Ruang Universal Artjog
Artjog memasuki babak baru. Festival seni tahunan di Yogyakarta itu mengusung tema besar, ”Arts in Common” untuk tiga tahun sekaligus hingga 2021. Pada tahun ini, Artjog dengan tema ”Common Space” menyuguhkan karya-karya seni yang meretas batas berkreasi secara sempit dan harfiah.
Pembukaan Artjog berlangsung meriah. Antrean masyarakat yang hendak membeli tiket Artjog MMXIX di Jogja National Museum, Kamis (25/7/2019), mengular. Penampilan gitaris Dewa Budjana dan penyanyi Asteriska diserbu remaja yang mengabadikannya dengan kamera.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang turut hadir di sela pembukaan tersebut sejenak menikmati keindahan sejumlah karya seni. ”Seniman-seniman memamerkan karya yang menggugah emosi. Menciptakan kesadaran bermakna soal alam dan hubungannya dengan manusia,” ujarnya.
Ungkapan Sri Mulyani yang sehari-hari berkutat dengan kebijakan moneter strategis itu menjadi gambaran bahwa publik awam diyakini dapat memahami kekuatan pesan dari Artjog. Tema Artjog kali ini, ”Common Space”, yang berarti ruang bersama dihiasi berbagai karya berkonsep konservasi berkelanjutan.
Di muka jalan masuk menuju pameran, pengunjung disambut karya Taman Organik Oh Plastik. Karya Handiwirman Saputra itu digarap dengan sangat ekstrem. Ia menggali fasad Jogja National Museum hingga 4 meter dengan diameter 6 meter. Pengunjung bisa melihat tanah dan fondasi yang telanjang.
Lulusan Jurusan Kriya Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu meletakkan patung usang, rangka besi, selang, dan buntalan-buntalan kantong plastik di sekitar galiannya. Karya Handiwirman bagai menghardik estetika simbolik.
Gagasan seniman kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat, itu menggedor pikiran bawah sadar manusia yang gandrung akan pesona artifisial. Semua material yang ditemukan saat menggali halaman depan museum itu ia pajang dan dijadikan bagian dari karyanya.
Handiwirman menyadarkan tentang pembukaan taman yang kerap diagungkan sebagai gerakan hijau dalam kesempatan seremonial, tetapi sebenarnya hanya miniatur alam. Ia juga mengentak logika dengan merombak pelataran beton museum secara radikal demi makna yang hendak disajikan.
Beranjak dari Taman Organik Oh Plastik, kemegahan Whirlwind of Time jadi kejutan berikutnya. Karya Andrita Yuniza Orbandi serupa sarang burung raksasa itu berdiameter sekitar 5 meter dan tinggi 3 meter. Jalinan batang, ranting, dan dahan membentuk pusaran.
Di dalam pusaran, terlihat semacam labirin dengan ruang inti yang ditumbuhi daun pakis di sela-sela lingkaran kayu. Di tengah ruang itu tertanam satu tunas kecil. Karya Andrita mendeskripsikan sebab dan akibat yang bermuara pada takdir manusia.
Pusaran yang diadaptasi dari angin puyuh menjadi metafora aral kehidupan. Setiap insan menyusuri lorong-lorong nasib dengan badai persoalannya sendiri. Ruang di tengah pusaran menjadi persinggahan sementara, di mana manusia dapat sejurus menikmati keheningan sebelum kembali berlari.
Di dalam gedung Jogja National Museum, kolaborasi enam artis menghasilkan Piramida Gerilya. Lulu Lutfi Labibi, Singgih S Kartono, Agung Satriya W, Adamuda, Sindhu Prasastyo, dan @indieguerrilas mempersembahkan Piramida Gerilya. Mereka mengetengahkan pemanfaatan hasil bumi dari hulu hingga hilir.
”Masing-masing dari kami punya produk. Kami pikir, kenapa enggak bikin warung yang produknya ramah lingkungan. Namanya Warung Murakabi,” ujar Santi Ariestyowanti. Santi bersama Miko Bawono yang membentuk @indieguerrilas, misalnya, adalah seniman visual. Sementara Agung giat mengembangkan pangan lokal.
Di Warung Murakabi dijual antara lain keripik singkong, kopi, teh, minuman secang, dompet, dan tas kecil. Warung itu ditempatkan di dekat ruang yang diisi orang-orangan sawah dari bambu. Padi, tunas kelapa, dan pohon pisang jadi ornamen-ornamen yang menghiasi Piramida Gerilya.
Di sebelah Warung Murakabi, tersedia ruang lain untuk menikmati makanan dan minuman. Santi dan Singgih terlihat tengah duduk di lantai sambil menyesap kopi. Piramida Gerilya menggambarkan ladang atau sawah sebagai sumber pangan, warung tempat mengolah hasil bumi, dan ruang untuk menikmatinya.
”Kopi yang dijual berasal dari masyarakat yang dulunya berburu burung. Lalu, kualitas kebun kopi mereka ditingkatkan sehingga berburu burung ditinggalkan,” ujarnya. Sementara itu, padi dihasilkan dari petani yang mengerahkan burung hantu untuk membasmi tikus.
Tanpa pestisida atau racun, padi yang dipanen lebih sehat. Santi dan rekan-rekannya menyeleksi penyedia produk hingga terpilih 22 vendor. ”Disebut piramida karena lokasi rumah kami. Kalau dilihat di peta, bentuknya mirip piramida. Gerilya dari @indieguerrilas. Guerilla artinya gerilya,” ucap Santi.
Meski bertema ruang, Artjog tak menyesuaikannya secara kaku dengan karya-karya yang dipajang. Ruang yang dimaksud lebih universal, mencakup alam seisinya. Konsep itu pula yang diinginkan menjadi penyemangat berkreasi.
Maka, ”Common Room” ikut diramaikan karya mengenai lingkungan dan penghijauannya. Tema itu juga memotivasi seniman untuk tak terkungkung dalam ruang sempit. ”Namun, menyublim menjadi ruang yang luas,” ujar Direktur Artjog Heri Pemad.
Tema itu pun bermakna ruang gagasan, toleransi, dan pemikiran. Ruang tanpa batas layaknya kegelisahan dan kreativitas seniman. ”Bukan ruang secara verbal. Perwujudan konsep itu telah mereka tuangkan dengan dalam dan cerdas,” ujarnya.
Tentu saja, Artjog tetap dilengkapi karya-karya yang lekat dengan ruang secara fisik. Pelukis Cinanti Astria Johansjah berkolaborasi sutradara film Sammaria Sari Simanjuntak menghadirkan karya Round and Round and Round We Go.
Mereka menempatkan delapan kursi dan satu meja bundar. Visual dan bunyi hanya bisa tampil secara utuh ketika semua kursi itu terisi. Sesekali, suara anak kecil yang berkomentar mengenai trauma dan daya sintas, menggema dalam ruang tersebut.
Karya lain, yaitu Shared Residence karya Poklong Anading, berupa lemari berisi buku-buku yang dipinjamkan sejumlah seniman Yogyakarta. Di belakang lemari itu, ditaruh beberapa meja dan bangku. Ia mempertanyakan terminologi berbagi yang sering digunakan pada pameran.
Menurut kurator Artjog MMXIX, Agung Hujatnika, tema besar ”Arts in Common” digunakan untuk tiga tahun karena ingin pokok pikiran itu berkesinambungan. ”Supaya solid, pesannya nempel terus. Kalau 2020 dan 2021, itu nanti. Biar jadi kejutan,” ucapnya sambil tersenyum.