Heteroseksual Penyebab Utama Penyebaran HIV/AIDS di Bali
›
Heteroseksual Penyebab Utama...
Iklan
Heteroseksual Penyebab Utama Penyebaran HIV/AIDS di Bali
Dinas Kesehatan Provinsi Bali mencatat perilaku heteroseksual menduduki urutan tertinggi dalam penyebaran HIV/AIDS.
Oleh
AYU SULISTYOWATI
·3 menit baca
DENPASAR, KOMPAS – Dinas Kesehatan Provinsi Bali mencatat jumlah akumulasi kasus HIV/AIDS di Bali, mulai 1987 hingga Maret 2019, mencapai 20.997 jiwa. Perilaku heteroseksual menduduki urutan tertinggi dengan 16.058 orang atau sekitar 76 persen. Sisanya berasal dari perilaku homoseksual, pengguna jarum suntik (IDU), tato, dan biseksual.
Kepala Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali I Made Suprapta mengatakan faktor penyebab tersebut bergeser sekitar sepuluh tahun terakhir. “Sepuluh tahun lalu, kasus HIV/AIDS ditemui dari orang pengguna jarum suntik dari pecandu narkoba. Belakangan pengguna jarum suntik berkurang dan beralih kasus terdapat dari heteroseksual,” katanya, pada Lokakarya Jurnalis Peduli AIDS, di Gedung BPSDM, Kota Denpasar, Senin (29/7/2019).
Ia memperlihatkan data kasus HIV/AIDS dari pengguna jarum suntik tercatat 857 orang. Dugaan berkurangnya kasus dari pengguna jarum suntik, menurut Suprapta diduga karena mahalnya harga narkoba dengan jarum suntik dan langkanya heroin. Hal ini dapat mempengaruhi turunnya penggunaan jarum suntik.
Kasus HIV/AIDS di Bali, mulai menurun sejak 2015. Data menunjukkan kasus HIV/AID 2015 terdata 2.529 orang dan di 2016 turun menjadi 2.423 orang. Akan tetapi hal tersebut belum bisa dikatakan sebagai tren penurunan. Alasan Suprapta, ia masih menemukan sejumlah keluarga atau orang yang belum terbuka datang dan mendata secara sukarela jika terkena HIV/AIDS.
Karenanya, ia tetap berupaya memaksimalkan penyuluhan ke masyarakat, termasuk merangkul media untuk mempropagandakan kepada khalayak bahaya HIV/AIDS hingga penanganannya. Komitmen Pemerintah Provinsi Bali sempat diwujudkan melalui Komitemen Sanur 2004, dengan mendeklarasikan delapan poin. Begitu pula beberapa peraturan daerah serta peraturan gubernur Bali.
Suprapta mengatakan penanganan HIV/AIDS itu tidak mudah, apalagi stigma dan mitos masih kuat di masyarakat. Pemerintah setempat, lanjut Suprapta, terbantu dengan keberadaan sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Harapannya, kolaborasi kembali terbangun tahun ini mulai dari pemerintah, LSM serta media untuk kasus HIV/AIDS di Bali.
Dari 20.997 kasus di Bali, sebanyak 993 orang berasal dari warga luar Bali serta warga asing. Hanya saja, mereka terdeteksi dan tercatat sebagai ODHA di Bali.
“Bahkan, KPA Bali masih mendapatkan keluhan mengenai penanganan jenazah ODHA ini. Sebagian warga meminta bukti jika menangani jenazah ODHA itu tidak akan tertular, meski warga tersebut sudah mendapatkan penyuluhan mengenai HIV/AIDS dari petugas penyuluhan KPA Bali,” ujar Suprapta.
Sementara Dinas Kesehatan Kota Denpasar menargetkan tahun ini tuntas merangkul orang dengan HIV/AIDS sebanyak 10.813. Hingga Maret 2019, sebanyak 10.317 orang mendapat pelayanan kesehatan di sejumlah puskesamas, klinik, serta rumah sakit di Kota Denpasar.
Capaian ini bagian dari upaya menjangkau estimasi ODHA. Selanjutnya, Dinas Kesehatan bersama Komisi Penanggulangan Aids (KPA) dan komunitas terus memaksimalkan propaganda hidup dan berprilaku sehat.
Di lain kasempatan, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Denpasar IB Gede Eka Putra berupaya menghapuskan stigma HIV/AIDS itu tidak ada obatnya. “HIV/AIDS itu ada obatnya, meskipun harus dikonsumsi seumur hidup. Ini penyakit karena gaya hidup dan antisipasinya dapat lebih maksimal jika diketahui dari awal,” katanya.
HIV/AIDS itu ada obatnya, meskipun harus dikonsumsi seumur hidup. Ini penyakit karena gaya hidup dan antisipasinya dapat lebih maksimal jika diketahui dari awal
Usia produktif berdasarkan catatan Dinas Kesehatan Provinsi Bali, terdata memiliki angka terbesar sebagai penderita AIDS. Sebanyak 7.980 orang di usia 20 tahun -29 tahun dan 7.349 di usia 30 tahun -39 tahun.
Direktur Yayasan Gaya Dewata Bali Christian Supriyadinata mengatakan ia bersama para relawan terus bergerak menyebarkan informasi mengenai apa hingga bagaimana menanganinya ketika mendapatkan hasil pemeriksaan positif. Harapannya, masyarakat memiliki kesadaran berperilaku hidup sehat dan bersedia secara mandiri periksa ke layanan kesehatan yang tersedia di rumah sakit atau puskesmas.