Lukisan Warna Bumi Anoa
Sulawesi Tenggara melukiskan bentang alam penuh warna. Cobalah menikmati kolam alami air panas dalam gradasi putih membiru. Lalu, air terjun bertingkat yang dipayungi kerimbunan hijau. Kemudian, mengakhiri hari dengan senja lembayung yang indah.
Bau belerang membekap. Aromanya memenuhi udara, menguar di sela-sela pohon pinus rindang, di antara batu-batu karang yang mencuat. Kicau burung meningkahi suasana pada suatu siang, beberapa waktu lalu, di Wawolesea, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.
Dalam suasana tenang, nyaris hening, suara gemercik air terdengar samar. Aliran air terlihat beberapa meter di depan, melintasi jalan setapak yang telah dibeton. Air jernih itu mengalir turun ke kolam yang luas. Saat kaki menjejak, hangat air membasuh telapak kaki.
Lalu, kontur tanah mulai menanjak. Pohon-pohon pinus makin rindang berderet. Suara aliran air terdengar tambah deras. Di jalan setapak, aliran air membesar dan terasa kian hangat.
Tiba-tiba, kami seolah dihadapkan pada tempat pemandian penghuni kayangan, kolam bertingkat-tingkat tersaji di depan mata. Mulanya memutih, lalu hijau toska, kemudian biru muda di kejauhan.
Sedikitnya ada belasan kolam alami berwarna putih berbagai ukuran tersusun berundak-undak. Semua kolam berwarna putih, merupakan travertine atau batu kapur yang terbentuk dari mineral alam.
Semakin ke atas, tingkat kehangatan air semakin bertambah. Aliran air juga bertambah deras menandakan mata air panas tidak jauh di depan. Setiap kolam rata-rata memiliki kedalaman sebatas betis. Air kolam itu menampakkan gradasi warna putih, hijau toska, dan biru muda.
Sebuah kolam bundar kira-kira seukuran setengah lapangan bola terhampar di bagian paling atas. Semakin ke tengah, air di situ berubah warna semakin hijau. Tepat di tengah kolam itu, gelembung air terus menguapkan panas. Angin laut membawa uap panas memenuhi kolam, sesekali berputar di udara.
Perlu beberapa waktu untuk mencerna permainan alam yang menakjubkan di depan mata itu. Duduk di gazebo yang dibangun pengelola, menatap lama ke kolam besar yang beruap dan beragam warna, memberi pengalaman tersendiri yang memperkaya batin.
Alam memang menakjubkan, seolah bisa menyatukan berbagai ketidakmungkinan. ”Indahnya,” kata Riza, seorang pengunjung, dengan tatapan terpesona.
Inilah kolam air panas Wawolesea. Berjarak sekitar 80 kilometer di utara Kota Kendari, ibu kota Sulawesi Tenggara. Pemandian alam ini bisa ditempuh dengan sekitar tiga jam berkendara dari kota itu. Pemandian alami dengan batu kapur travertine seperti ini tak jamak di Indonesia, bahkan di dunia. Satu yang terkenal bernama Pamukkale, nun jauh di Turki sana.
Uniknya, air di Wawolesea terasa asin. Beberapa pengunjung meyakini air panas di tempat ini punya manfaat kesehatan. Lewat tengah hari itu, sejumlah pengunjung datang. Seorang perempuan paruh baya, bermodal timba, mendekati kolam, mengambil air, lalu mengguyurkannya ke tubuh.
Wawolesea yang juga kaya sejarah menjadi salah satu lokasi wisata andalan di wilayah ini. Meski tidak mudah mencapai tempat ini, harus melewati belasan kilometer jalan rusak, dan ratusan mobil tambang yang hilik mudik, semua terbayar ketika tiba di lokasi ini.
Terjun deras
Bergeser dari Wawolesea, sebuah lokasi air terjun di Kabupaten Konawe Selatan menjadi tujuan selanjutnya dalam perjalanan di Bumi Anoa ini. Namanya air terjun Moramo di Desa Sumbersari, Kecamatan Peropa.
Dari Kota Kendari, air terjun ini bisa dicapai setelah sekitar 1,5 jam bermobil. Jaraknya lebih kurang 60 kilometer di selatan Kendari. Lokasi air terjun ini masuk dalam Kawasan Suaka Alam Suaka Margasatwa Tanjung Peropa.
Kawasan yang menjadi penopang keragaman hayati di Sulawesi Tenggara ini merupakan hutan hujan tropis yang begitu kaya. Beragam satwa liar yang dilindungi ada di dalam hutan ini. Salah satunya, hewan anoa yang menjadi lambang resmi Sulawesi Tenggara.
Menapaki jalan beton selebar 1 meter, rimbun pohon dan wajah hutan mulai terlihat. Berbagai jenis pohon dari ukuran kecil hingga raksasa memadati kawasan ini. Air sungai mengalir deras di sisi kiri dan kanan jalan setapak ini.
Sesekali, kepala harus menunduk karena ranting pohon menghalangi jalan. Semakin jauh, deru air sungai semakin deras. Undakan batu mulai tersusun, membuat air berjatuhan dengan deras. Beberapa jembatan permanen maupun jembatan kayu harus dilalui.
Sinar matahari hanya terlihat sesekali di tempat ini. Rimbun hutan seakan menjadi atap penaung hijau yang teduh. Dalam perjalanan sekitar 2 kilometer ini, mata tak henti melihat sajian alam yang menenteramkan.
Jalan setapak lalu menanjak tinggi dengan tangga yang curam. Deru air makin riuh terdengar. Saat tiba di tangga paling atas, susunan air terjun membentang. Sedikitnya ada tujuh undakan besar yang membuat air jatuh dengan keras. Susunan ini menciptakan pemandangan indah.
Tentu tak lengkap menikmati keindahan ini jika tak menyempatkan berendam di kolam-kolam alami itu. Air membasahi sekujur tubuh, menerbitkan sensasi dingin di awal, lalu berangsur segar.
Berbaring di atas bebatuan yang dialiri air, sembari menatap ke langit yang dipayungi pepohonan terasa seperti berada di sebuah dunia berbeda.
Senja hangat
Alam memang menjanjikan keindahan menakjubkan di kawasan ini. Namun, dalam perjalanan kembali ke Kota Kendari, kami menemukan sebentuk keindahan lain: keramahan warga pesisir yang menghangatkan hati.
Ketika itu, kami singgah di Desa Mekar di Kecamatan Soropia, sekitar 15 kilometer dari Kendari. Desa ini adalah salah satu dari sejumlah desa yang menjadi hunian masyarakat Bajo. Jelang siang, sejumlah perempuan duduk di balai depan rumah. Mereka bercengkerama, mencari kutu, atau sekadar bersantai menikmati angin yang bertiup semilir.
Amar (67), seorang warga, sedang duduk bersama istrinya, Hanapiah (58). Ia bercerita masih menjadi nelayan di usia yang sudah senja itu. Meski tidak lagi rutin, ia sesekali turun ke laut dengan mendayung sampan untuk mencari ikan.
”Di sini warga masih sebagai nelayan. Ada yang menjala, ada yang menyelam panah ikan. Kalau saya sudah jarang menyelam. Sudah tua, ha-ha-ha,” ceritanya sembari menyeruput kopi hitam.
Beberapa lama berbincang, matahari mulai bergerak ke barat. Begadang (42), seorang warga, menawarkan perahu untuk menyeberang ke Pulau Bokori. Pulau ini dulu dihuni warga Bajo sebelum mereka diarahkan pindah ke desa. Pulau Bokori kini menjadi lokasi wisata terkenal bagi warga Kendari.
Pulau ini tak jauh dari daratan. Hanya 15 menit dengan perahu bermotor, kaki sudah menjejak di pulau berpasir putih itu. Ratusan orang sedang berwisata di pulau seluas 2,7 hektar ini. Beberapa asyik bermain banana boat, berenang, bermain pasir, atau sekadar berfoto bersama.
Pulau Bokori memang primadona wisata akhir pekan yang mudah didatangi di daerah ini. Selain laut yang cukup jernih, beragam fasilitas disediakan pengelola. Rumah-rumah yang bisa disewa, gazebo, dan tempat berfoto banyak ditemukan di pulau itu.
Matahari beranjak makin turun. Kami pun bergeser ke sisi pulau yang jarang didatangi pengunjung, bersiap menanti matahari terbenam. Perlahan sinar mentari mulai bersalin dari kuning terang ke jingga. Lembayung senja tersaji di depan mata.
Di Bumi Anoa ini, rentang warna berpagut dalam kekayaan alam. Semoga kerusakan lingkungan yang terjadi karena tangan-tangan jahil manusia tak berlanjut dan memudarkan warna-warni alam itu.