Apa Untungnya Perkawinan Usia Anak?
Tradisi, keinginan orangtua, hingga sekadar pasangan yang ”suka sama suka” masih menjadi alasan untuk melanggengkan perkawinan anak di berbagai daerah. Padahal, praktik ini justru lebih banyak membawa dampak negatif bagi anak yang menikah, khususnya anak perempuan. Langkah strategis harus ditempuh segera, mulai dari revisi Undang-Undang Perkawinan, ketegasan aparat daerah, hingga pemahaman di tingkat keluarga.
Awal tahun 2019, dua anak-anak menikah. Anak laki-laki berusia 16 tahun asal Kota Parepare menikah dengan anak perempuan berusia 14 tahun asal Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan. Keinginan kuat sepasang anak-anak itu tidak kuasa dihentikan orangtuanya. Pemerintah daerah dan pemerhati anak merasa kecolongan.
Praktik perkawinan usia anak yang lebih masif ditemukan di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Tradisi merariq, yaitu menikah dengan melarikan calon pengantin perempuan, termasuk jika masih berusia anak, berlangsung sampai sekarang.
Kedua kasus tersebut sejalan dengan temuan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) yang tertuang dalam laporan Profil Anak Indonesia Tahun 2018. Tingginya angka perkawinan usia anak di Indonesia dipicu faktor sosial, budaya, dan ekonomi.
Umumnya anak perempuan tidak mau melanjutkan sekolah karena tanggung jawab merawat anak atau malu terkait status pernikahannya.
Dari faktor sosial dan budaya yang melanggengkan praktik ini, kawin di usia sangat muda adalah hal yang umum dilakukan dan sering kali justru karena dorongan orangtua ataupun budaya masyarakatnya. Adapun dari sisi ekonomi, menikahkan anak dengan orang yang lebih tua dianggap sebagai solusi atas ketidakmampuan orangtua si anak untuk merawatnya atau menyediakan pendidikan yang layak.
Padahal, praktik perkawinan usia anak selalu bermuara pada rentetan dampak negatif, khususnya bagi anak perempuan. Sebagai contoh, seorang anak perempuan yang menikah pada usia 16 tahun sesuai batas minimum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ketika ia menikah, semakin kecil kesempatannya untuk melanjutkan pendidikan.
Umumnya, anak perempuan tidak mau melanjutkan sekolah karena tanggung jawab merawat anak atau malu terkait status pernikahannya. Belum lagi, tidak sedikit pula sekolah yang menolak anak perempuan dengan status sudah menikah.
Momok terjadinya cerai pada pasangan usia anak juga harus diperhitungkan. Hal ini diperkuat dengan data Susenas 2017 yang menyimpulkan bahwa separuh anak yang berstatus cerai memiliki pendidikan tertinggi hanya sampai tamat sekolah dasar. Pendidikan yang terbatas ditambah perceraian menjadi masalah yang nantinya akan berujung pada persoalan finansial dan emosional.
Dampak serius lainnya terkait masalah kesehatan. Masih dari laporan KPPPA, bayi yang dilahirkan oleh perempuan yang menikah pada usia anak memiliki risiko kematian dua kali lipat sebelum berusia satu tahun. Bagi si ibu, hamil di usia muda juga rentan terjadinya perdarahan, keguguran, hamil anggur, dan hamil prematur.
Setelah melahirkan, keterbatasan pengetahuan dan kematangan psikologis ibu muda juga berpotensi menghasilkan pola asuh salah pada anak. Kondisi ini diperparah jika sang ayah juga berusia anak-anak.
Usia dan finansial
Lalu, bagaimana opini masyarakat atas fenomena ini? Di mata mayoritas responden jajak pendapat Kompas yang diwawancari melalui telepon pada 17-18 Juli 2019, perkawinan usia anak tidak bisa diterima. Hampir 85 persen dari 514 responden menjawab tidak setuju apabila pernikahan usia anak dilakukan baik oleh anak laki-laki maupun perempuan.
Namun, yang layak menjadi catatan, ternyata masih ada ”ruang negosiasi” di antara responden terkait jenis kelamin anak. Setidaknya ada 2,3 persen responden yang menyetujui pernikahan usia anak bagi anak perempuan saja. Adapun yang menyetujui pernikahan usia anak bagi anak laki-laki lebih sedikit lagi, yakni 0,6 persen responden saja.
Hampir 85 persen dari 514 responden menjawab tidak setuju apabila pernikahan usia anak dilakukan, baik oleh anak laki-laki maupun perempuan.
Adanya ”ruang negosiasi” di antara masyarakat yang ditanyai dapat dipahami karena adanya persepsi dan pengalaman yang berbeda terkait syarat pernikahan. Dari persepsi satu orang saja, mungkin syarat menikah bagi laki-laki akan berbeda dengan syarat bagi perempuan.
Peran utama yang akan ditanggung masing-masing dalam pernikahan tampak menjadi latar belakang pilihan syarat menikah. Syarat utama menikah bagi seorang laki-laki adalah kemampuan finansial, begitulah yang dipilih hampir separuh responden. Baru kemudian disusul usia dan kesiapan fisiknya.
Sementara bagi perempuan, lebih dari setengah responden memilih usia sebagai syarat utama menikah. Syarat lainnya adalah kesiapan fisik, khususnya untuk peran reproduksinya dan pendidikan. Syarat lain yang disebutkan responden adalah modal pendidikan dan agama.
Menagih Komitmen
Indonesia menjadi salah satu negara yang menyepakati program Sustainable Development Goals (SDGs) dengan target penyelesaian pada 2030. Dalam SDGs nomor 5 tentang Kesetaraan Gender, poin 3 tertulis mengenai penghapusan praktik membahayakan bagi perempuan dan anak perempuan, seperti perkawinan anak dan sunat perempuan. Artinya, persoalan perkawinan usia anak turut menjadi bagian yang perlu diselesaikan sebelum tahun 2030 nanti.
Padahal, mengacu pada laporan badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) tahun 2013, Indonesia berada di posisi keenam di dunia untuk jumlah kasus perkawinan usia anak. Disebutkan, sekitar 457.600 perempuan usia 20-24 tahun menikah sebelum berusia 15 tahun. Unicef sendiri menggunakan definisi perkawinan anak sebagai perkawinan yang dilaksanakan secara resmi atau tidak resmi sebelum usia 18 tahun.
Sebelum jauh melakukan imbauan, seperti penyuluhan dan seminar, kepada masyarakat mengenai perkawinan anak, ada hal yang lebih prioritas diselesaikan pemerintah dan DPR. Kajian atas aturan formal mengenai batas usia anak dan definisi anak perlu diprioritaskan. Sebabnya, jika melihat Undang-undang Perkawinan dan peraturan hukum lainnya, terdapat batas usia dan definisi anak yang berbeda-beda.
Beda lagi dengan batasan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) yang mempertimbangkan kesiapan dan kematangan aspek fisik dan psikis seseorang untuk menikah. Minimal usia laki-laki untuk menikah adalah 25 tahun, sementara perempuan 20 tahun.
Sejauh ini, Mahkamah Konstitusi pada Desember 2018 memberikan rekomendasi kepada DPR dan pemerintah untuk merevisi batas usia perkawinan perempuan menjadi 19 tahun sama dengan usia laki-laki. Hanya saja, dalam putusan tersebut, batas waktu merevisi UU Perkawinan maksimal memakan waktu tiga tahun. Lantas, akan ada berapa banyak ”korban” pernikahan usia anak dalam tiga tahun jika revisi tak kunjung usai?
Untuk menjawab pertanyaan itu, tentu harus dimulai dari lingkup masyarakat yang terkecil, yaitu keluarga. Dalam UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 26 tertulis bahwa orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan usia anak.
Lantas, akan ada berapa banyak ’korban’ pernikahan usia anak dalam tiga tahun jika revisi tak kunjung usai?
Begitu juga dalam Peraturan Menteri Agama No 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah Bab IV Pasal 7 yang menyatakan bahwa pernikahan seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun harus mendapatkan izin (tertulis) dari kedua orangtua.
Sayangnya, riset BPS dan Unicef pada 2015 menyatakan bahwa faktor ketidaktahuan orangtua terhadap hukum legal dan agama serta dampak negatif lainnya menjadi penyebab diizinkannya perkawinan usia anak. Orangtua seharusnya sadar bahwa dampak negatif perkawinan anak nantinya justru akan kembali membebani mereka dan terlebih bagi anaknya. Kiranya pemerintah daerah perlu terus-menerus turun langsung ke masyarakat guna menanamkan pemahaman dan kesadaran orangtua. (Litbang Kompas/Yohanes Mega Hendarto)
Baca juga : Memberi Ruang Keterlibatan Anak
Baca juga : Jangan Abaikan Imunisasi Anak