Selama lima tahun ini, pembangunan infrastruktur menjadi program prioritas pemerintah. Ada proyek yang sepenuhnya dibiayai pemerintah, ada pula yang merupakan proyek investasi murni, atau proyek kerja sama pemerintah dengan badan usaha.
Untuk proyek infrastruktur pemerintah, tiap tahunnya ratusan triliun rupiah dikucurkan. Pada 2015, total anggaran untuk infrastruktur Rp 256,1 triliun. Tahun berikutnya menjadi Rp 269,1 triliun dan Rp 388,3 triliun pada 2017. Pada 2018, alokasi anggaran naik menjadi Rp 410,7 triliun dan tahun ini Rp 415 triliun.
Meski demikian, ”kue” infrastruktur yang besar ini dinilai sebagian kalangan penyedia jasa konstruksi belum merata. ”Kue” infrastruktur dianggap hanya dinikmati penyedia jasa konstruksi berkualifikasi besar yang tudingannya diarahkan kepada badan usaha milik negara (BUMN).
Dilihat dari kualifikasi penyedia jasa konstruksi atau kontraktor, berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, ada 117.042 perusahaan kontraktor dan 4.414 konsultan atau penyedia jasa konsultasi di Indonesia. Dari jumlah itu, sekitar 80 persen di antaranya berkualifikasi menengah dan kecil.
Sementara itu, jika dilihat dari jenisnya, kebanyakan adalah kontraktor umum. Data kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) per Juni 2019, jumlah kontraktor umum nasional adalah 119.572 perusahaan. Sementara, jumlah kontraktor spesialis nasional adalah 1.786 perusahaan atau hanya sekitar 1,5 persennya.
Melalui data tersebut bisa dilihat bahwa kompetisi antarkontraktor umum menjadi sangat ketat karena jumlahnya sangat banyak. Sebagaimana terjadi di sektor-sektor lain, mereka yang paling efisien dan memiliki sumber daya yang cukup kuatlah yang kemudian dapat berkompetisi.
Sebagai gambaran, jumlah badan usaha jasa konstruksi yang mendapatkan proyek konstruksi pada 2016 berjumlah 38.627 kontraktor. Itu berarti hanya 24 persen kontraktor yang mendapatkan proyek konstruksi dari total kontraktor yang tercatat 119.235 kontraktor saat itu. Kontraktor yang mendapatkan proyek konstruksi terbagi ke dalam proyek nonperumahan, proyek perumahan, serta proyek infrastruktur dan transportasi.
Sebenarnya permasalahan ini telah coba diatasi pemerintah. Peraturan Menteri PUPR Nomor 31 Tahun 2015 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Pekerjaan Konstruksi dan Jasa Konsultasi menyebutkan, nilai proyek atau paket pekerjaan dengan nilai sampai Rp 2,5 miliar dikerjakan penyedia jasa konstruksi berkualifikasi kecil. Adapun proyek senilai Rp 2,5 miliar-Rp 50 miliar untuk penyedia jasa berkualifikasi menengah dan di atas Rp 50 miliar untuk penyedia jasa berkualifikasi besar.
Kemudian, ketentuan tersebut diubah. Penyedia jasa konstruksi berkualifikasi kecil dapat mengerjakan proyek hingga senilai Rp 10 miliar. Sementara penyedia jasa berkualifikasi menengah mengerjakan paket proyek Rp 10 miliar-Rp 100 miliar dan penyedia jasa berkualifikasi besar hanya dapat mengerjakan proyek dengan nilai paket di atas Rp 100 miliar. Bahkan, secara khusus BUMN kontraktor diimbau hanya mengikuti lelang proyek yang nilainya di atas Rp 100 miliar.
Meski demikian, kebijakan tersebut belum sepenuhnya menjadi solusi. Mekanisme lelang pemerintah yang memenangkan penawar terendah ditengarai membuat lelang menjadi tidak sehat. Lelang yang harusnya mencari penawar berkualitas dikeluhkan berubah menjadi ajang banting-bantingan harga. Akibatnya, kontraktor yang tidak mempunyai sumber daya cukup pun dengan sendirinya tersingkir. Bukan hanya itu, dengan harga yang rendah, kualitas konstruksi pun diragukan.
Pemerintah telah mendorong agar kontraktor umum atau generalis dapat bertransformasi menjadi kontraktor spesialis. Dengan kemampuan yang lebih spesifik, kontraktor spesialis akan lebih dapat berdaya saing. Sementara, proyek infrastruktur pemerintah terus berkembang dan memerlukan kontraktor dengan kemampuan tertentu.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi memiliki semangat agar pelaku jasa konstruksi semakin profesional sehingga dapat bersaing di dalam negeri ataupun luar negeri. Dan memang persaingan ke depan memerlukan kapasitas dan profesionalitas. Sudah bukan zamannya lagi bagi-bagi proyek, apalagi berprinsip ”palugada”; apa lu mau gua ada. (NORBERTUS ARYA DWIANGGA)