”Lampu Menyalo Karno Rimbo Tajago”
Kemewahan seisi hutan itu kerap menggoda tamu yang berkunjung. Banyak sudah pohon-pohon megah dan bertajuk luas menjadi incaran. Jika si tamu telah menunjuk pohon yang diinginkan, Jahardin (36), tak kuasa menolak.
Namun, pohon itu tidak untuk ditebang atau dipotong-potong menjadi papan atau balok-balok kayu komersial. Ada hal lain. ”Siapa pun boleh memilih pohon mana saja untuk dijadikan anak asuh,” ujar Jahardin, pengelola Hutan Adat Depati Kara Jayo Tuo, Desa Rantau Kermas, Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin, Jambi, Rabu (10/7/2019).
Sejak program pohon asuh di hutan adat itu dibuka tahun 2014, banyak orang tertarik menjadi orangtua asuh. Mereka rela berdonasi Rp 200.000 per pohon per tahun demi kelestariannya. Sejauh ini, 815 pohon setempat punya orangtua atau wali asuh. Jenisnya, di antaranya, pohon kenolan, mawang, medang, nulad, bawang, lingkat, dan melero.
Untuk menjamin semua tanaman terjaga utuh, tim pengelola rutin berpatroli dalam hutan. Masyarakat pun dirangkul turut menjaga. Belakangan, para tokoh adat sepakat memperketat aturan. Kalau dulu masih diperbolehkan menebang pohon dalam hutan adat. Tebang satu batang wajib diganti dengan 10 batang bibit.
Namun, lewat aturan baru yang disepakati, kini berlaku larangan penuh menebang pohon. ”Tak boleh ada satu batang pun ditebang,” kata Ishak, tokoh adat setempat. Sebuah keputusan berani.
Selain menebang pohon, dilarang pula membuka ladang, mencemari air, ataupun membuang sampah plastik dalam hutan adat. Yang melanggar akan terkena denda adat. Pelaku wajib membayar 1 ekor kambing, 20 gantang beras, dan uang Rp 500.000.
Perjuangan merawat hutan adat telah memberi manfaat tak terduga bagi masyarakat. Lebih dari Rp 160 juta mengalir ke desa itu lewat donasi pohon asuh yang dikelola lewat laman pohonasuh.org. ”Uangnya sudah kami manfaatkan untuk membangun mushala, lapangan olahraga, menyekolahkan anak-anak, dan mengembangkan ekowisata hutan adat,” kata Akhmadi, Ketua Hutan Adat Depati Kara Jayo Tuo.
Dibukanya jalur trek hutan adat semakin menarik tamu menjelajah hutan. Mereka terpukau melihat sumber-sumber dari mata air mengalir di antara pepohonan. Ada pula alirannya membentuk air terjun mini. Jika haus, pengunjung dapat langsung meminum airnya. Dingin menyegarkan. Gratis pula.
Di sepanjang jalur trek, pengunjung hutan dapat memilih pohon dan berdonasi untuk kelestariannya. Kemewahan dalam hutan itu seolah tak habis-habisnya. Di ujung jalur, tampak pemandangan luas menghampar dari ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut. Dari puncak bukit, terhamparlah wajah desa itu di lembah gugusan Bukit Barisan di tengah rimba Taman Nasional Kerinci Seblat.
Turun-temurun
Kepala Desa Rantau Kermas Hasan Apede menceritakan, kisah pelestarian hutan adat itu telah berjalan lebih dari 10 abad. Awalnya demi tujuan yang tampaknya sederhana, yakni mengantisipasi longsor serta menjaga asupan air dari mata air dan sungai-sungai yang melintasi desa.
Rantau Kermas merupakan bagian dari wilayah adat Serampas, salah satu marga yang telah berkembang di masa prasejarah. Desa yang berada pada ketinggian 900-1.800 meter di atas permukaan laut itu memiliki bentang alam perbukitan curam, pegunungan, dan lembah yang memberi pemandangan eksotik.
Desa itu pun diperkaya belasan sungai dan danau-danau perawan nan cantik. Namun, kecantikan itu setara dengan besarnya ancaman bencana yang dapat mengintai jika saja masyarakat lalai merawat lingkungan.
Menyadari warisan alam yang dimiliki, masyarakat menjaga tata ruang wilayah. Penggunaan lahan disesuaikan dengan kontur dan kondisi alam. Untuk wilayah curam, kawasan hulu sungai, dan sepanjang bantaran sungai ditetapkan sebagai daerah terlarang untuk alih fungsi. Persawahan hanya dapat dikembangkan di daerah lembah dan lahan landai.
Perlindungan hutan awalnya disepakati lisan dan diwariskan dari generasi ke generasi. Baru tahun 2000 ada penetapan hutan adat secara resmi lewat peraturan desa. Selanjutnya, tahun 2015, Pemerintah Kabupaten Merangin mengesahkan pula hak kelola hutan adat tersebut seluas 130 hektar.
Pengakuan terus berlanjut, diikuti Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2016 tentang penetapan Hutan Adat Marga Serampas Rantau Kermas. Puncaknya, para pengelola hutan adat setempat memperoleh penghargaan Kalpataru yang diberikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya di Jakarta, Kamis (11/7/2019).
”Ini merupakan bentuk penghargaan bagi masyarakat yang sudah mengelola hutan dengan baik di tengah besarnya ancaman alih fungsi hutan,” kata Rudi Syaf, Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, yang sejak 1996 mendampingi masyarakat Rantau Kermas.
Tak tergoyahkan
Peneliti Universitas Jambi, Bambang Hariyadi, melihat keteguhan masyarakat tak tergoyahkan dalam melindungi sumber daya air lewat hutan adat. Hasilnya, hutan itu berperan strategis melindungi lahan kritis rawan erosi dan longsor. Keragaman hayati pun terjaga.
”Hasil pengamatan vegetasi di lapangan menunjukkan hutan adat memiliki indeks keanekaragaman hayati tumbuhan setara dengan indeks pada hutan alam (old growth forest),” ujar Hariyadi dalam bukunya berjudul Orang Serampas.
Dengan menjaga alam, kehidupan masyarakat terjamin. Berbagai hasil budidaya tumbuh subur, mulai dari padi, kentang, kopi, kulit kayu manis, hingga rotan, bambu, hingga buah-buahan. Hasil hutan nonkayu mencukupi kebutuhan masyarakat.
Aliran sungai pun dimanfaatkan untuk memasok kebutuhan listrik setempat. Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) dibantu pemerintah dan lembaga donor. Sumber energi yang berasal dari Sungai Langkup itu tak pernah putus memenuhi kebutuhan listrik bagi 124 keluarga di sana. ”Di sini pasokan listrik melimpah karena sungainya terjaga,” kata Mustera, pengelola PLTMH.
Akhirnya, pesan untuk merawat hutan dan alam tak henti diserukan. Di tengah permukiman, di pintu masuk desa, hingga di pinggir sungai sekalipun, dipasang papan berisi pesan ”Lampunyo nyalo karno rimbo tajago”. Lampunyo terang, rimbonyo jangan ditebang. Rimbo merupakan penyangga kehidupan anak cucu yang akan datang.(IRMA TAMBUNAN)