Upaya mengejar target inklusi keuangan 75 persen menghadapi kendala infrastruktur dan literasi yang terbatas. Selain sinyal ponsel, sejumlah daerah terkendala listrik.
Oleh
Maria Clara Wresti
·3 menit baca
BANYUWANGI, KOMPAS - Upaya mengejar target inklusi keuangan 75 persen menghadapi kendala infrastruktur dan literasi yang terbatas. Selain sinyal ponsel, sejumlah daerah terkendala listrik.
Inklusi keuangan, menurut Bank Dunia, berarti setiap individu mempunyai akses ke produk dan layanan keuangan. Indonesia dinilai mengalami lonjakan signifikan selama kurun 2011-2017. Namun, upaya mengejar target inklusi 75 persen itu menghadapi kendala terkait keterbatasan infrastruktur, khususnya sinyal telepon seluler dan listrik, di sebagian daerah.
Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mohamad Miftah ketika menjelaskan soal Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai) di Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat pekan lalu, menyatakan, dukungan infrastruktur teknologi penting karena transaksi harus tercatat secara langsung tanpa penundaan. ”Jangankan di luar Jawa, di Jawa saja tak semua daerah terjangkau semua operator seluler, ada daerah-daerah blank spot,” ujarnya.
Kendala pasokan listrik dan jangkauan sinyal ponsel terutama di wilayah timur Indonesia. Di beberapa pulau, suplai listrik kurang dari 70 persen. Sementara itu, lebih dari 55 persen menara terima-pancar berada di Jawa dan 22 persen di Sumatera.
Di beberapa pulau, suplai listrik kurang dari 70 persen. Sementara itu, lebih dari 55 persen menara terima-pancar (BTS) ada di Jawa dan 22 persen di Sumatera.
Menurut Miftah, transaksi harus menggunakan jaringan telekomunikasi yang aman karena menyangkut kerahasiaan data nasabah. "Kita bisa saja menggunakan layanan wifi di kelurahan, misalnya. Namun apakah aman? Apakah ada risikonya kalau pakai wifi umum," kata Miftah.
Hal lain yang tak kalah penting adalah literasi penduduk yang masih rendah sehingga butuh penanganan serta koordinasi lebih lanjut dengan pemerintah daerah. Saat ini, masyarakat yang belum terjangkau perbankan (unbankable) belum sepenuhnya memahami produk bank dan manfaatnya untuk membantu kegiatan ekonomi sehari-hari.
Sementara Direktur Inklusi Keuangan Non Bank Syariah Mochamad Muchlasin mengatakan asuransi mikro yang dikembangkan OJK untuk melindungi masyarakat, masih belum bisa dikembangkan untuk jangka panjang. Asuransi ini hanya digunakan untuk kegiatan-kegiatan ekonomi yang mempunyai jangka waktu pendek. "Misalnya asuransi pertanian, hanya untuk masa tanam hingga panen yang lamanya hanya sekitar empat bulan. Karena memang preminya kecil dan hilang, tidak ada investasinya," kata Muchlasin.
Selain itu belum semua bank atau perusahaan asuransi tertarik untuk pengembangan asuransi mikro. "Sifatnya eka warsa, jadi paling lama hanya satu tahun. Begitu programnya selesai, belum tentu perusahaan yang mengadakan program ini, akan melakukannya lagi," ujar dia.
Direktur Lembaga Keuangan Mikro OJK, Suparlan, Sabtu (27/7/2019) mengatakan, untuk meningkatkan inklusi keuangan, OJK juga membentuk Bank Wakaf Mikro (BWM). Bank ini ditujukan bagi pesantren, pengurus masjid, dan juga ormas muslim.
"Saat ini jumlah pesantren mencapai 28.000 pesantren, 800.000 masjid, dan 31 organisasi massa Islam. OJK terus melakukan sosialisasi keuangan syariah dengan melibatkan pengurus masjid di seluruh Indonesia. Kita bantu warga pesantren yang ingin mengembangkan usahanya dengan bantuan modal BWM," kata Suparlan.
Menurut dia, lembaga keuangan mikro syariah masih perlu dikembangkan lebih kuas. Sebab, di Industri halal global, potensi Indonesia yang berkembang baru mode. Sedangkan keuangan syariah masih kalah jauh dari perbankan konvensional.
Dalam rangka mendorong inklusi keuangan syariah, pada Oktober 2017, mulai dibentuk 20 BWM dengan total nasabah 827 nasabah dan total pembiayaan mencapai Rp 658 juta. Pada Desember 2018, jumlahnya berkembang jadi 41 BWM dengan nasabah mencapai 9.191 orang dan dana pinjaman yang disalurkan mencapai Rp 12,38 miliar. Pada pertengahan 2019 ini, jumlah BWM sudah mencapai 51 unit, 15.236 nasabah, dan dana pinjaman Rp 18,54 miliar.
Dalam mengembangkan BWM, kendala yang dihadapi adalah pengurus kelompok berasal dari pesantren yang belum mempunyai pengalaman mengelola keuangan. Selain itu, karena sistemnya kelompok, membuat tidak mudah mencari anggota kelompok yang berkomitmen. "Karena nasabahnya unbankable, maka pendampingan dan monitoringnya harus terus dilakukan. Kalau lebih luas dan besar, mulai ada keterbatasan kemampuan pembiayaan," ujar dia.
Hingga kini, kredit yang bermasalah dinilai kecil karena kredit ini dikaitkan dengan akidah, sehingga semua patuh untuk mengembalikan kewajiban. Jika ada kredit macet, biasanya karena nasabah meninggal dunia.