Puluhan Hektar Lahan Kritis, Galian C di Kota Cirebon Berlanjut
›
Puluhan Hektar Lahan Kritis,...
Iklan
Puluhan Hektar Lahan Kritis, Galian C di Kota Cirebon Berlanjut
Meskipun telah dilarang sejak 2004, aktivitas galian pasir di Kelurahan Argasunya, Kota Cirebon, Jawa Barat, masih berlangsung hingga kini. Galian C itu tidak hanya menelan korban jiwa tetapi juga menyebabkan puluhan hektar lahan kritis dan memicu krisis air bersih.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS – Meskipun telah dilarang sejak 2004, aktivitas galian pasir di Kelurahan Argasunya, Kota Cirebon, Jawa Barat, masih berlangsung hingga kini. Galian C itu tidak hanya menelan korban jiwa tetapi juga menyebabkan puluhan hektar lahan kritis dan memicu krisis air bersih.
Aktivitas penambangan pasir itu tampak di Kopi Luhur, Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Senin (29/7/2019). Sejumlah truk hilir mudik mengangkut pasir. Pasir yang diambil dari bukit setempat lalu disimpan di pinggir jalan. Warga lalu mengangkutnya ke atas truk sebelum dibawa ke luar Argasunya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Cirebon Abdullah Syukur mengakui, aktivitas penambangan pasir masih berlangsung di Argasunya. Padahal, berdasarkan Surat Keputusan Wali Kota Cirebon Nomor 16 Tahun 2004, penambangan pasir di Argasunya sudah dilarang.
Pihaknya mencatat, penambangan yang dimulai sejak 1980an itu telah membuat 48,3 hektar lahan kritis, atau sekitar 7 persen dari 675 hektar luas Argasunya. Tebing tersebut menganga hingga kedalaman lebih dari 15 meter. Bekas galian C tersebar di Kampung Kopi Luhur, Sumur Wuni, Cibogo, Surspandan dan Kedung Jumbleng.
“Sebenarnya, penambangan pasir secara manual atau alat berat tidak diperbolehkan. Tetapi, kami masih memaklumi karena ini mata pencaharian warga,” ujar Syukur. Pihaknya tengah berkoordinasi dengan dinas tenaga kerja untuk membuat program alih profesi bagi warga setempat.
Sebenarnya, penambangan pasir secara manual atau alat berat tidak diperbolehkan. Tetapi, kami masih memaklumi karena ini mata pencaharian warga
Dari pendataan 2018, DLH Kota Cirebon mencatat, daerah bekas tambang pasir merupakan tanah milik 137 warga. Sebagian besar dari 18.541 penduduk Argasunya juga masih menggantungkan hidup pada galian C yang masih aktif.
Kesulitan
“Kami kesulitan untuk menghentikan penambangan pasir karena itu tanah warga. Kami sudah mencoba mereklamasi lahan bekas galian C seluas 4 hektar dengan harapan diikuti oleh warga. Namun, tidak ada yang direklamasi setelah itu,” ujar Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup DLH Jajang Yaya.
Padahal, penambangan pasir beberapa kali menelan korban jiwa. Pada 18 Juli lalu, seorang warga RW 006 Kedung Krisik Selatan meninggal dunia setelah tertimpa tebing galian C. Kejadian itu tidak dilaporkan kepada polisi.
“Ini bukan kejadian pertama. Akan tetapi, kalau galian C ditutup urusannya sama perut. Sebagian warga di sini bekerja sebagai kuli angkut pasir dengan penghasilan bisa lebih Rp 100.000 per hari,” ujar Ujang Fredi, ketua RW setempat.
Namun, menurut Ujang, pilihan pekerjaan sangat minim sehingga warga terpaksa bekerja di penambangan pasir. Untuk bertani, misalnya, lahan yang berada 28 meter di atas permukaan laut itu kesulitan pengairan.
Tahun 1990-an, walau pun kemarau, sumur warga masih penuh air. Sekarang, kering dan harus pakai mesin pompa untuk menyedot air
Ade Wijaya, Ketua RW 005 Kedung Krisik Utara, mengatakan, penambangan pasir yang berlangsung puluhan tahun telah membuat warga kesulitan air bersih. Apalagi, saat kemarau seperti sekarang. “Tahun 1990-an, walau pun kemarau, sumur warga masih penuh air. Sekarang, kering dan harus pakai mesin pompa untuk menyedot air,” ungkapnya.
Sejak 2009, Pemkot Cirebon membuat instalasi air artesis bagi warga Kedung Krisik Utara. Namun, pada 2014, instalasi itu tidak berfungsi. “Ada 400 rumah yang terdampak kekeringan setiap kemarau. Untuk mendapatkan air, kami ke tetangga yang sumurnya masih ada airnya. Saya, misalnya, bayar Rp 90.000 per bulan,” kata Ade.
Ade menilai, persoalan penambangan pasir di Argasunya menunjukkan pembangunan di daerah yang berjarak 7 kilometer sebelah selatan pusat pemerintahan Kota Cirebon itu masih minim. “Di sini semua masalah ada. Kekeringan, sampah, galian C, sampai anak putus sekolah karena tidak ada angkutan umum yang mengantar anak ke sekolah,” katanya.