Akibat Tumpahan Minyak, Petani Garam di Karawang Merugi
›
Akibat Tumpahan Minyak, Petani...
Iklan
Akibat Tumpahan Minyak, Petani Garam di Karawang Merugi
Sejumlah petani garam di Karawang, Jawa Barat, tidak memproduksi garam selama seminggu akibat dugaan tercemar tumpahan minyak karena kebocoran pada anjungan lepas pantai YYA-1 area Pertamina Hulu Energi Offshore Nort West Java (PHE ONWJ). Mereka pun merugi puluhan juta rupiah.
Oleh
MELATI MEWANGI
·4 menit baca
KARAWANG, KOMPAS — Sejumlah petani garam di Karawang, Jawa Barat, tidak memproduksi garam selama seminggu akibat dugaan tercemar tumpahan minyak karena kebocoran pada anjungan lepas pantai YYA-1 area Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java atau PHE ONWJ. Mereka pun merugi puluhan juta rupiah.
Para pembudidaya garam di Kecamatan Cilamaya Kulon dan Tempuran, Kabupaten Karawang, menghadapi masalah yang sama, yakni pada hampir semua kolam tambak garam ditemukan adanya endapan minyak berwarna kecoklatan. Akibatnya, mereka tidak berani memasukkan air laut yang terpapar tumpahan minyak itu ke meja kristalisasi. Mereka khawatir garamnya terkontaminasi minyak sehingga tidak ada yang berminat.
Ketua Koperasi Garam Segarajaya Kabupaten Karawang Aep Suhardi, Senin (29/7/2019) sore, mengatakan, petani tidak memproduksi garam 20-27 Juli 2019. Artinya, mereka mengalami kerugian hingga puluhan juta rupiah. Padahal, saat ini merupakan bulan produksi, yang puncaknya terjadi pada Agustus dan September.
”Adanya insiden kebocoran minyak tersebut membuat rugi petani garam. Kalau tidak produksi, kami tidak makan. Daripada tidak makan, kami memilih memproduksi kembali,” ucapnya.
Aep menambahkan, dalam sehari, seluruh anggota koperasinya mampu memanen dengan kisaran 70-100 ton dari total luasan tambak 90 hektar. Padahal, harga garam saat ini Rp 700 per kilogram. Jika dikalkulasi, kerugian mencapai Rp 70 juta per hari.
Adanya insiden kebocoran minyak tersebut membuat rugi petani garam. Kalau tidak produksi, kami tidak makan. Daripada tidak makan, kami memilih memproduksi kembali.
Padahal, awal Juli lalu, mereka merugi karena harga garam panenan awal musim dihargai lebih murah jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Harga garam terus merosot hingga kini menjelang awal musim produksi tahun 2019. Harga stok garam di tingkat petambak Rp 500-Rp 700 per kilogram atau turun hampir 50 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Pada Juni 2018, harga stok garam di tingkat petani berkisar Rp 1.500-Rp 2.000 per kilogram. Pada puncak musim produksi garam, Agustus-September 2018, harganya turun pada kisaran Rp 800-Rp 1.000 per kilogram.
Harga garam pada awal panen belum berubah naik, kini ditambah dengan terhentinya sementara masa produksi dan isu terkontaminasi minyak. Ahmad Bakri (39), pembudidaya garam di Desa Pasirjaya, Kecamatan Cilamaya Kulon, Kabupaten Karawang, mengeluhkan adanya endapan minyak berwarna kuning kecoklatan di kolam air garam tua miliknya. Di lahan seluas 6 hektar itu, banyak titik minyak yang mengambang di permukaan. Ia mengkhawatirkan garam produksinya terkontaminasi minyak.
”Bahan baku pembuatan garam adalah air laut yang diolah melalui beberapa tahapan. Jika air lautnya terpapar minyak, kami takut kalau hasil produksi terkontaminasi sehingga tidak laku di pasaran,” kata Bakri.
Para petani berharap pemerintah memberikan solusi atas permasalahan ini. Menurut mereka, sejauh ini belum ada pihak terkait yang memberikan penjelasan dan bertanggung jawab terhadap dampak yang mereka hadapi.
Bahan baku pembuatan garam adalah air laut yang diolah melalui beberapa tahapan. Jika air lautnya terpapar minyak, kami takut kalau hasil produksi terkontaminasi sehingga tidak laku di pasaran.
Bukan hanya petambak yang merugi. Nelayan di pantai utara wilayah Karawang juga merasakan dampaknya. Una (40), nelayan di Desa Sungai Tegal, Kecamatan Pedes, Karawang, sudah seminggu tidak melaut karena adanya tumpahan minyak tersebut. Dalam sehari, ia mampu mengumpulkan uang Rp 200.000. Namun, saat ini ia tidak ada pemasukan dan mengandalkan penghasilan dari warung kelontong.
Upaya
Pertamina mengintensifkan penanganan operasi setelah peristiwa tumpahan minyak di sekitar anjungan lepas pantai YY PHE ONWJ dengan memasang lima unit giant octopus skimmer, pengangkat minyak, dan static oil boom, penahan penyebaran minyak, yang membentang 5 x 400 meter di sekitar anjungan YY di wilayah Karawang. Strategi ini diklaim terbukti efektif untuk penanganan saat ini. Static oil boom mampu menahan penyebaran, sedangkan giant octopus skimmer digunakan untuk mengangkat tumpahan minyak.
Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman mengatakan, static oil boom ditempatkan di sekitar anjungan YY yang diindikasikan terdapat sumber utama keluarnya minyak mentah. Hal itu dapat mengisolasi minyak tersebut agar tidak melebar ke mana-mana di lautan.
”Pertamina terus berupaya maksimal menangani tumpahan minyak dengan menerjunkan berbagai peralatan dan metode sesuai standar di industri migas,” ujar Fajriyah.
Pertamina menurunkan lima giant octopus skimmer yang dapat menyedot tumpahan minyak dengan kecepatan tinggi. Alat ini dinilai mampu mengangkat minyak dengan kecepatan sekitar 250.000 liter per jam. Selanjutnya, tumpahan minyak dipompa ke kapal-kapal untuk penampungan sementara.
Pertamina terus berupaya maksimal menangani tumpahan minyak dengan menerjunkan berbagai peralatan dan metode sesuai standar di industri migas.
Selain itu, Fajriyah menambahkan, Pertamina telah menyiagakan puluhan kapal yang membentangkan dynamic oil boom secara berlapis sehingga mengurangi potensi tumpahan minyak yang tidak tertangkap dan terbawa arus sampai ke pesisir pantai.
Dalam dua pekan penanganan, Pertamina telah memobilisasi dan menyiagakan 32 kapal untuk oil spill combat, patroli, dan pemadam kebakaran. Pertamina juga mengerahkan pesawat tanpa awak (drone) untuk memonitor formasi oil boom dan pergerakan kapal sehingga posisinya tepat dalam menghadang minyak. Untuk penanganan gas yang keluar dari anjungan YY tersebut, Pertamina juga melakukan penyemprotan dengan dua anchor handling tug supply (AHTS).
Untuk penanganan di pesisir pantai, Pertamina juga telah memasang oil boom di muara sungai dan jaring ikan untuk menjaga tumpahan minyak agar tidak masuk ke pinggir pantai. Sebanyak 800 warga dan 100 prajurit TNI dilibatkan dalam pembersihan pantai dari ceceran minyak.