Dua dasawarsa lalu, Sutarman (45) datang dari Blitar, Jawa Timur, ke Lampung membawa sejumput harapan bisa mengubah hidupnya. Namun, nasib membawanya tak jauh berbeda, menjadi buruh tani di sawah milik orang lain.
Oleh
VINA OKTAVIA
·4 menit baca
Dua dasawarsa lalu, Sutarman (45) datang dari Blitar, Jawa Timur, ke Lampung membawa sejumput harapan bisa mengubah hidupnya. Namun, nasib membawanya tak jauh berbeda, menjadi buruh tani di sawah milik orang lain.
Terik matahari seakan menampar wajah Sutarman, Jumat (26/7/2019) siang. Petani beranak satu itu membiarkan keringat membasahi tubuhnya yang legam. Dia bolak-balik mengambil air menggunakan ember demi melunakkan tanah sawah yang seminggu belakangan kering, retak-retak.
Sutarman tak sendiri. Belasan petani lain di Desa Wonodadi, Kecamatan Gading Rejo, Kabupaten Pringsewu, Lampung, juga mencari air di saluran irigasi yang mulai surut. “Bulan lalu mustinya sudah tebar pupuk, tapi sawah kekurangan air, pupuknya tidak akan meresap ke tanah,” keluh Sutarman.
Tahun-tahun sebelumnya, petani tidak begitu was-was menanam padi di musim kamarau. Awal tanam biasanya dilakukan April, saat hujan masih mengguyur. Air dari irigasi juga masih cukup hingga masa panen. Namun, cuaca akhir-akhir ini semakin sulit ditebak.
Di lahan seluas satu hektar itu, Sutarman menjadi buruh tani yang dibayar Rp 60.000 per hari. Saat tak musim tanam atau panen, dia bekerja serabutan, menjadi tukang bangunan atau berdagang mainan anak-anak. Jika sedang sepi, terpaksa menganggur di rumah.
“Tak ada yang bisa ditabung untuk membeli sawah, cukup untuk makan dan biaya anak sekolah saja sudah bersyukur,” katanya.
Tak ada yang bisa ditabung untuk membeli sawah, cukup untuk makan dan biaya anak sekolah saja sudah bersyukur
Sodikin (53), petani lainnya, juga resah karena modal untuk mengolah lahan padi semakin mahal, terutama saat kemarau. Untuk mendapatkan air, petani harus membeli atau menyewa pompa air. Biayanya tambahan untuk mengairi sawah mencapai Rp 500.000 selama musim gadu.
Dengan tambahan biaya bajak, benih, dan pupuk, total modal yang dibutuhkan sekitar Rp 3 juta untuk satu hektar lahan. Sementara, hasil panen gadu tak bisa diharapkan.
“Kalau bisa mendapat 1 ton itu sudah bagus. Sisa uang setelah dipotong modal hanya sekitar Rp 2 juta, tergangtung harga jual gabah saat panen,” katanya.
Bagi Sodikin, penghasilan dari bertani padi hanya cukup untuk biaya makan. Demi menyekolahkan ketiga anaknya, istrinya merantau dan membuka usaha berjualan makanan di Jakarta.
Sutarman dan Sodikin hanyalah satu satu ribuan penduduk miskin di pedesaan di Provinsi Lampung. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Lampung, pada Maret 2019, sebanyak 831.800 jiwa (14,27 persen) penduduk miskin di Lampung berada di pedesaan. Adapun 231.860 jiwa (8,92 persen) sisanya berada di perkotaan.
Jika ditarik lima tahun ke belakang, kondisi itu tak jauh berbeda. Meski ada kecenderungan menurun, jumlah penduduk miskin di pedesaaan masih mendominasi. Jumlahnya lebih dari tiga kali lipat penduduk miskin di perkotaan.
Nasib petani semakin sulit di tengah perubahan iklim yang kian tak menentu. Mereka kesulitan membaca alam.
Eva Nurhayati, Forecaster Iklim Stasiun Klimatologi Kabupaten Pesawaran, Lampung, menjelaskan, terjadi peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan di Lampung selama periode 1996 – 2016. Pada dekade 1996-2005, suhu udara tertinggi 26.3ºC. Adapun pada dekade 2006-2016, suhu udara tertinggi 26.5ºC. Artinya, terdapat kecenderungan kenaikan suhu udara rata-rata 0.2 ºC dari dua dekade terakhir.
Sementara itu, tren jumlah curah hujan periode enam bulan di Lampung mengalami penurunan 1.442 mm per tahun. Curah hujan bulan April – September (kusim kemarau) tertinggi tercatat pada tahun 1998 sebesar 1.148 mm dan terendah pada tahun 2006 sebesar 363.6 mm.
Menurut dia, sektor pertanian memiliki tingkat resiko terhadap ancaman perubahan iklim yang tinggi. Padahal, sebagian besar sumber penghasilan penduduk Indonesia bergantung pada sektor ini. Bagi masyarakat miskin, dampak buruk perubahan iklim mengakibatkan mereka tidak mampu mengelola risiko bencana. Dalam jangka panjang, masyarakat miskin akan sulit memulihkan kondisi itu.
BPS Lampung juga mencatat, mayoritas penduduk miskin bekerja di sektor pertanian. Pada Maret 2017 misalnya, sebanyak 60,19 persen penduduk miskin merupakan petani. Jumlah itu merupakan yang terbesar selama empat tahun terakhir.
Kondisi itu berbanding terbalik dengan peningkatan produksi komoditas padi di Lampung. Berdasarkan data yang dihimpun Dinas Tanaman Pangan dan Holtikulturan Lampung, produksi padi di Lampung mencapai 4,3 juta ton pada 2018. Jumlah itu meningkat 1 juta ton dibandingkan produksi pada 2014 yang jumlahnya 3,3 juta ton.
Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung Irwan Sukri Banuwa menilai, program upaya khusu peningkatan produksi komoditas padi, jagung, dan kedelai sebenarnya berdampak positif terhadap perekonomian rumah tangga petani. Namun, peningkatan pendapatan petani itu hanya secara parsial. Secara keseluruhan, perubahan ekonomi rumah tangga petani tidak begitu signifikan.
Lampung menjadi salah satu lumbung padi di Indonesia. Namun, hingga kini, kemiskinan struktural terus mendera keluarga petani.