JAKARTA, KOMPAS – Peristiwa penembakan sesama anggota Kepolisian Negara RI yang menewaskan Brigadir Kepala Rahmat Efendy, Kamis (26/7/2019), di Markas Kepolisian Sektor Cimanggis, Depok, Jawa Barat, menjadi bahan evaluasi Polri untuk menertibkan penggunaan senjata api. Selain pengawasan yang akan diperkuat, Polri akan mengevaluasi pemberian izin kepada personel yang diberi kewenangan memegang senjata api.
Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Inspektur Jenderal Listyo Sigit Prabowo menegaskan, peristiwa penembakan yang dilakukan Brigadir RT kepada Bripka Rahmat harus menjadi yang terakhir. Atas dasar itu, lanjutnya, tim Propam Polri telah membentuk tim untuk memproses RT secara kode etik.
“Hukuman PTDH (pemberhentian tidak dengan hormat) akan dijatuhi kepada yang bersangkutan serta kasus itu akan diproses secara pidana. Selain itu, proses penerbitan izin senjata juga akan didalami, apakah yang bersangkutan memenuhi syarat atau tidak,” ujar Listyo di Jakarta, Jumat (26/7/2019).
Lebih lanjut Listyo menuturkan, sebagai upaya pencegahan penyalahgunaan senjata api, seluruh pimpinan satuan untuk memperketat pengawasan penggunaan senjata, terutama untuk memastikan seluruh personel kepolisian mematuhi aturan dan prosedur operasi standar. Ia pun mengingatkan agar para pimpinan satuan Polri untuk secara berkala memerhatikan psikologis setiap personel.
“Personel yang memiliki kecenderungan emosional lebih baik dicabut izin kepemilikan senjatanya. Seluruh aturan harus betul-betul ditaati, sehingga pelanggaran terhadap aturan harus diberikan sanksi,” tutur Listyo.
Secara terpisah, komisioner Komisi Kepolisian Nasional, Poengky Indarti, menilai, terdapat dua potensi pelanggaran yang dilakukan RT dalam peristiwa itu. Pertama, ia diketahui sedang tidak bertugas sehingga seharusnya tidak diperbolehkan memegang senjata api. Kedua, ia memanfaatkan kewenangan sebagai personel Polri untuk ikut campur dalam proses hukum kasus tawuran yang melibatkan FZ karena memiliki hubungan keluarga dengan FZ.
Poengky mengatakan, pihaknya mendukung RT untuk dijatuhi hukuman kode etik PTDH. Selain hukuman kode etik, hukuman pidana yang tegas juga harus diberikan kepada RT karena seluruh anggota Polri harus tunduk dan patuh pada peradilan umum.
“Berdasarkan kasus ini, Polri perlu melakukan evaluasi dan pembinaan psikologi berkala, meskipun langkah itu telah dilakukan setiap enam bulan sekali. Dan, yang terpenting adalah evaluasi penggunaan senjata api yang harus menaati Peraturan Kepala Polri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi HAM,” kata Poengky.
Menurut dia, sejumlah anggota Polri masih memiliki pemahaman yang lemah terhadap perkap itu. Anggota Polri yang diberikan senjata api, tambahnya, tetapi tidak memahami implementasi HAM seharusnya dilarang memegang senjata api karena berpotensi membahayakan orang lain.