Penghentian 1.695 guru bukan sarjana dari jabatan fungsional di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, menunjukkan program peningkatan kualifikasi akademik guru bermasalah.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
SIMALUNGUN, KOMPAS — Penghentian 1.695 guru bukan sarjana dari jabatan fungsional di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, menunjukkan program peningkatan kualifikasi akademik guru bermasalah. Persoalan ini juga terjadi di banyak daerah. Guru kesulitan mengakses perkuliahan. Persoalan lain, minat guru untuk kuliah sangat minim meskipun diberikan kesempatan.
”Peningkatan kualifikasi akademik guru merupakan amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Guru diberi kesempatan untuk berkuliah selama 10 tahun atau hingga 2015. Namun, sampai sekarang masih banyak guru yang belum berpendidikan sarjana atau diploma 4,” kata Wakil Rektor IV Universitas Negeri Medan Manihar Situmorang, di Medan, Sabtu (27/7/2019).
Menurut Manihar, Universitas Negeri Medan bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Sumut telah menyelenggarakan Program Sarjana Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan (PSKGJ) sejak 2010. Para dosen didatangkan ke daerah-daerah agar bisa membuka kelas kuliah tanpa mengganggu tugas dan tanggung jawab guru di sekolah. ”Program PSKGJ itu menamatkan lebih dari 10.000 guru,” kata Manihar.
Salah satu kendala pelaksanaan PSKGJ itu, menurut Manihar, adalah minimnya minat para guru untuk berkuliah. Banyak guru yang tidak menggunakan kesempatan itu. Di sisi lain, kata Manihar, mereka tidak menyelenggarakan PSKGJ untuk beberapa program studi seperti pendidikan olahraga. ”Para guru beberapa kali meminta program studi itu, tetapi tidak bisa disediakan,” katanya.
Bupati Simalungun Jopinus Ramli Saragih sejak 26 Juni menghentikan 1.695 guru dari jabatan fungsional guru. Para guru merupakan tamatan sekolah pendidikan guru, SMA, dan diploma 2. Akibatnya, para guru itu tidak bisa mendapat tunjangan profesi guru. Keputusan itu juga ditolak oleh DPRD Simalungun karena Simalungun dalam kondisi kekurangan guru.
Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia Kabupaten Simalungun Albert Pancasila Sipayung mengatakan, program peningkatan kualifikasi akademik guru sejak awal bermasalah. Menurut Albert, akses guru terhadap perkuliahan sangat minim. Meskipun ada PSKGJ di daerah, banyak guru kesulitan mengakses karena mereka mengajar di sekolah pedalaman.
Persoalan peningkatan kualifikasi guru ini, menurut Albert, sudah muncul saat program pemberian tunjangan profesi guru. Awalnya hanya guru berpendidikan sarjana yang bisa mengikuti program itu. Dengan mempertimbangkan pengabdian guru, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan kesempatan bagi guru yang sudah mengabdi lebih dari 20 tahun, usia minimal 50 tahun, dan golongan IV untuk mendapat tunjangan profesi.
”Guru-guru itu pun diberi sertifikat pendidik dan dinyatakan lulus sebagai guru profesional. Karena itu, Pemerintah Kabupaten Simalungun sebenarnya tidak punya dasar mengangkat lagi persoalan ini lalu menahan tunjangan profesi mereka,” kata Albert.
Guru-guru itu pun diberi sertifikat pendidik dan dinyatakan lulus sebagai guru profesional. Karena itu, Pemerintah Kabupaten Simalungun sebenarnya tidak punya dasar mengangkat lagi persoalan ini lalu menahan tunjangan profesi mereka.
Sekretaris Dinas Pendidikan Simalungun Parsaulian Sinaga sebelumnya mengatakan, mereka menghentikan guru bukan sarjana karena sudah diatur dalam UU No 14/2005, Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2009 tentang Guru, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Mereka pun memberikan waktu hingga November 2019 untuk mencantumkan gelar sarjana.
Parsaulian mengakui mereka kekurangan guru. Jumlah guru PNS untuk SD dan SMP di Simalungun, termasuk yang dihentikan, hanya sekitar 6.000 orang. Kekurangan guru ditutupi dari tenaga honorer 4.000 orang.