Tawaran kuliner asal Bandung, Jawa Barat, tak melulu soal rasa. Ada adukan nostalgia dan nilai sejarah akulturasi kota bagi milenial yang datang ke surganya ”tukang jajan” sejak era Hindia Belanda ini.
Sinar mentari sore keemasan itu jatuh lagi di Warung Kopi Purnama di Jalan Alkateri, Kota Bandung, Jumat (26/7/2019). Di antara tirai bambu dan kaca patri, sinarnya hangat memeluk para pengunjung yang akrab duduk di meja marmer dan kursi kayu lawas. Tak jauh beda ketika warung kopi legendaris ini berdiri 89 tahun lalu, ketika Bandung tengah merekah menjadi ”kota kembang” Hindia Belanda.
Suasana itu amat mudah membuat Ezra Natanael (19) jatuh cinta. Baru tinggal beberapa bulan di Bandung, ia sudah berkali-kali datang. Es kopi susu dan nikmat roti selai serikaya menjadi menu kesukaannya. Roti mentega ditaburi gula pasir adalah favorit sarapan noni-noni Belanda. Cara menyantapnya, roti dicelupkan ke dalam kopi. ”Ini menu kesukaan ayah waktu dia kuliah di Bandung. Kata dia, rasanya tetap enak. Dan, dia benar,” katanya.
Christo (19), rekan Ezra, punya kesan lain. Dia tertarik dengan arsitektur Purnama. Dinding warna kremnya tinggi, membuat penyejuk udara tak perlu ada untuk mengundang hawa sejuk. ”Beda dengan Jakarta. Kalau mau minum kopi di tengah kota seperti ini harus ada penyejuk udara,” katanya.
Pengelola Warung Kopi Purnama, Aldi Rinaldi Yonas (30), mengatakan, sejak didirikan kakek buyutnya, Jong A Thon, menu andalan terus dipertahankan. Kopi campuran arabika dan robusta tetap datang dari Medan. Roti tebal nan gurih dan rasa selai tetap dijaga.
Lotek cinta
Cita rasa abadi juga tersaji dalam sepiring lotek Kalipah Apo 42. Saus kacang kental membalut ragam sayuran itu bertahan sejak hadir perdana 1953. ”Tidak ada yang ditambah ataupun dikurangi. Resepnya ramuan khusus yang dibuat nenek saya,” kata pengelola Lotek Kalipah Apo 42 Bandung, Jo Lydia (51).
Lydia mengatakan, ada sejarah panjang di balik cinta itu. Lotek adalah penyambung hidup keluarga setelah kakeknya meninggal. ”Lotek awalnya makanan keluarga besar. Selalu ada lotek yang di santap saat kami bertemu,” katanya.
Pilihan pada lotek membuahkan hasil. Berada tak jauh dari Pasar Baru, pusat keramaian sejak era Hindia Belanda, lotek tak kesulitan mendapat pelanggan di Jalan Kalipah Apo. Di sana banyak permukiman dan perkantoran. Lotek jadi pilihan terbaik makan siang.
Akan tetapi, Lotek Kalipah Apo kini lebih dari sekadar menu makan siang. Tak mudah memperolehnya. Pengunjung harus siap antre, terutama akhir pekan. Antrean anak muda hingga lanjut usia mengular hingga luar toko bergaya ”indis”, perpaduan Eropa-Indonesia itu.
Cinta juga yang membawa Ny Sianny (61) kembali meski kini tinggal di Australia. ”Tahun 1970-an, saat kuliah di Bandung, ini tempat makan bersama pacar saya. Waktu berlalu, lotek ini tetap bikin kangen hati,” katanya.
Es krim idola
Ny Windi (45) juga bernostalgia rasa saat melangkah ke bangunan tua di Jalan Tamblong, Kota Bandung. Ia memesan es krim coconut royale. ”Rasanya tak berubah. Tempat ini juga menyimpan kenangan nongkrong bersama teman- teman kuliah dulu,” ujarnya.
Tempat sarat kenangan untuk Windi itu adalah toko Rasa Bakery & Cafe. Berdiri sebagai toko aneka cokelat pada 1932, es krim jadi andalannya sejak 1975. Coconut royale, misalnya, menyajikan es krim kombinasi rasa stroberi, cokelat, dan vanila di atas potongan batok kelapa. Harganya Rp 45.000.
”Harganya sesuai dengan kepuasan. Namun, lebih penting, kenangan di tempat ini tak mungkin terganti,” ujarnya. Supervisor Rasa Bakery & Cafe Prapti mengatakan, resep andalan tidak diubah. Es krimnya juga dibuat sendiri sehingga menjadi ciri khas. Pintu lipat berbahan kayu dan kursi besi dipertahankan. Cetakan cokelat berbahan logam lawas juga dipajang dalam etalase toko. Kejayaan kuliner Bandung tempo doeloe tampak gagah di sana.
Prapti menuturkan, strategi itu sukses mengundang 200 orang per hari, sebagian besar anak muda. ”Ada juga pengunjung dari Belanda. Mereka dengar cerita tempat ini dari orangtua mereka yang pernah tinggal di sini,” ujarnya. Dulu, produknya tidak hanya dikenal di Bandung, tetapi juga menjadi santapan pembesar Belanda di Batavia.
Menu akulturasi
Fadly Rahman, pengamat sejarah kuliner Nusantara, mengatakan, para legenda membuktikan kreativitas orang Bandung. Namun, perkembangan zaman rentan mematikan jika tak siap. ”Ada kopi kemasan legenda di Bogor tak mampu menghadapi menjamurnya kafe kekinian,” kata Fadly.
Terbiasa mengeluarkan menu baru, Rasa Bakery & Cafe tetap optimistis. Dari roti, nasi goreng pete, hingga nasi rawon menjadi jaring efektif menarik pelanggan. Perpaduan kuliner Timur dan Barat memanjakan lidah penikmatnya.
Lydia di Kalipah Apo juga getol mempromosikan menu peranakan Tionghoa dan Indonesia. Akulturasi lewat santapan kembali jadi motif utamanya. Salah satunya saat mengeluarkan nasi begana di akhir pekan. ”Bagi pelanggan orang peranakan, nasi begana membawa kebahagiaan masa kecil,” tuturnya.
Warung Kopi Purnama pun serupa. Menu paduan Nusantara, China, dan Belanda, mulai dari lumpia goreng hingga bitterballen, akan memperkaya rasa. Aldi mengatakan, paduan ini menjadi kekayaan kuliner yang sulit dicari padanannya sehingga patut dipertahankan.
Serikaya, menu kesukaan Ezra dan pelanggan milenial lainnya, pun bakal menjadi masa depan. Selai yang kini hanya dibuat untuk menu makanan di sana bakal segera dijual terpisah untuk umum.
Perjalanan rasa para legenda tampaknya belum akan menemukan jeda. Di ”Kota Kembang”, ragam warisan itu bakal tetap ada untuk selalu menggoda selera. Bandung, kota kekinian bercita rasa nostalgia. (SEM/TAM/RTG)