Atasi Defisit, Sumber Pendapatan BPJS Kesehatan Perlu Ditambah
›
Atasi Defisit, Sumber...
Iklan
Atasi Defisit, Sumber Pendapatan BPJS Kesehatan Perlu Ditambah
Pendapatan BPJS Kesehatan juga bisa ditingkatkan dengan mengoptimalkan kepesertaan dari Pekerja Penerima Upah (PPU), baik swasta maupun BUMN.
Oleh
Fajar Ramadhan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pihak terus mendorong pemerintah menaikkan sumber pendapatan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan guna mengatasi defisit yang terus meningkat. Tambahan pendapatan tersebut bisa didapatkan melalui banyak peluang.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar, di Jakarta, Selasa (30/7/2019), mengatakan, banyak opsi yang bisa dilakukan guna meningkatkan pendapatan BPJS Kesehatan. Menaikkan iuran kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sesuai kajian aktuaria menjadi salah satu langkah utama.
”Misalnya, untuk penerima bantuan iuran itu aktuarianya Rp 36.000, tapi sekarang masih Rp 23.000. Jika disesuaikan, berarti ada tambahan anggaran sebesar Rp 22 triliun,” katanya.
Jika hal tersebut dinilai memberatkan pemerintah, Timboel menyarankan agar dinaikkan menjadi Rp 30.000. Dari situ ada potensi pendapatan sebesar Rp 11 triliun. Sisanya, pemerintah bisa menaikkan iuran bagi peserta mandiri, khususnya untuk kelas III.
”Kelas I memang sudah sesuai dengan aktuaria, tapi kelas II dan kelas III belum,” ujarnya.
Timboel mengusulkan agar peserta BPJS Kesehatan kelas III yang saat ini membayar iuran Rp 25.500 dinaikkan menjadi Rp 27.000. Adapun untuk kelas II dinaikkan dari Rp 51.000 menjadi Rp 55.000. Dari situ, akan ada penambahan sekitar ratusan miliar rupiah.
Sebelumnya, Ketua Umum The Indonesian Health Economics Association (InaHEA) Hasbullah Thabrany mengungkapkan hal serupa. Saat terdapat selisih antara perhitungan aktuaria dan nilai iuran peserta JKN, pemerintah tidak memberikan subsidi seperti halnya penentuan tarif pada BBM.
”Saat pemerintah menetapkan harga di bawah usulan dari Pertamina, pemerintah memberikan subsidi untuk selisih tersebut,” katanya.
Penerima upah
Timboel menambahkan, pendapatan BPJS Kesehatan juga bisa ditingkatkan dengan mengoptimalkan kepesertaan dari pekerja penerima upah (PPU), baik swasta maupun BUMN. Jika dibandingkan dengan kepesertaan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan, ada selisih kepesertaan JKN sekitar 4 juta orang.
”Di JKK-JKM ada sekitar 19 juta peserta, sedangkan JKN masih sekitar 15 juta orang. Penambahan peserta itu saja bisa menambah pendapatan sampai Rp 8 triliun,” ucapnya.
Pakar jaminan sosial Hotbonar Sinaga mendorong pemerintah menghitung ulang iuran untuk PPU. Hal itu dimaksudkan agar ada keadilan antara iuran dan manfaat yang didapatkan. Ia juga menyarankan agar iuran penerima bantuan iuran disesuaikan dengan perhitungan aktuaria.
”Keduanya harus dihitung setiap tiga tahun sekali dan manajemennya juga harus diaudit,” katanya saat dihubungi secara terpisah.
Sementara itu, dalam Pasal 99 dan 100 Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan Sosial dijelaskan bahwa pemerintah daerah (pemda) harus mendukung program JKN. Salah satunya, melalui kontribusi pajak rokok yang diterima pemda.
Besaran kontribusi yang diatur adalah 75 persen dari 50 persen realisasi hak pajak rokok yang mereka terima. Menurut Timboel, saat ini belum semua pemda melakukan hal tersebut. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan diharapkan tegas menerapkan aturan itu.
”Potensi pendapatan dari sini bisa mencapai Rp 5 triliun hingga Rp 6 triliun karena kita tahu cukai rokok naik terus,” kata Timboel.
Belum sistemik
Timboel menyebutkan, defisit BPJS Kesehatan sebenarnya sudah teridentifikasi dari perencanaan. Pada awal 2019, diketahui jumlah penerimaan iuran JKN sekitar Rp 88 triliun. Padahal, biaya manfaat yang dikeluarkan sebesar Rp 102 triliun, ada defisit sekitar Rp 14 triliun.
”Belum lagi, pada akhir 2018, utang BPJS Kesehatan kepada rumah sakit yang belum dibayarkan sebesar Rp 9,1 triliun dan harus berlanjut ke 2019,” lanjutnya.
Menurut Timboel, hal itu terus terjadi dari tahun ke tahun lantaran pemerintah belum menerapkan solusi sistemik. Selama ini mereka masih mengatasi dengan cara menggelontorkan dana bantuan mulai dari Rp 3,3 triliun pada 2014, Rp 9,7 triliun pada 2016, hingga Rp 10,2 triliun pada 2018.
”Kalau terus seperti itu, kan, tidak sehat. Maka, kami mendorong agar diselesaikan secara sistemik supaya defisit tidak terjadi lagi,” ucapnya.
Hotbonar menambahkan, selain meningkatkan sumber pendapatan BPJS Kesehatan, dirinya juga mendorong agar Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) lebih menunjukkan perannya. Menurut dia, peran DJSN bisa diberdayakan lebih dari sebatas melakukan sinkronisasi, monitor dan evaluasi, serta merumuskan kebijakan.
”DJSN bisa bersama BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) turun melakukan audit manajemen dan memberikan usulan solusi kepada pemerintah,” katanya.