Keberadaan penghayat kepercayaan pernah menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Ada yang menganggap, penghayat kepercayaan bukan agama sehingga tidak cocok pula dicantumkan di kolom ”agama” pada kartu tanda penduduk (KTP). Di sisi lain, banyak pula yang berpendapat, penghayat kepercayaan harus diakui dan dihargai karena keyakinan itu sudah ada jauh sebelum masuknya berbagai agama ke Indonesia.
Kompas, 27 Juli 1972, memberitakan soal 18 aliran kepercayaan yang dibekukan di Jawa Tengah. Penghayat kepercayaan yang dibekukan tersebut tersebar di Ambarawa, Banjarnegara, Demak, Klaten, Surakarta, Purwokerto, Salatiga, dan Wonogiri.
Selain yang dibekukan, ada 45 aliran kepercayaan yang membubarkan diri dengan berbagai alasan, termasuk tidak ada pemimpin dan pengikutnya. Setelah 45 aliran kepercayaan dibubarkan, di Jawa Tengah tersisa 192 aliran kepercayaan dengan 19.590 pengikut.
Untuk menghargai keberadaan penghayat kepercayaan yang merupakan kekayaan bangsa, pada 1970-an, penghayat kepercayaan tidak ditangani Kementerian Agama, tetapi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Para pemimpin aliran kepercayaan pun dalam pertemuan April 1972 di Yogyakarta sependapat bahwa aliran kepercayaan dan kebatinan bukan termasuk agama.
Pada akhir 2017, Mahkamah Konstitusi dalam keputusannya terhadap perkara Nomor 97/PPU-VIV/ 2016 menyatakan, penghayat kepercayaan dapat mencantumkan status mereka pada kartu keluarga dan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) tanpa harus mencantumkan nama aliran kepercayaan yang mereka anut.
Keputusan MK tersebut dinilai masyarakat sebagai langkah maju dalam menjunjung tinggi kehidupan berdemokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia. Keputusan tersebut sekaligus memutuskan polemik dan merupakan pengakuan negara terhadap posisi para penghayat kepercayaan di Indonesia. (THY)