solusi untuk pengelolaan APBN yang belum rapi harus segera ditemukan.
“Kita harus mengoptimalkan semua strategi pembangunan, sehingga semua satuan kerja daerah harus berkoordinasi. Sinergi antarlembaga perlu terus diupayakan,” kata Rudi.