KPK Tetapkan Sekda Jabar sebagai Tersangka Baru Kasus Meikarta
›
KPK Tetapkan Sekda Jabar...
Iklan
KPK Tetapkan Sekda Jabar sebagai Tersangka Baru Kasus Meikarta
KPK kembali mengembangkan perkara dugaan suap terkait pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. KPK menetapkan dua tersangka dalam dua perkara berbeda terkait kasus Meikarta, salah satunya Sekda Jabar Iwa Karniwa.
Oleh
Sharon Patricia
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi kembali mengembangkan perkara dugaan suap terkait dengan pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Dalam pengembangan perkara, KPK menetapkan dua tersangka dalam dua perkara berbeda terkait kasus Meikarta, salah satunya adalah Sekretaris Daerah Jawa Barat Iwa Karniwa.
”Setelah mencermati fakta-fakta yang berkembang dalam proses penyidikan, KPK menemukan bukti permulaan yang cukup tentang keterlibatan pihak lain dalam dua perkara dugaan tindak pidana korupsi,” kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (29/7/2019).
KPK menetapkan Iwa Karniwa yang merupakan Sekretaris Daerah Pemprov Jabar sejak 2015 sebagai tersangka dari pengembangan penyidikan sejak 10 Juli 2019. Penetapan tersangka ini terkait perkara dugaan suap terkait dengan Pembahasan Substansi Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten Bekasi Tahun 2017.
Sementara tersangka lain, yaitu mantan Presiden Direktur PT Lippo Cikarang, Bartholomeus Toto (BTO) dalam perkara dugaan suap terkait pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi.
Perkara ini berawal dari kegiatan operasi tangkap tangan pada 14 dan 15 Oktober 2018. Saat itu, KPK mengamankan uang 90.000 dollar Singapura, Rp 513 juta, dan 2 mobil. Adapun sembilan tersangka berasal dari unsur kepala daerah, pejabat di Pemerintah Kabupaten Bekasi, dan pihak swasta yang telah divonis dalam Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat.
”Pada proses persidangan, telah terbukti ada penerimaan oleh Neneng Hasanah Yasin, Bupati Bekasi, serta pejabat lain di Pemkab Bekasi terkait dengan enam aspek yang kami pandang merupakan praktik suap yang cukup sistematis,” kata Saut.
Pada sejumlah tahapan terbukti dilakukan suap untuk memengaruhi kebijakan pejabat di Pemkab Bekasi dan juga upaya memengaruhi kewenangan DPRD Kabupaten Bekasi. Tahapan tersebut antara lain penerimaan terkait izin peruntukan penggunaan tanah (IPPT) seluas 846.356 meter persegi Kepala PT Lippo Cikarang, penerimaan terkait rencana detail tata ruang, hingga penerimaan terkait penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB).
Saut menegaskan, pengembangan perkara sebagai bagian dari upaya KPK mewujudkan perizinan yang bersih, transparan, dan antikorupsi. Selain itu, jika perizinan diberikan karena suap, padahal perizinan tersebut tidak sesuai dengan peruntukan lahan di sebuah daerah, maka korupsi seperti ini berisiko menimbulkan efek domino kerusakan yang lain.
”Perlu dipahami secara jelas, mana korupsi di perizinan akibat masalah birokrasi yang lambat dan mana yang cenderung merupakan kepentingan pelaku usaha untuk tetap memaksakan dilakukan pembangunan di lokasi yang tidak seharusnya,” katanya.
Izin proyek
Saut memaparkan, dalam perkara dugaan suap terkait dengan pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi, PT Lippo Cikarang berencana membangun kawasan permukiman di wilayah Kabupaten Bekasi dengan luas sekitar 438 hektar yang akan dilaksanakan dalam tiga tahap.
Oleh karena perizinan diperlukan sebelum pembangunan tahap I seluas 143 hektar, PT Lippo Cikarang memerlukan IPPT, izin prinsip penanaman modal dalam negeri, izin lingkungan, dan IMB.
Untuk mengurus IPPT pembangunan Meikarta, PT Lippo Karawaci menugaskan Billy Sindoro (telah diproses dalam kasus terpisah), tersangka BTO, serta Henry Jasmen, Taryudi, dan Fitra Djaja Purnama (telah diproses pada kasus terpisah), dan pihak pegawai PT Lippo Cikarang lainnya.
”Mereka melakukan pendekatan kepada Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin melalui orang dekatnya dengan cara melakukan beberapa pertemuan,” kata Saut.
Pada April 2017, pihak yang mewakili PT Lippo Cikarang bertemu dengan Neneng Hasanah di rumah pribadinya dan menyampaikan, ”mohon bisa dibantu”. Neneng menyanggupi dan meminta pihak PT Lippo Cikarang berkomunikasi dengan orang dekatnya.
Didapatkan informasi bahwa agar RDTR diproses, Neneng Rahmi Nurlaili harus bertemu dengan tersangka IWK yang meminta uang Rp 1 miliar untuk penyelesaian proses RDTR di Provinsi Jawa Barat.
Dalam mengurus IPPT, BTO mendapat pesan dari Neneng Hasanah agar izin diajukan secara bertahap. Tersangka BTO menyanggupi dan menjanjikan uang untuk pengurusan izin tersebut.
Kemudian, pada Mei 2017, Neneng Hasanah menandatangani Keputusan Bupati tentang IPPT dengan luas sekitar 846.356 meter persegi untuk pembangunan area komersial, yaitu apartemen, pusat perbelanjaan, rumah sakit, sekolah, hotel, perumahan, dan perkantoran. Surat keputusan ini diberikan kepada PT Lippo Cikarang.
Untuk merealisasikan janji pemberian suap sebelumnya, atas persetujuan tersangka BTO, pegawai PT Lippo Cikarang pada Divisi Land Acquisition and Permit mengambil uang dari pihak PT Lippo Cikarang dengan total Rp 10,5 miliar.
”Uang kemudian diberikan kepada Neneng Hasanah melalui orang kepercayaannya dalam beberapa tahap. Tersangka BTO diduga menyetujui setidaknya lima kali pemberian tersebut, baik dalam bentuk dollar AS maupun rupiah, dengan total Rp 10,5 miliar,” tutur Saut.
Tata ruang
Sementara dalam perkara dugaan suap terkait dengan Pembahasan Substansi Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten Bekasi Tahun 2017, Neneng Rahmi Nurlaili selaku Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi (telah diproses dalam perkara terpisah) pada tahun 2017 menerima sejumlah uang.
Perkara ini terkait dengan pengurusan Peraturan Daerah tentang RDTR Kabupaten Bekasi yang kemudian diberikan kepada beberapa pihak. Tujuannya, untuk memperlancar proses pembahasan.
Sekitar April 2017, setelah masuk pengajuan Rancangan Perda RDTR, Neneng Rahmi Nurlaili diajak oleh Sekretaris Dinas PUPR untuk bertemu pimpinan DPRD di Kantor DPRD Kabupaten Bekasi. Pada pertemuan itu, Sekretaris Dinas PUPR menyampaikan permintaan uang dari pimpinan DPRD terkait pengurusan.
Rancangan Perda RDTR Kabupaten Bekasi kemudian disetujui oleh DPRD Bekasi dan dikirim ke Provinsi Jawa Barat untuk dibahas. Namun, raperda itu tidak segera dibahas oleh Pokja Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah, sementara dokumen pendukung sudah diberikan.
”Didapatkan informasi bahwa agar RDTR diproses, maka Neneng Rahmi Nurlaili harus bertemu dengan tersangka IWK yang meminta uang Rp 1 miliar untuk penyelesaian proses RDTR di Provinsi Jawa Barat. Permintaan tersebut diteruskan kepada salah satu karyawan PT Lippo Cikarang dan direspons bahwa uang akan disiapkan,” tutur Saut.
Beberapa waktu kemudian, PT Lippo Cikarang menyerahkan uang kepada Neneng Rahmi Nurlaili. Pada Desember 2017, dalam dua tahap, Neneng Rahmi Nurlaili melalui perantara menyerahkan uang kepada tersangka IWK dengan total Rp 900 juta terkait dengan pengurusan RDTR di Provinsi Jawa Barat.