Tes Psikologi Rutin bagi Anggota Polisi Diperlukan
›
Tes Psikologi Rutin bagi...
Iklan
Tes Psikologi Rutin bagi Anggota Polisi Diperlukan
Tes psikologi bagi anggota kepolisian disarankan dilakukan secara berkala dan mendalam. Hal ini dinilai perlu untuk mencegah dan mendeteksi adanya gangguan psikologis yang dialami aparat kepolisian sehingga bisa memicu tindakan yang berbahaya.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tes psikologi bagi anggota kepolisian disarankan dilakukan secara berkala dan mendalam. Hal ini dinilai perlu untuk mencegah dan mendeteksi adanya gangguan psikologis yang dialami aparat kepolisian sehingga bisa memicu tindakan yang berbahaya.
Perlunya tes psikologi ini merujuk pada kejadian seorang anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang menembak rekannya sesama polisi, Kamis (25/7/2019), di Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Kejadian itu diduga karena pelaku merasa emosi dengan korban yang berbicara dengan nada tinggi.
Pelaku kemudian menembak korban tujuh kali hingga tewas di tempat. Korban mengalami luka tembak di leher, dada, perut, dan paha.
Direktur Lembaga Kajian Kepolisian Indonesia (Lemkapi) yang juga mantan anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Edi Saputra Hasibuan saat dihubungi di Jakarta, Jumat (26/7/2019), mengatakan, pemeriksaan psikologis perlu dilakukan terhadap anggota kepolisian. Pemriksaan itu terutama ditujukan bagi anggota yang dilengkapi senjata api.
Pemeriksaan psikologis penting agar anggota dengan kejiwaan tidak stabil bisa mudah terdeteksi. Setidaknya, pemeriksaan psikologis itu dilakukan minimal enam bulan sekali.
”Kami paham mungkin ini sulit dilakukan karena banyak pertimbangan, seperti sumber daya psikolog dan dana yang terbatas, juga waktu pelayanan yang bisa terganggu. Namun, ini tetap perlu untuk menghindari kejadian serupa (penembakan oleh polisi),” ujarnya.
Pemeriksaan psikologis penting agar anggota dengan kejiwaan tidak stabil bisa mudah terdeteksi. Setidaknya, pemeriksaan psikologis itu dilakukan minimal enam bulan sekali.
Edi menyesalkan kejadian penembakan yang dilakukan oleh polisi seperti yang terjadi di Depok, Kamis kemarin. Tindakan tersebut merupakan pelanggaran hukum pidana yang perlu diajukan ke peradilan umum.
”Kita paham tugas dan beban Polri berat. Mereka sering stres sehingga bisa depresi. Untuk itu, satuan kerja yang bertugas harus melihat anggota yang punya masalah kejiwaan. Kejiwaan ini bisa berubah-ubah setiap saat, apalagi ketika ada masalah,” katanya.
Selama ini, lanjut Edi, pemeriksaan psikologis belum rutin dilakukan kepada seluruh aparat kepolisian. Pemeriksaan psikologis dilakukan pada masa awal tes masuk calon anggota. Setelah itu, pemeriksaan rutin hanya untuk pengecekan kondisi kesehatan fisik.
Konsultan kejiwaan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) Hervita Diatri mengemukakan, polisi termasuk dalam profesi yang rentan mengalami gangguan kejiwaan. Pekerjaan yang dilakukan pun sangat berkaitan dengan kondisi trauma, seperti penembakan pada perampok ataupun kecelakaan lalu lintas yang korbannya tewas dalam kondisi mengerikan.
Polisi termasuk dalam profesi yang rentan mengalami gangguan kejiwaan. Pekerjaan yang dilakukan pun sangat berkaitan dengan kondisi trauma.
Para anggota kepolisian ini juga bekerja hampir 24 jam ketika menghadapi persoalan kriminal dan sosial di masyarakat.
”Tekanan itu menimbulkan perasaan yang tidak sejahtera sehingga rentan mengalami gangguan kejiwaan, seperti gangguan kepribadian ambang. Pada kondisi ini, emosi bisa tidak terkontrol,” katanya.
Oleh karena itu, lanjut Hervita, perlu ada sistem yang mewajibkan pemeriksaan psikologis yang dilakukan secara rutin dan berkala bagi seluruh anggota kepolisian. Kondisi-kondisi gangguan kejiwaan perlu dideteksi sejak dini agar bisa segera diatasi untuk mencegah gangguan yang lebih berat.
”Mungkin mereka secara tidak sadar sudah mengalami gangguan kejiwaan. Namun, karena pemahaman para anggota kepolisian harus kuat, baik fisik maupun mental, kebutuhan pemeriksaan tidak jadi prioritas,” katanya.