Potensi zakat di Indonesia mencapai lebih dari Rp 200 triliun. Namun, penyaluran zakat masih belum sistematis. Pengelolaan zakat perlu difokuskan untuk pengentasan rakyat dari kemiskinan dengan pemberdayaan masyarakat dan investasi berdampak.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Potensi zakat di Indonesia mencapai lebih dari Rp 200 triliun. Namun, penyaluran zakat masih belum sistematis. Pengelolaan zakat perlu difokuskan untuk pengentasan rakyat dari kemiskinan dengan pemberdayaan masyarakat dan investasi berdampak.
Ajang 4th Annual Islamic Finance Conference (AIFC) 2019 pada 24-25 Juli 2019 di Surabaya, Jawa Timur, membahas potensi zakat nasional. Acara tahunan yang menghadirkan para pembuat kebijakan, ekonom, akademisi, dan pelaku industri dalam bidang syariah itu menilai zakat bisa lebih bermanfaat bagi masyarakat.
Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Ayu Sukorini mengatakan, zakat perlu diarahkan ke belanja-belanja sosial untuk pengentasan rakyat dari kemiskinan. Salah satu contohnya dengan penyaluran kepada Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang telah diselenggarakan pemerintah.
Program itu bertujuan menyediakan prasarana atau sarana sekaligus sumber daya keuangan untuk mengembangkan kegiatan ekonomi masyarakat. Dengan itu, zakat bisa lebih bermanfaat dengan pemberdayaan. ”Kalau zakat itu sesuainya dengan PNPM. Zakat lebih ke pengentasan rakyat dari kemiskinan karena dia dikeluarkan dan hilang. Return-nya bukan concern,” ucap Ayu.
Ayu menambahkan, saat ini banyak orang yang melakukan pemberian zakat. Namun, hal itu masih belum sistematis. Masyarakat lebih memercayakan zakat kepada sosok atau individu. Padahal, Indonesia telah memiliki lembaga resmi, yakni Badan Amil Zakat Nasional (Baznas).
Sebelumnya, pada Mei 2019, Presiden Joko Widodo menyampaikan potensi zakat di Indonesia cukup besar, mencapai Rp 232 triliun. Akan tetapi, zakat penghasilan yang disalurkan melalui Baznas baru sekitar Rp 8,1 triliun.
Presiden juga menegaskan, zakat sangat penting untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengentaskan warga dari kemiskinan. Bahkan, dapat mendorong Indonesia menjadi pusat ekonomi syariah dunia.
Amalia Adininggar Widyasanti, Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Bidang Sinergi Ekonomi dan Pembiayaan, mengatakan, pengelolaan zakat bisa lebih bermanfaat dengan membantu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Dana zakat bisa digunakan untuk membantu program pembangunan pemerintah untuk kebutuhan sosial.
Hal itu akan sangat membantu kekurangan dana pemerintah terhadap proyek SDGs. Dalam 2019-2024, Bappenas mencatat masih ada selisih kekurangan dana sebesar Rp 1.460 triliun untuk membiayai proyek SDGs yang ramah lingkungan.
Menurut Amalia, zakat bisa terlibat dalam investasi berdampak melalui konsep pembiayaan gabungan. ”Jadi, nanti zakat di-blending dengan dana daerah, negara, dan swasta. Itu bisa jadi satu,” pungkasnya.
Sebelumnya, konsep pembiayaan gabungan itu pernah dilakukan pada 2018 untuk membangun pusat listrik tenaga air di Jambi. Kala itu, Baznas bekerja sama menggabungkan pembiayaan dengan Bank Jambi, Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral, serta badan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP). Proyek itu mencapai Rp 4,8 miliar yang bermanfaat untuk lebih dari 4.000 rumah tangga.
Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elistianto Dardak mengatakan, zakat bisa lebih produktif jika digabungkan dengan pengelolaan tanah. Misalnya, seorang memiliki tanah banyak. Pemilik tanah itu harus membayar zakat mal terhadap tanah yang dimiliki.
”Bahwa zakat mal itu terhadap harta yang kita miliki bukan income. Jadi, orang kalau punya tanah banyak, tetapi dianggurkan, tetap bayar zakat mal. Salah satu cara mengkaver biaya zakat mal ialah memproduktifkan tanah. Kalau produktif, minimal zakat mal bisa terkaver. Kalau didiamkan tidak produktif, sayang sekali,” ujar Emil.