Memberi Akses Setara bagi Semua
Rasio gini di Indonesia per Maret 2019 sebesar 0,382. Jika dirinci, rasio ini juga menunjukkan kondisi yang timpang antara perkotaan dan perdesaan. Rasio gini di perdesaan sebesar 0,317 dan di perkotaan 0,392.
Rasio gini yang berkisar 0-1 ini menunjukkan ukuran ketimpangan. Semakin mendekati 1, ketimpangan semakin dalam. Bank Dunia dan Australian Aids dalam laporan Indonesia’s Rising Divide yang dirilis Maret 2016 mengulas ketimpangan di Indonesia.
Disebutkan, antara lain, konsumsi 10 persen orang terkaya di Indonesia setara dengan 42 persen kelompok miskin pada 2002. Pada 2014 ketimpangan semakin tajam, ditunjukkan dengan belanja 10 persen orang terkaya Indonesia setara dengan 54 persen kelompok termiskin di Indonesia.
Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang rata-rata sebesar 5,4 persen per tahun pada tahun 2000-2014 memang menekan angka kemiskinan dan menumbuhkan kelompok kelas menengah yang lebih kuat. Pada periode itu ada 45 juta orang atau sekitar 18 persen dari kelompok terkaya Indonesia; mereka secara ekonomi cukup terlindung dan menikmati kualitas hidup lebih baik.
Meski demikian, pada periode 2003-2010, konsumsi per orang dari 10 persen orang terkaya di Indonesia tumbuh 6 persen per tahun. Sebaliknya, bagi 40 persen kelompok masyarakat termiskin, pertumbuhan konsumsi pada periode yang sama hanya 2 persen per tahun. Meskipun, harus diakui, pertumbuhan ekonomi berkontribusi pada penurunan jumlah penduduk miskin yang berkisar 2 persen per tahun sejak 2002.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, jumlah penduduk miskin per Maret 2019 ada 25,24 juta orang atau sekitar 9,41 persen terhadap total penduduk. Jika dirinci, persentase penduduk miskin di perkotaan dan perdesaan sangat timpang, yakni 6,69 persen di perkotaan dan 12,85 persen di perdesaan.
Wajah
BPS mengakui saat ini baru bisa menghitung angka ketimpangan berdasarkan pengeluaran. Padahal, ketimpangan berdasarkan pengeluaran hanya satu wajah dari ketimpangan. Ada berbagai persoalan yang membuat ketimpangan menjadi multidimensi.
Ketimpangan bisa ditilik dari faktor ekonomi ataupun non-ekonomi, seperti partisipasi dan kesempatan, misalnya dalam mengakses pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Ada juga ketimpangan secara individual dan kelompok.
Kesempatan yang tak sama dalam mengakses pendidikan bisa bermuara pada kesempatan yang tidak sama dalam mengakses pekerjaan. Begitu juga dengan kesempatan yang tidak sama dalam mengakses fasilitas kesehatan akan berujung pada kondisi kesehatan dan kesejahteraan yang timpang.
Salah satu cara menekan ketimpangan, antara lain, dengan program jaminan sosial dan bantuan sosial. Pemerintah sudah memiliki sejumlah program bantuan sosial bagi masyarakat miskin, di antaranya program keluarga harapan, bantuan pangan nontunai, serta sistem jaminan sosial dalam kesehatan dan ketenagakerjaan.
Bantuan sosial bagi keluarga penerima manfaat telah beberapa kali berubah bentuk. Dari semula berbentuk tunai, kini disalurkan secara nontunai dengan harapan masih ada dana tersisa untuk disimpan penerima bantuan. Namun, bantuan sosial berhadapan dengan akurasi data. Pemerintah daerah yang mestinya aktif memperbarui dan memverifikasi data penerima manfaat bansos belum seluruhnya menjalankan tugas dan fungsi itu.
Jaminan kesehatan yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menerapkan mekanisme iuran bagi peserta. Sementara, jaminan sosial ketenagakerjaan yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan juga menerapkan mekanisme iuran bagi peserta, memberi manfaat dalam bentuk jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian.
Jaminan sosial dan bantuan sosial tersebut berhadapan dengan persoalan akses dan informasi. Misalnya, pekerja di sektor nonformal yang biasa disebut bukan penerima upah sebenarnya bisa mendapat fasilitas BPJS Ketenagakerjaan selama membayar iuran. Akan tetapi, informasi tersebut tidak sepenuhnya diketahui pekerja nonformal.
Mengacu pada data BPS, pada Februari 2019 ada 129,36 juta penduduk Indonesia yang bekerja, 74,08 juta orang atau 57,27 persen atau di antaranya bekerja pada kegiatan formal. Tidak ada proses yang instan dan berdiri sendiri. Pemberian bantuan sosial dan penerapan jaminan selayaknya diintegrasikan sehingga berkesinambungan. Harapannya, ketimpangan yang multidimensi dapat ditekan.