Cerita Besar dari Sumba Mini
Pastor Robert Ramone (57) menunjukkan sejumlah kain tua yang disimpan di Rumah Tenun dan Museum Atma Hondu. Beberapa di antaranya dihiasi susunan cangkang kerang laut yang membentuk figur manusia dan binatang.
Kain-kain berusia puluhan tahun itu merupakan karya masyarakat Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, pada zaman dulu. ”Kain-kain ini pernah ditawar orang dengan harga mahal. Ada yang nawar Rp 100 juta, bahkan Rp 320 juta. Namun, saya tidak mau jual karena ini sangat langka,” ujar Robert saat dijumpai Kompas berkeliling di Rumah Tenun dan Museum Atma Hondu, Selasa (23/4/2019).
Rumah Tenun dan Museum Atma Hondu merupakan bagian dari Lembaga Studi dan Pelestarian Budaya Sumba yang didirikan Robert. Lembaga yang lebih dikenal dengan nama Rumah Budaya Sumba itu berlokasi di Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, tak jauh dari Bandar Udara Tambolaka.
Pastor Robert Ramone sudah cukup lama dikenal sebagai pelestari budaya Sumba. Sejak tahun 1990-an, Robert aktif mempromosikan kekayaan budaya dan alam Sumba melalui fotografi. Dengan membawa peralatan fotografi, ia berkeliling ke pelosok-pelosok Sumba untuk mengabadikan berbagai keindahan panorama Sumba beserta keunikan budaya dan masyarakatnya.
Sebagian foto karya Robert itu lalu dipamerkan dalam sejumlah pameran di Jakarta, Bali, dan Kupang serta dicetak menjadi beberapa buku.
Pria asli Sumba itu ingin berkontribusi lebih besar untuk melestarikan budaya tanah kelahirannya. Motivasi itulah yang kemudian mendorongnya mendirikan Rumah Budaya Sumba pada 2010.
Robert menuturkan, salah satu yang mendorong dirinya mendirikan Rumah Budaya Sumba adalah keprihatinannya atas sejumlah persoalan dalam pelestarian budaya Sumba. Banyak rumah adat Sumba yang rusak dan tidak bisa dibangun kembali karena berbagai alasan. Padahal, rumah adat Sumba—yang dikenal dengan atap menara—punya nilai budaya yang sangat kaya.
”Alasan umumnya adalah alasan ekonomi sehingga masyarakat tidak sanggup membangun lagi rumah adat kebanggaan mereka. Namun, ada juga pengaruh modern yang membuat orang lebih berpikir instan,” ujarnya. Pada 2010, dia bertemu dengan donatur yang bersedia membantu pendirian Rumah Budaya Sumba. Lembaga itu kemudian diresmikan pada 2011.
Awalnya, Rumah Budaya Sumba hanya memiliki dua bangunan utama. Pada 2018, Rumah Budaya Sumba menambah satu bangunan besar yang lalu dijadikan Rumah Tenun dan Museum Atma Hondu. Kini, Rumah Budaya Sumba memiliki dua museum: Tirta Moripa sebagai museum artefak serta Rumah Tenun dan Museum Atma Hondu yang menjadi museum kain.
Yang menarik, bangunan-bangunan utama di Rumah Budaya Sumba itu berarsitektur menyerupai rumah adat Sumba dengan atap menara yang khas. Seperti rumah adat umumnya, atap menara di Rumah Budaya Sumba juga terbuat dari alang-alang.
Rumah Budaya Sumba juga memiliki pelataran untuk pentas kesenian dan kamar-kamar penginapan yang bisa disewa wisatawan. Di kompleks itu juga terdapat berbagai patung yang berkait erat dengan kebudayaan tradisional masyarakat Sumba.
Robert juga terlibat dalam perbaikan dan pembangunan kembali ratusan rumah adat di sejumlah wilayah Sumba. Perbaikan itu didukung pemerintah dan donatur swasta.
Artefak
Rumah Budaya Sumba menyimpan sejumlah koleksi yang menggambarkan berbagai sisi kebudayaan pulau yang kerap dijuluki ”Tanah Marapu” itu. Rumah Budaya Sumba ini ibarat ”Sumba mini”.
Di Tirta Moripa, misalnya, pengunjung bisa belajar tentang arsitektur dan beragam simbol yang terdapat pada rumah adat Sumba. Di museum itu juga tersimpan berbagai artefak budaya Sumba, seperti patung batu, kerajinan kayu, senjata tradisional, perhiasan, serta alat musik dan permainan tradisional.
Robert menceritakan, sebagian artefak itu berkait erat dengan kepercayaan Marapu yang dianut banyak masyarakat Sumba. Saat berkeliling ke sejumlah wilayah Sumba, Robert mengaku bertemu banyak masyarakat yang menyimpan artefak-artefak semacam itu. Sebagian artefak itu kemudian diserahkan kepada Robert.
”Saya mengumpulkan barang-barang itu selama lebih kurang 30 tahun,” kata Robert yang lahir di wilayah Kodi Bangedo, Sumba Barat Daya, pada 29 Agustus 1962.
Artefak yang tersimpan di Tirta Moripa antara lain lembing yang biasa digunakan untuk acara adat Pasola, batu kubur yang dipakai masyarakat Sumba untuk mengubur orang meninggal, serta aneka jenis perhiasan yang terbuat dari bagian tubuh hewan, seperti tanduk kerbau, kulit penyu, dan gading gajah.
Di Tirta Moripa, pengunjung juga bisa menemukan alat musik tambur yang dibuat dari tumpukan potongan kayu. Menurut Robert, alat musik yang dimainkan dengan cara dipukul itu memiliki makna simbolik tentang persatuan masyarakat yang terdiri dari berbagai elemen berbeda.
”Bunyi harmoni dari alat musik ini dihasilkan dari tumpukan kayu yang diikat jadi satu. Kayu-kayu itu berasal dari jenis pohon yang berbeda dan dari hutan yang berbeda, tetapi diikat jadi satu sehingga membentuk bunyi yang harmoni,” ujar Robert.
Tenun
Di Rumah Tenun dan Museum Atma Hondu, pengunjung bisa menemukan bagaimana evolusi pakaian tradisional di Sumba. Saat mengajak kami berkeliling museum itu, Robert menunjukkan pakaian tradisional yang terbuat dari kulit kayu dan sejumlah kain berusia sangat tua. ”Ada kain yang sudah berusia 300 tahun,” katanya.
Kain-kain berusia tua itu dibuat dan diwarnai secara tradisional. ”Pewarnaan kain pada masa lalu, antara lain, menggunakan tanaman wora (nila) untuk memberi warna biru. Ada juga kain yang diwarnai dengan lumpur,” ujar Robert.
Rumah Tenun dan Museum Atma Hondu juga menjadi tempat yang tepat untuk menggali lebih banyak informasi mengenai kain tenun Sumba. Sebab, museum itu memiliki banyak koleksi tenun Sumba dari wilayah berbeda.
Saat berkunjung ke sana, kita bisa mempelajari karakter tenun Sumba dari sejumlah wilayah. Hal ini karena empat kabupaten di Pulau Sumba, yakni Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya, memiliki karakter tenun berbeda-beda.
Menurut pegiat wisata dan budaya Sumba, Umbu Ludang (28), Rumah Budaya Sumba memang tempat yang tepat untuk mempelajari kebudayaan Sumba. Ia menyarankan wisatawan datang ke tempat itu lebih dulu sebelum berwisata keliling pulau. ”Kalau sudah datang ke Rumah Budaya Sumba, nanti akan lebih mudah memahami banyak hal saat datang ke kampung-kampung adat di Sumba,” ujarnya.