Lindungi Anak dari Ancaman Kekerasan
Kekerasan pada anak di ibukota cenderung meningkat. Aksi tak hanya terjadi di jalanan, tapi di rumah dan lingkungan sekitarnya bisa mengancam anak-anak. Perhatian dan perlindungan pemerintah dan masyarakat terhadap anak dari berbagai macam bentuk kekerasan perlu dioptimalkan.
Kerasnya kehidupan Kota Metropolitan dengan segala problematikanya berdampak juga pada anak-anak. Salah satunya anak-anak menjadi rentan terhadap kekerasan. Catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI (2011-2016) menunjukkan, angka kekerasan pada anak di Jakarta tertinggi dibandingkan wilayah lainnya.
Catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI (2011-2016) menunjukkan, angka kekerasan pada anak di Jakarta tertinggi dibandingkan wilayah lainnya.
Kasus kekerasan anak di Jabodetabek masih menjadi perhatian hampir 30 persen warga dalam jajak pendapat Kompas akhir bulan lalu. Sebut saja kasus kakek 71 tahun di Kota Bekasi yang tega menghamili anak asuhnya yang masih di bawah umur. Akhirnya si anak asuh meninggal dunia setelah melahirkan prematur.
Kasus lainnya, seorang wanita di Depok menganiaya anak angkatnya SA (11). Bocah malang ini dianiaya dengan cara disiram dengan air panas hingga menderita luka di sekujur tubuh. Atau kasus seorang ayah yang tega membunuh anak kandungnya yang masih berumur 3 bulan dengan cara sadis di Kebun Jeruk, Jakarta Barat.
Mungkin masih banyak lagi kasus lain yang tidak terungkap kepada publik. Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta mencatat, dalam tujuh tahun terakhir kasus kekerasan terhadap anak menunjukkan tren meningkat. Kasus tahun 2018 meningkat 30,3 persen dibanding tahun sebelumnya yakni, dari 699 kasus di tahun 2017 menjadi 911 kasus tahun 2018.
Ancaman kekerasan
Bentuk kekerasan pada anak juga sangat beragam, dari kekerasan fisik, seksual, verbal, emosional, perundungan (bullying), pengabaian, hingga eksploitasi pekerja anak. Sepertiga responden mengaku paling sering mengetahui kekerasan verbal dalam bentuk penggunaan kata-kata kasar atau tidak pantas ditujukan pada anak-anak.
Pemilihan kata-kata yang tidak tepat, seperti mencela, memaki, atau pun menakut-nakuti, bisa melukai atau menjatuhkan harga diri anak. Tanpa disadari, kekerasan verbal yang disimpan dalam alam bawah sadar anak bisa berdampak membuat anak kehilangan rasa percaya diri, menjadi penakut, merasa bersalah, hingga memiliki konsep diri negatif.
Baca juga : Transformasi Mewah untuk Pejalan Kaki
Kekerasan fisik seperti pemukulan, penganiyaan, atau penyiraman air panas seperti kasus di Depok dan Jakarta Barat, dinilai 31,8 persen responden sebagai bentuk lain dari kekerasan yang paling sering dialami anak-anak. Sementara itu sebanyak 15,5 persen responden menaruh perhatian pada kasus kekerasan seksual.
Kekerasan fisik seperti pemukulan, penganiyaan, atau penyiraman air panas seperti kasus di Depok dan Jakarta Barat, dinilai 31,8 persen responden sebagai bentuk lain dari kekerasan yang paling sering dialami anak-anak. Sementara itu sebanyak 15,5 persen responden menaruh perhatian pada kasus kekerasan seksual.
Perundungan atau bullying yang seringkali dialami anak-anak di lingkungan sekolah dinilai hampir 13 persen responden sebagai bentuk kekerasan yang sering terjadi. Hal ini sejalan dengan pendapat seperempat responden yang menyebutkan kekerasan pada anak juga banyak terjadi di lingkungan sekolah.
Sedangkan mayoritas responden (38,2 persen) menilai lingkungan sekitar rumah merupakan tempat-tempat rawan terjadinya tindak kejahatan pada anak. Bahkan banyak kasus kekerasan pada anak terjadi di dalam rumah mereka sendiri, seperti diakui 15,5 persen responden.
Bisa jadi tindak kekerasan pada anak yang terjadi di ranah domestik ini menyumbang banyak kasus yang tidak dilaporkan. Seringkali kasus baru terungkap setelah korban melarikan diri dalam kondisi luka parah atau bahkan sampai meninggal dunia.
Untuk itu sebanyak 30,5 persen respon sepakat agar pemerintah melakukan program perlindungan jemput bola untuk anak korban kekerasan, sebagai upaya pencegahan terjadinya kekerasan terhadap anak di Jakarta dan sekitarnya.
Stop kekerasan
Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) telah melakukan tujuh kegiatan strategis untuk mengentaskan kasus kekerasan kepada anak ini.
Baca juga : Menanti Penataan Kembali PKL
Diantaranya terkait sistem pengaduan seperti pembentukan posko pengaduan kekerasan di 12 lokasi yang tersebar di lima wilayah Kota dan integrasi sistem dengan siste Call Centre Jakarta Siaga 112.
Selanjutnya program penitipan korban pada Rumah Aman yang dimiliki Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta dan pemberian visum et repertum di RSUD terhadap korban kekerasan.
Upaya pelibatan masyarakat dalam forum Puspa (Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak) dan pengembangan RPTRA menjadi ‘Rumah Aman Level Pertama’ untuk menangani kasus kekerasan yang tidak memerlukan rujukan juga dilakukan.
Baca juga : Bersama Atasi Macet Jakarta
Berbagai upaya Pemprov DKI tersebut mendapat apresiasi hampir 40 persen responden. Semua yang sudah dilakukan Pemprov DKI Jakarta tersebut sejalan dengan keinginan responden dalam upaya mencegah, mengurangi, dan menghentikan semua bentuk kekerasan pada anak.
Sebanyak 44 persen responden sepakat jika sosialisasi terkait bahaya kekerasan pada anak lebih digiatkan dan memperluas informasi pengaduan jika terjadi tidak kekerasan.
Sekitar 12 persen responden juga mengharapkan agar rumah aman anak korban kekerasan juga diperbanyak. Sementara itu 8,2 persen respon menginginkan penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan lebih ditingkatkan.
Baca juga : Merawat Sungai untuk Peradaban Kota
Diharapkan dengan upaya pencegahan kekerasan pada anak secara optimal, tidak ada lagi tempat yang mengancam kehidupan seorang anak. Anak merasa aman dimana pun berada.