Tabrak Tenun Tradisi
Padu padan tak biasa di tangan para desainer mampu memunculkan sisi lain kecantikan tenun Nusantara. Desainer Toton Januar memilih teknik tabrak motif hingga warna, sedangkan desainer Didi Budiardjo menghindari motif sakral dari tenun. Mereka membawa tenun tradisi melangkah ke wajah baru menuju pasar global.
Kreativitas Toton dan Didi dalam mengolah tenun tradisi bisa disaksikan dalam pergelaran busana di ajang Karya Kreatif Indonesia yang digelar Bank Indonesia di Jakarta Convention Center, 12-14 Juli. Toton mengolah kain tenun asal Nusa Tenggara Barat, sedangkan Didi berkarya menggunakan kain ulos dari Sumatera Utara.
Sebanyak 15 koleksi Toton diolah dari kain tenun songket pringgasela NTB. Koleksi tenun siap pakai itu mudah dikenali karena dipadupadankan dengan konsep tabrak motif dan warna. Blus perempuan yang ramai motif geometris, seperti motif keker lama, dipadukan dengan celana panjang hitam berbalut kain brokat putih.
Kain tenun songket dengan hiasan motif subahnale dengan warna-warni, seperti kuning, hijau, dan merah muda, menjadi bawahan dengan belahan setinggi paha. Motif subahnale dikenali dari susunan geometris segi enam seperti sarang lebah dengan isian bunga. Kain bawahan tenun subahnale ini berpadu apik dengan atasan tenun garis-garis coklat horizontal.
Sepintas, padu padan motif tenun yang disuguhkan terasa seolah saling bertabrakan. Namun, ketika disatukan dalam satu garis penampilan justru menumbuhkan kesan apik. Kain tenun yang diproduksi UMKM Mawar Tenun NTB binaan Kantor Perwakilan Bank Indonesia NTB ini memang sengaja mengambil motif-motif yang kompleks sehingga kontrasnya sangat terasa ketika dipadupadankan.
Motif tradisi lantas bertemu dengan motif tradisi lain yang sebelumnya tak pernah digunakan bersamaan. ”Justru aku lihat motifnya kuat. Mungkin lebih baik sekalian ditabrakkan, dikontraskan. Motif ketemu motif. Motif ketemu bordir. Motif ketemu bordir tiga dimensi. Ada perkawinan antara tekstur, motif, dan warna betul-betul jadi satu,” kata Toton.
Meskipun motif bertabrakan, warna yang seirama bisa menjadi salah satu kunci untuk menyatukan. Sebagai koleksi siap pakai, baik atasan maupun bawahan tenun ini dengan mudah bisa saling dipisahkan untuk kemudian dipadukan dengan gaya berbusana yang lain lagi. Tidak ada pakem untuk memadukan, baik atasan maupun bawahan.
Lebih sederhana
Motif tenun yang lebih sederhana dan cenderung minim sentuhan ritual ditonjolkan oleh Didi Budiardjo. Menggarap tenun Batak yang sarat dengan makna filosofis, Didi sengaja menghindari penggunaan motif-motif kompleks yang berelasi dengan ritual adat.
Maka, lahirlah koleksi yang tampak simpel, tetapi menarik, tanpa meninggalkan ciri khas gaun feminin berstruktur. Namun, ciri khas Didi dalam penggunaan beading (aplikasi imbuh dengan material manik-manik) dan embroidery (sulam) yang rumit tidak ditinggalkan.
Koleksi gaun malam panjang dengan dominansi tenun polos dijahit dengan kain serupa jubah kuning yang menggembung ke belakang serupa gaun pengantin. Gaun ini hanya diberi sentuhan motif garis-garis tenun minimalis di bagian terbawah. Tenun garis-garis pula yang digunakan untuk sabuk pada gaun panjang berwarna hijau pastel.
Motif tenun yang agak ribet dapat dilihat pada celana panjang dari kain tenun ulos serta gaun bawahan panjang dan pendek. Pilihan warna yang dipilih Didi adalah warna-warni yang bukan warna ulos pada umumnya. Jika kain ulos biasanya didominasi warna merah atau indigo, koleksi Didi lebih menonjolkan warna-warni cerah, seperti kuning menyala dan warna pastel.
Menggunakan material tenun ulos produksi UMKM Galeri Ulos Sianipar, lembaran kain yang disodorkan untuk diolah Didi juga sudah jadi, tidak mulai dari nol. Menurut Didi, Galeri Ulos Sianipar sudah mumpuni dalam inovasi pembuatan ulos dengan warna dan tekstur yang bisa diterima pencinta mode.
Memilih tak menggunakan kain adati, Didi juga menggunakan banyak bahan kain penunjang selain tenun. ”Sebab, saya rasa tugas desainer Indonesia adalah menyeimbangkan antara tradisi dan current fashion yang berlaku. Saya bukan orang Sumut, jadi tahu diri enggak memilih kain adati,” ujar Didi.
Berkreasi dengan kain ulos, menurut Didi, mirip seperti ketika mengolah kain tradisional Jawa. Seperti batik, tenun pun punya aturan yang baku yang tak boleh pakai ini dan itu. Jatuh hati dengan wastra Nusantara, Didi selanjutnya akan melangkah ke upaya pelestarian kain tenun asal Tidore, Maluku Utara, yang sudah mulai punah.
Mulai bulan depan, Didi yang sudah 30 tahun berkarya di dunia mode ini akan bekerja sama dengan Bank Indonesia untuk mengolah tenun Tidore. Ia menyebut tenun Tidore telah terputus pembuatannya selama tiga generasi. Sentuhan modern diharapkan bisa kembali mengangkat pamor tenun Tidore.
Dasar estetika
Tak asal tabrak, padu padan koleksi Toton tetap tidak sembarangan dikerjakan. Toton menyebut harus ada insting yang dipakai untuk menentukan kecocokan antarkoleksi. Ia juga memilih memadukan budaya Indonesia dalam tenun tradisional dengan sentuhan kontemporer dan eklektik dalam karya-karyanya.
Setiap koleksi merupakan hasil pencampuran banyak unsur, seperti warna, motif, dan tekstur. Jadi, tidak hanya satu unsur atau minimalis.
”Memang kelihatannya sekilas enggak mungkin, tetapi setelah disatukan cocok. Lebih ke insting dari segi desain. Enggak ada rumusnya. Namun, secara naluri kita tahu ini cocok dengan ini dan itu. Memahami warna-warna juga penting,” tambahnya.
Baru pertama kali berkarya dengan tenun tradisional NTB, Toton menentukan pilihan desainnya berdasarkan estetika wastra. ”Kami diminta bereaksi dengan kain yang ada. Aku antusias karena tenun NTB variatif dan enggak susah dibuat koleksi,” tambah Toton.
Di tangan desainer seperti Toton dan Didi, wastra tenun Nusantara mampu tampil beda. Tak terkesan berat, tenun-tenun ini begitu cantik dan menarik hati untuk digunakan sehari-hari. Tenun menemukan wajahnya yang lain yang tidak hanya sebagai benda koleksi atau arsip kesayangan.