Entah kebetulan atau mungkin juga settingan, berbarengan dengan peluncuran logo barunya, perusahaan layanan ojek daring Gojek menarik perhatian warganet.
Bermula kicauan di Twitter Rich Brian, penyanyi rap asal Indonesia dari New York, AS yang menyatakan kerinduannya terhadap makanan Indonesia. Admin Gojek langsung membalas dengan meminta alamat Brian dan akan memenuhi makanan kerinduannya.
Ketika dibilang, si penyanyi itu berada di New York, admin Gojek membalasnya “Tidak masalah. Pasti ada jalan, bro,” kata “mimin” (administrasi) akun Gojek.
Decacon dengan valuasi senilai 10 millar dollar AS itu, sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Ibu Kota. Selain Gojek, ada juga perusahaan ojek online serupa seperti Grab atau lainnya.
Kini, tidak melulu kebutuhan angkutan (transportasi) yang mereka sediakan, Gojek telah memenuhi hampir semua kebutuhan warga Ibu Kota. Kemudahan untuk memenuhi kebutuhan belanja, pijat, membersihkan rumah, mobil hingga membeli makanan dan minuman atau apa saja sudah tersedia.
Namun ibarat buah simalakama. Berbagai kemudahan dan begitu banyak orang terbantu, termasuk para pencari nafkah, kehadiran ratusan hingga ribuan ojek daring di Ibu Kota sepertinya tumbuh tanpa perhatian pemerintah.
Pemerintah memang sudah mengatur regulasi mengenai penentuan tarif, angkutan yang disebut-sebut tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang Angkutan dan Jalan Raya itu.
Namun selebihnya, pergerakan mereka di kancah perlalulintasan dibiarkan tumbuh dengan sendirinya, tanpa pengaturan. Jalanan Ibu Kota dipenuhi kehadiran ojek daring yang ditandai dengan pengemudinya berjaket hijau atau ngetem di mana saja.
Namun selebihnya, pergerakan mereka di kancah perlalulintasan dibiarkan tumbuh dengan sendirinya, tanpa pengaturan. Jalanan Ibu Kota dipenuhi kehadiran ojek daring yang ditandai dengan pengemudinya berjaket hijau atau ngetem di mana saja.
Sejumlah gedung perkantoran sudah berupaya menyiapkan lokasi tunggu karyawannya yang menggunakan ojek daring. Demikian juga prosedur penerimaan bagi para pengojek pengantar barang sejumlah perkantoran sudah menyediakannya.
Namun sempat juga menjadi viral, ketika ada mal atau gedung yang terkesan memperlakukan diskriminasi terhadap para pengojek. Mereka yang menggunakan seragam ojek daring dilarang memasuki gedung atau mal tertentu. Bahkan, ada yang memisahkan toilet mereka dari toilet umum di sebuah mal.
Di jalanan, para pengemudi ojek ibarat anak ayam kehilangan induk. Mereka “berceceran”, ngetem, keleleran duduk-duduk atau tiduran di trotoar atau tempat seadanya sambil menunggu notifikasi di gawainya berbunyi dipanggil penyewa. Lokasi-lokasi tempat mangkal seadanya itu biasanya berada di sekitaran terminal, perkantoran atau stasiun-stasiun kereta api.
Stasiun Palmerah misalnya, sebagai stasiun cukup sibuk karena menjadi stasiun terakhir sejumlah warga dari Selatan Jakarta menunju tempat kerjanya setiap saat macet, terutama jam-jam sibuk.
Di dua ruas jalan sisi stasiun Palmerah—Jl Tentara Pelajar, ratusan hingga ribuan ojek daring dan ojek pengkalan (opang) maupun taksi daring maupun konvensional memadatkan arus lalu lintas. Belum lagi antrean bus transjakarta atau feeder bus (bus pengumpan) di shelter yang seadanya di sebelah sisi jalan membuat jalan semakin menyempit.
Sesekali petugas kepolisian atau Satpol PP melakukan razia. Tetapi langkah itu nyaris tak berguna karena pengemudi ojek sesaat akan kembali dan melakukan hal serupa. Penertiban tanpa jalan keluar adalah sia-sia semata.
Penertiban tanpa jalan keluar adalah sia-sia semata.
Meningkatnya pengguna angkutan umum dan kereta belum dibarengi dengan penataan lalu lintas selanjutnya. Tempat parkir di stasiun-stasiun KRL misalnya, tumbuh seadaanya atau mengandalkan parkir-parkir “swadaya” masyarakat lahan-lahan kosong sekitar stasiun.
Belum ada implementasi “park and ride” yang memadai. Begitu juga mereka yang baru turun dari kereta api dan akan meneruskan perjalanan masih butuh perjuangan selanjutnya.
Sepertinya, warga dibiarkan mencari jalannya sendiri di tengah kota tanpa panduan.