Daftar Buku Layak Anak untuk Tingkatkan Kesadaran Masyarakat
›
Daftar Buku Layak Anak untuk...
Iklan
Daftar Buku Layak Anak untuk Tingkatkan Kesadaran Masyarakat
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Daftar kelayakan buku hendaknya tidak hanya menjadi acuan bagi sekolah yang ingin melengkapi koleksi perpustakaannya, tetapi juga bagi masyarakat agar turut mengawasi jenis-jenis buku yang beredar di lembaga pendidikan. Hal ini bertujuan membangun kebiasaan preventif edukatif agar semua buku di sekolah sesuai kaidah kebahasaan, keilmiahan, dan membangun karakter.
Hal itu ditekankan dalam rapat kerja penilaian buku nonteks pelajaran di Pusat Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Kamis (25/7/2019). Rapat ini merupakan gelombang keempat yang menilai 492 judul buku. Terdapat 74 akademisi, guru, dan pakar pendidikan menilai substansi, bahasa, ilustrasi, hingga rujukan yang ada di buku. Sebelumnya, pada rapat gelombang pertama hingga ketiga ada 1.273 judul buku yang dinilai.
“Harus dipastikan bahwa semua aspek buku, mulai dari isi, tutur kalimat, dan ilustrasi tidak mengandung unsur seks, agama, dan rasialisme. Selain itu, setiap buku juga harus sesuai dengan kebutuhan target usia pembacanya,” kata Kepala Badan Bahasa dan Perbukuan Dadang Sunendar saat memimpin rapat. Ada empat aspek yang dinilai, yaitu isi, bahasa, penyajian, dan kegrafikaan.
Harus dipastikan bahwa semua aspek buku, mulai dari isi, tutur kalimat, dan ilustrasi tidak mengandung unsur seks, agama, dan rasialisme
Ia memaparkan, Kemdikbud juga berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agama untuk menyempurnakan peraturan pemerintah mengenai sistem perbukuan. Khusus untuk buku yang digunakan di sekolah harus memiliki unsur pendidikan yang universal. Koordinasi juga akan dilakukan kepada sepuluh pelaku perbukuan, mulai dari penulis, penerbit, ilustrator, hingga perpustakaan.
Buku nonteks pelajaran adalah buku untuk pengayaan bagi siswa di sekolah. Bentuknya bisa cerita fiksi maupun nonfiksi seperti biografi tokoh dan pendalaman konsep teori pelajaran. Buku pengayaan yang tengah dinilai ini membahas bidang pengembangan diri, kewirausahaan, dan semua mata pelajaran di sekolah. Perbedaan dengan buku teks, buku nonteks tidak boleh mengandung soal untuk dikerjakan siswa atau pun unsur evaluatif lainnya.
Kepala Bidang Penilaian dan Pengawasan Buku Supriyatno menjelaskan, judul-judul buku yang diberikan ke Kemdikbud merupakan inisiatif dari para penerbit. Jika lolos penilaian, pada buku akan dicantumkan logo Kemdikbud beserta surat keputusan izin penjualan buku oleh penerbit kepada sekolah.
Apabila buku tidak lulus penilaian, penerbit tidak boleh menjualnya ke sekolah. Penerbit dipersilakan merevisi buku dan diajukan lagi agar dinilai pada gelombang berikutnya. Akan tetapi, Kemdikbud tidak memiliki kewenangan melarang penerbit mencetak dan menjual buku di toko-toko umum.
“Kami mengimbau agar orangtua dan guru proaktif memastikan semua buku yang dibeli oleh sekolah memiliki bukti kelayakan dari Kemdikbud. Jangan sampai sekolah membeli buku yang isinya tidak bisa dipertanggungjawabkan,” tutur Supriyatno. Hal ini guna mendidik masyarakat, terutama setelah ditemukannya buku-buku pengayaan yang dibeli sekolah ternyata mengandung materi yang intoleran terhadap kemajemukan bangsa.
Kami mengimbau agar orangtua dan guru proaktif memastikan semua buku yang dibeli oleh sekolah memiliki bukti kelayakan dari Kemdikbud
Disiplin positif
Dosen Psikologi Klinis Anak Universitas Indonesai Harfiah Putu Ponco yang menilai buku-buku pengembangan diri menjelaskan, buku harus mengandung unsur disiplin positif. Misalnya, jika ada tokoh cerita yang berperilaku buruk, sanksi yang diberikan kepadanya tidak boleh berupa kekerasan fisik, psikis, verbal, dan sosial.
Ia juga menilai kesesuaian penyajian buku dengan target usia pembaca. Untuk anak SD harus banyak gambar dan untuk remaja bisa memakai kalimat lebih panjang dan kompleks. “Hal penting adalah jangan sampai pesannya multitafsir,” ujarnya.