Tujuh Kontainer Sampah Plastik Direekspor ke Perancis dan Hong Kong
›
Tujuh Kontainer Sampah Plastik...
Iklan
Tujuh Kontainer Sampah Plastik Direekspor ke Perancis dan Hong Kong
Sebanyak tujuh kontainer sampah plastik di Pelabuhan Batu Ampar, Batam, Kepulauan Riau, direekspor ke Perancis dan Hong Kong. Kontainer tersebut merupakan bagian dari 49 kontainer yang wajib direekspor karena terkontaminasi limbah berbahaya dan sampah jenis lain.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
BATAM, KOMPAS – Sebanyak tujuh kontainer sampah plastik di Pelabuhan Batu Ampar, Batam, Kepulauan Riau, direekspor ke Perancis dan Hong Kong. Kontainer tersebut merupakan bagian dari 49 kontainer yang wajib direekspor karena terkontaminasi limbah berbahaya dan sampah jenis lain.
Kepala Kantor Pelayanan Umum Bea dan Cukai Tipe B Kota Batam Susila Brata, Senin (29/7/2019), mengatakan, tujuh kontainer berisi skrap plastik itu diimpor PT Arya Wiraraja Plastikindo sebagai bahan daur ulang. Sebanyak lima kontainer direekspor ke Hong Kong dan dua lainnya ke Perancis.
“Kapal (pengangkut) ini akan menuju Singapura lebih dulu. Memang harus transit karena tidak ada kapal dari Batam yang langsung menuju negara asal kontainer tersebut,” kata Susila.
Pada 12 Juni 2019, petugas Bea dan Cukai menyegel 65 kontainer sampah plastik impor di Pelabuhan Batu Ampar. Diketahui pengimpornya ada empat perusahaan, yaitu PT Royal Citra Bersama, PT Arya Wiraraja Plastikindo, PT Tan Indo Sukses, dan PT Hong Tay.
Hasil Uji laboratorium oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan, 49 kontainer terkontaminasi sehingga harus direekspor. Rinciannya, 38 kontainer terkontaminasi limbah berbahaya dan beracun serta 11 lainnya tercampur sampah jenis lain.
Sesuai Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016, bahan baku plastik yang boleh diimpor seharusnya berjenis homogen dan bersih dari kontaminasi unsur lain. Jika terbukti melanggar, importir wajib memulangkan kontainer ke negara asal paling lambat 90 hari sejak kedatangan.
“Reekspor akan dilakukan secara bertahap sampai semuanya selesai. Saat ini yang dipulangkan ke negara asal baru kontainer milik PT Arya Wiraraja Plastikindo, tiga yang lain belum,” ujar Susila.
Sejumlah 49 kontainer bermasalah itu berasal dari lima negara, yaitu Amerika Serikat sebanyak 26 kontainer, Hong Kong (11), Jerman (9), Perancis (2), dan Australia (1). Aktivitas impor skrap plastik tak homogen melanggar Konvensi Basel yang telah dirativikasi 170 negara di Basel, Swiss, tahun 1980.
Kepala Seksi Notifikasi Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan Limbah non-B3 KLHK Rima Yulianti menyatakan, sanksi yang dijatuhkan kepada importir masih sebatas kewajiban menanggung biaya reekspor. “Untuk sementara ini impor sampah plastik belum dihentikan, persetujuan impornya masih tetap berjalan,” katanya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Ekspor dan Impor Plastik Industri Indonesia Marthen Tandi Rura mengatakan, pengusaha patuh terhadap aturan yang berlaku. Mereka akan bertanggung jawab memulangkan 49 kontainer yang terkontaminasi limbah berbahaya dan tercampur sampah jenis lain.
Meningkat
Data importasi skrap plastik Bea dan Cukai menunjukkan, impor skrap plastik di Batam dari 2010-2016 berkisar 5.000 ton per tahun. Peningkatan mulai terjadi pada 2017, tahun itu impor skrap plastik mencapai 16.704 ton. Puncaknya, pada 2018 impor skrap plastik mencapai 128.000 ton.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Batam Herman Rozie menyatakan, pabrik daur ulang plastik di Batam ada sekitar 50 jumlahnya. Delapan di antaranya menggunakan bahan baku sampah plastik impor untuk memproduksi barang setengah jadi atau bijih plastik.
Ia menuturkan, Februari 2018, saat tensi perang dagang antara Amerika Serikat dan China menguat, permohonan izin industri daur ulang sampah plastik impor ikut melonjak. “Saat itu ada sekitar 40 izin baru perusahaan daur ulang plastik impor yang masuk,” katanya.
Hal itu tidak cocok dengan kebijakan Pemkot Batam yang merencanakan kota tersebut menjadi basis industri teknologi, industri alih kapal, dan pariwisata. Selain itu, Perda Kota Batam Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah melarang untuk memasukkan sampah dari luar wilayah Kota Batam.
Secara perlahan sejumlah permohonan itu ditarik sendiri oleh perusahan yang mengajukan. Meskipun begitu, masih ada 33 izin yang tidak ditarik oleh perusahaan pemohon. DLH Kota Batam pada Juli 2018 akhirnya menolak 33 permohonan izin lingkungan dan dokumen lingkungan berupa AMDAL atau UKL-UPL itu.
“Sikap Pemkot Batam sudah jelas, kami tidak akan mengeluarkan izin bagi industri daur ulang sampah plastik impor sebagai bahan baku bijih plastik. Yang diinginkan adalah industri daur ulang yang memproduksi barang jadi menggunakan bahan baku sampah lokal,” kata Herman.