Gina Sang Pencerita
Walau masih kategori debutan, kiprah Ginatri S Noer sebagai sutradara tak bisa dipandang sebelah mata. Dalam waktu lebih kurang dua pekan sejak tayang perdana, film drama keluarga yang dia sutradarai, Dua Garis Biru (2019), menembus angka dua juta penonton.
Film yang pesan utamanya seputar pentingnya pendidikan seksual bagi anak remaja itu ditulis sendiri skenarionya oleh Gina, begitu dia akrab disapa. Gina sendiri sebelumnya tak pernah punya pengalaman menyutradarai film, bahkan untuk kategori film pendek.
Tahun lalu, ibu dua anak ini memang juga menuai sukses dengan remake sinetron lama Keluarga Cemara (2018). Namun, dalam film itu dia lebih berperan sebagai produser selain penulis naskah. Film Keluarga Cemara ditonton lebih dari 1,7 juta orang hingga akhir masa penayangan di bioskop.
Sebagai penulis naskah, Gina memang sudah cukup lama malang melintang di kancah perfilman Tanah Air. Beberapa film yang naskahnya dia garap lumayan populer. Sebut saja Ayat-Ayat Cinta (2008), yang dia garap bersama sang suami yang juga penulis naskah film, Salman Aristo.
Juga film drama yang terinspirasi autobiografi mantan Presiden RI BJ Habibie, Habibie dan Ainun (2012). Jika film Ayat-Ayat Cinta sukses ditonton lebih dari 3,6 juta orang hingga akhir masa pemutaran di layar lebar, film Habibie dan Ainun yang naskahnya digarap bersama Ifan Adriansyah Ismail ditonton oleh total 4,6 juta orang.
”Saya memang enggak pernah punya sejarah menyutradarai. Suami juga sempat tanya apa saya yakin bisa. Biasanya, kan, memang berjenjang dari pernah pengalaman menyutradarai film pendek,” ujar Gina.
Berbeda dengan penulis naskah atau bahkan produser, tugas sutradara, menurut Gina, jauh lebih berat. Sutradara itu ibarat CEO alias pemimpin umum perusahaan. Dia harus mampu memimpin dan mengarahkan anak buah. Selain itu, seorang sutradara juga harus artikulatif, mampu menjelaskan apa yang dia inginkan.
Seorang sutradara juga harus bisa banyak menerangkan sekaligus sabar kalau ditanya-tanya. Penyayang kucing ini sempat khawatir lantaran dia merasa bukan termasuk penyabar. Apalagi, di dunia perfilman, dia sempat mengalami kondisi di mana sutradara memperlakukan krunya dengan kurang baik, terutama demi mencapai hasil sinematografi tertentu yang diinginkan.
”Parahnya, kondisi macam begitu dianggap biasa saja waktu itu. Makanya, saya jadi khawatir bakal ikut-ikutan otoriter saat menyutradarai. Pada dasarnya saya, kan, orangnya memang enggak sabaran dan suka marah-marah,” ujar Gina. ”Namun, sepanjang karier saya juga bertemu banyak sutradara yang orangnya asyik dan penyabar, tetapi karyanya tetap bisa berkualitas,” papar Gina sambil tertawa.
Setelah 10 tahun
Keputusan untuk akhirnya menerima tawaran menjadi sutradara, menurut Gina, juga diambil lantaran ia diminta langsung oleh sang produser, Chand Parwez Servia. Menurut Gina, produsernya itu sudah sangat sabar menunggu, bahkan sampai 10 tahun hingga akhirnya naskah Dua Garis Biru digarap, setelah terlebih dahulu dirombak total.
Saat ditemui di ruang kerjanya di kantor Wahana Kreator Nusantara di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, awal pekan lalu, Gina antara lain bercerita tentang pengalaman dan proses kreatifnya menggarap film Dua Garis Biru.
Dia mempersiapkan dengan menulis konsep film setebal 40 halaman, termasuk menentukan tone warna film, juga detail rasio gambar yang akan digunakan dalam filmnya itu.
”Saya sejak awal sudah tentukan tone warnanya nanti hangat dan lembut, seperti tone warna dalam lukisan The Birth of a Venus karya maestro masa Renaissance abad XV, Sandro Botticelli. Saya juga ingin ada adegan reaksi gerakan menendang bayi di dalam perut ibunya walau proses pengambilan gambarnya lama dan merepotkan,” ujarnya.
Tak hanya itu, Gina juga merombak total naskah awal yang sebetulnya telah selesai dia tulis 10 tahun lalu. Dalam dua hari dia melakukan perbaikan, terutama memasukkan unsur penting yang semula tidak ada di versi skenario awal, yakni sudut pandang orangtua.
”Memang film ini awalnya sempat diprotes. Kalangan orangtua sempat ragu menonton. Tetapi, kami justru seperti diadvokasi anak-anak remaja lewat akun-akun medsos mereka. Mereka dengan jelas mengatakan pendidikan seks seperti inilah yang mereka butuhkan, sementara para orangtua tak pernah mampu menyediakannya,” ujar penggemar Steven Spielberg dan Alfonso Cuarón itu.
Sejak kecil
Film memang sudah mendarah daging dalam kehidupan Gina. Saat usia sekolah dasar, dia kerap diajak menonton film oleh ayahnya. Saat itu dia dan keluarga tinggal di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Di Balikpapan, perusahaan tempat ayahnya bekerja lumayan sering menggelar nonton bareng. Salah satu film yang paling diingat Gina adalah Pacar Ketinggalan Kereta (1988) karya sutradara maestro Teguh Karya. Kegemaran nonton film bersama ayahnya ini berlanjut ketika mereka pindah ke Jakarta.
Selain gemar menikmati cerita lewat medium film, Gina juga suka membaca komik dan buku. Saat masih duduk di bangku SD, sang ayah menghadiahinya buku kumpulan cerita karya Putu Wijaya. Saat itu ia belum terlalu mampu memahami isinya.
Namun, dari buku itu, Gina kemudian terinspirasi dan memahami bahwa ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk menyampaikan gagasan dan cerita seluas-luasnya.
Ketertarikan terhadap film tak membuat Gina sekadar senang menonton. Bersama sesama teman di sekolah menengah atas, Gina pun lalu mencoba menulis naskah cerita dan menggarap film sendiri.
Dia bekerja sama dengan teman satu sekolahnya, Angga Dwimas Sasongko, yang kini juga seorang sutradara ternama. Berbekal handycam pinjaman dari kakak Gina dan proses pengeditan di studio jasa video pernikahan di Mangga Dua, Jakarta, lahirlah karya pertama mereka, film pendek bergenre horor berjudul Maya.
Film itu lalu diputar di sekolah saat class meeting. Selain membawa televisi dan alat pemutar cakram video digital sendiri untuk menonton, Gina, Angga, dan tiga teman mereka lainnya juga mengutip uang dari kawan-kawan mereka yang tertarik menonton.
Film itu lantas diikutsertakan dalam lomba pembuatan film antar-SMA dan menang. Kegairahan Angga dan Gina mengeksplorasi dunia sinematografi berlanjut. Mereka bersama-sama ikut workshop yang digelar Mira Lesmana dan salah satu majalah remaja terkemuka saat itu. Hasilnya satu film pendek berjudul Ladies Room (2004). Mereka menang juara kedua.
Hadiahnya, Gina dikirim ikut workshop pembuatan film di Australia. Sepulang dari sana, dia kembali berkolaborasi dengan Angga menghasilkan film Foto, Kotak, dan Jendela (2006). Lewat kiprahnya itu, Gina punya banyak kenalan baru di dunia perfilman Tanah Air.
Walau kerap berprestasi, Gina mengaku tak istimewa saat di bangku SMA. Dia bahkan berada peringkat ke-30 di kelas dan sering bolos sampai akhirnya berhenti ikut les pelajaran sekolah. Namun, kedua orangtuanya tak pernah gusar atau banyak menuntut.
”Sepertinya saya bisa seperti sekarang karena orangtua percaya dan menerima anaknya seperti ini, ya? Mereka hanya percaya satu waktu nanti saya akan berhasil melakukan sesuatu. Kalau saya sekarang ada di posisi mereka, sepertinya enggak terbayang juga, ya,” ujar Gina tergelak.
Belajar dari orangtuanya, Gina kini lebih memilih menghabiskan waktu berkualitas bersama suami dan kedua anak mereka.
Untuk liburan keluarga, misalnya, mereka memilih kota ketimbang alam. Salah satu alasannya, di tengah keramaian, Gina bisa mengamati beragam manusia. Ini juga kerap memberinya ide-ide baru.
Ginatri S Noer
Lahir: Balikpapan, 24 Agustus 1985
Pendidikan:
- SD Negeri 10 Pagi Pondok Kelapa (1997)
- SMP Negeri 139 Klender (2000)
- SMA Negeri 61 Pondok Bambu (2003)
- D-3 Penyiaran Universitas Indonesia (2006)
- S-1 Komunikasi Massa Universitas Indonesia (2010)
Anak ke-3 dari tiga bersaudara
Suami: Salman Aristo
Putri: Biru Langit F Argiputri
Putra: \'Bung\' Akar Randu F Argiputra
Pekerjaan: Penulis skenario, sutradara, produser film; Co-founder dan EVP Business Development Wahana Kreator Nusantara
Karya (film dan buku), antara lain:
- Bebas (2019); Penulis, akan tayang
- Dua Garis Biru (2019); Sutradara dan Penulis
- Keluarga Cemara (2018); Produser dan Penulis
- Kulari ke Pantai (2018); Penulis
- Posesif (2017); Penulis
- Rudy Habibie (2016); Penulis
- Hari untuk Amanda (2010); Penulis
- Perempuan Berkalung Sorban (2009)
- Ayat-Ayat Cinta (2008); Penulis
- Musik Hati (2008); Penulis
- Jelangkung 3 (2007); Penulis
- Lentera Merah (2006); Penulis
- Foto, Kotak, & Jendela (2006); Penulis
- RUDY: Kisah Muda Sang Visioner BJ Habibie (2016)