Sulitnya Bangun Koalisi Maritim di Teluk
Berbagai insiden dan gangguan terhadap pelayaran di Teluk Persia telah berulang kali terjadi. Hal ini mendorong beberapa negara melontarkan wacana pembentukan koalisi maritim untuk pengamanan dan kebebasan pelayaran di Teluk Persia. Namun, masih sangat sulit—untuk tidak mengatakan gagal—upaya pembentukan koalisi maritim tersebut.
Ada tiga usulan membangun koalisi maritim untuk keamanan dan kebebasan pelayaran di Teluk Persia saat ini. Pertama, usulan Amerika Serikat (AS) dalam forum pertemuan menteri pertahanan negara-negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Brussels pada 27 Juni lalu tentang wacana pembentukan koalisi maritim melawan Iran di Teluk Persia.
AS kembali melontarkan wacana itu pada 10 Juli lalu, menyusul aksi Garda Revolusi Iran mencoba mencegat kapal tanker Inggris, British Heritage. Namun, Perancis dan Jerman menolak keras wacana AS itu, dan lebih memilih jalur diplomasi dalam menghadapi Iran.
Kedua, pasca-penahanan kapal tanker berbendera Inggris, Stena Impero, pada 19 Juli lalu, mantan Menlu Inggris Jeremy Hunt, Senin (22/7/2019), mengusulkan pembentukan koalisi maritim Eropa di bawah komando bersama Inggris-Perancis di Teluk Persia. Namun, lagi-lagi Perancis dan Jerman menanggapi dingin usulan Inggris itu. Perancis dan Jerman hanya bersedia membangun koalisi dalam bentuk koordinasi dan tukar-menukar informasi dengan Inggris terkait keamanan jalur pelayaran di Teluk Persia.
Menteri Pertahanan Perancis Florence Parly mengatakan, Perancis, Jerman, dan Inggris ingin membangun koordinasi dan tukar-menukar informasi untuk menjamin keamanan kawasan Teluk Persia tanpa harus ada penambahan kekuatan militer. Menteri Pertahanan Jerman Annegret Kramp-Karrenbauer juga mengatakan, masih terlalu dini berbicara tentang mekanisme partisipasi Jerman dalam koalisi maritim di Teluk Persia. Jerman masih akan meminta persetujuan parlemen untuk dapat ikut dalam koalisi maritim usulan Inggris itu.
Ketiga, usulan Iran, yakni kesediaan Iran memikul tanggung jawab menjamin keamanan dan kebebasan jalur lalu lintas pelayaran di Teluk Persia.
Usulan Iran ini disampaikan Wakil Menlu Iran Abbas Araghchi kepada Menlu Perancis Jean-Yves Le Drian, di Paris, Rabu (24/7/2019). Namun, Perancis menyambut dingin pula usulan Iran itu. Bagi Perancis dan Eropa, menyerahkan keamanan Teluk Persia kepada Iran sama saja dengan bertekuk lutut kepada Teheran.
Adanya tiga usulan tersebut menunjukkan, meskipun semua negara sudah sepakat dan menyerukan pentingnya mewujudkan keamanan dan kebebasan jalur pelayaran di Teluk Persia, mereka masih belum sepakat tentang mekanisme dan visi koalisi itu.
Padahal, ancaman atas keamanan dan kebebasan jalur pelayaran di Teluk Persia semakin nyata setelah terjadi beberapa insiden dan sabotase kapal tanker beberapa bulan terakhir ini. Puncaknya adalah insiden penahanan kapal tanker berbendera Inggris, Stena Impero, di dekat Selat Hormuz, Jumat (19/7/2019), oleh satuan elite Garda Revolusi Iran.
Sebelumnya, pada 10 Juli lalu, satuan Garda Revolusi Iran sudah mencoba menyergap kapal tanker Inggris, British Heritage, di dekat Selat Hormuz, tetapi digagalkan kapal perang fregat Inggris, HMS Montrose.
Iran sesungguhnya sudah memberi pesan bahwa upaya menyergap tanker British Heritage itu sebagai balasan atas aksi Inggris menahan kapal tanker Iran, Grace 1, di Selat Gibraltar pada 4 Juli lalu.
Posisi Inggris sulit
Namun, Inggris rupanya lengah atau kurang menganggap serius pesan Iran tersebut hingga akhirnya terjadi penahanan tanker Stena Impero yang saat itu tanpa pengawalan kapal fregat HMS Montrose. Posisi Inggris pun kini paling sulit dan terpukul pasca-penahanan kapal tanker Stena Impero itu.
Inggris dan negara Eropa lain kini semakin menyadari bahwa AS yang memiliki kekuatan militer besar di kawasan Teluk Persia tampak setengah hati menjaga keamanan jalur di Teluk Persia. Bahkan, AS seperti membiarkan kapal-kapal tanker Inggris atau negara Eropa lain di Teluk Persia menjadi makanan empuk Iran.
Sikap setengah hati AS itu bisa jadi manifestasi kekesalan AS terhadap Eropa yang menolak wacana AS membangun koalisi maritim pimpinan AS untuk melawan Iran di Teluk Persia. Sikap AS itu dipekuat pernyataan Presiden Donald Trump, Rabu (24/7/2019), bahwa AS tidak akan mengawal Selat Hormuz hanya demi kepentingan negara-negara kaya lain tanpa ada imbalan.
Itulah yang memaksa Inggris akhirnya menginstruksikan kapal perangnya mendampingi kapal tanker dan kapal dagang berbendera Inggris yang akan melewati Selat Hormuz.
Kementerian Pertahanan Inggris, Kamis (25/7/2019), mengumumkan bahwa kapal perangnya di Teluk Persia atau di Teluk Oman mendapat tugas mengawal kapal tanker dan kapal dagang berbendera Inggris yang akan melewati Selat Hormuz jika kapal-kapal itu memberitahu terlebih dahulu dalam rentang waktu yang memadai bahwa mereka akan melewati Selat Hormuz.
Bagi Inggris, saat ini memang tidak ada pilihan lain, kecuali harus segera mengandalkan kekuatan militer sendiri jika tidak ingin lebih banyak lagi kapal tanker atau kapal dagangnya menghadapi ancaman provokasi atau bahkan penahanan di Teluk Persia oleh Garda Revolusi Iran selama Inggris belum membebaskan kapal tanker Iran, Grace 1.
Tantangan terbesar Inggris saat ini adalah kemampuan kapal perang Inggris mengawal kapal-kapal tanker dan dagangnya yang melewati Selat Hormuz. Diperkirakan ada 15 hingga 20 kapal berbendera Inggris yang masuk Teluk Oman dan Teluk Persia setiap hari. Ada 20 persen pasokan energi dunia yang melewati Selat Hormuz saat ini yang sebagian besar menuju Asia dan Eropa.
Adapun kapal perang Inggris yang beroperasi di Teluk Persia saat ini hanya satu kapal fregat HMS Montrose yang dibantu empat kapal penyapu ranjau. Inggris sudah mengirim lagi kapal fregat kedua, HMS Duncan, yang diperkirakan sampai di kawasan Teluk Persia pada Senin besok.
Dipastikan kapal-kapal Inggris itu harus mengantre untuk menunggu pengawalan kapal fregat Montrose atau Duncan. Akibatnya, gerak pelayaran kapal-kapal Inggris itu lebih lambat sehingga mengganggu kecepatan jadwal pasokan energi dari kawasan Teluk ke Inggris.
Bagi Inggris, hanya ada dua pilihan agar tidak terganggu kecepatan jadwal pasokan energi dari kawasan Teluk, yaitu mengirim lebih banyak lagi kapal fregat ke Teluk Persia yang konon memiliki 77 kapal fregat, atau meminta bantuan AS untuk mengawal kapal-kapal tanker dan dagangnya dengan imbalan mau mengikuti agenda AS di Teluk Persia.