Napak Tilas Tumbang Anoi Diakhiri Deklarasi di Tugu Soekarno
›
Napak Tilas Tumbang Anoi...
Iklan
Napak Tilas Tumbang Anoi Diakhiri Deklarasi di Tugu Soekarno
Napak Tilas Perjanjian Tumbang Anoi diakhiri dengan deklarasi tokoh adat Dayak di Tugu Soekarno, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Kamis (25/7/2019). Kegiatan itu merupakan peringatan tonggak sejarah perdamaian suku Dayak 125 tahun lalu.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Napak Tilas Perjanjian Tumbang Anoi diakhiri dengan deklarasi tokoh adat Dayak di Tugu Soekarno, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Kamis (25/7/2019). Kegiatan tersebut merupakan peringatan tonggak sejarah perdamaian suku Dayak 125 tahun yang lalu.
Perjanjian Tumbang Anoi dilaksanakan sejak 22 Juni sampai 24 Juli 1894 silam. Pada rapat itu, sekitar 1.000 orang dari 152 suku Dayak di Pulau Kalimantan berkumpul di Kalimantan Tengah. Bahkan, saat itu, perwakilan dari Brunei Darussalam dan Malaysia yang saat ini menjadi negara masing-masing juga ikut dalam pertemuan itu.
Budayawan KMA M Usop menyebutkan, pertemuan itu diinisiasi Damang Bat, salah satu tokoh Dayak Kalimantan Tengah saat itu. Ia mengundang ribuan orang untuk berkumpul, bertemu, dan duduk bersama menyelesaikan masalah.
”Saat itu untuk menyatukan orang-orang dari berbagai suku Dayak adalah hal yang mustahil, tetapi kemudian itu terjadi,” kata antropolog Dayak, Marko Mahin.
Saat itu untuk menyatukan orang-orang dari berbagai suku Dayak, adalah hal yang mustahil, tetapi kemudian itu terjadi.
Marko menuturkan, pertemuan itu juga dihadiri perwakilan dari Belanda, yaitu Kontrolir Tanah Dayak AC de Heer dan Kontrolir Afdeling Melawi JPJ Barth. Dalam pertemuan itu, masyarakat Dayak bersepakat berdamai dan menghilangkan budaya ngayau atau memenggal kepala.
”Dimulai dari Tumbang Anoi kemudian peradaban Dayak bergerak maju,” ujar Marko.
Pertemuan itu kemudian menjadi gerakan dan semangat pembaruan bagi masyarakat Dayak. Saat ini, untuk mengenang kejadian itu, tokoh Dayak di Kalteng kemudian menginisiasi pertemuan itu kembali. Tahun 2014, pertemuan untuk Napak Tilas pernah dibuat dan digelar kembali tahun ini.
Sekitar 2.000 orang hadir dalam kegiatan tersebut di Desa Tumbang Anoi, Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, Kalteng. Mereka hadir dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Brunei Darussalam, dan Malaysia.
Mereka datang ke Kalteng untuk bertemu dengan berbagai suku Dayak lainnya. Pada Kamis siang, mereka yang belum kembali ke tempat asalnya berkumpul di Tugu Soekarno, Kota Palangkaraya.
Ketua Panitia Napak Tilas dan Seminar Internasional Tumbang Anoi Dagut H Junas mengungkapkan, ada 12 kesepakatan dari hasil pertemuan di Tumbang Anoi pada 22-24 Juli 2019. Salah satunya, masyarakat Dayak sepakat agar ibu kota negara dipindah ke Pulau Kalimantan. ”Ini bentuk menjaga budaya sebelum ibu kota pindah ke sini,” ujar Dagut.
Tokoh Dayak lainnya, Thoeseng Asang, mengatakan, kesempatan pertemuan itu merupakan bentuk peningkatan kapasitas dan kompetensi masyarakat Dayak. Dengan pindahnya ibu kota negara ke Kalimantan, sumber daya manusia akan bersaing. Hal itu menjadi tantangan masyarakat Dayak untuk bersaing dalam hal positif.
”Ikrar ini juga akan diserahkan ke pusat agar menjadi pertimbangan,” kata Thoeseng.
Selain terkait pemindahan ibu kota, 12 kesepakatan itu juga berbicara tentang perdamaian dan kesatuan masyarakat Dayak dalam bingkai Pancasila. Nilai-nilai kebangsaan tetap dibahas dalam pertemuan tersebut.
Rektor Universitas Palangkaraya Elia Embang menambahkan, kesepakatan itu merupakan gambaran sikap masyarakat Dayak. Dalam proses pemindahan ibu kota, masyarakat harus siap dengan berbagai tantangan salah satunya konflik sosial.
”Ini sudah ada dalam kajian sehingga masyarakat Dayak bisa tetap bertahan dan bersaing dalam hal positif tentunya,” kata Elia.