Untuk mencegah praktik mafia air, jajaran Komando Distrik Militer 0616/Indramayu menjaga pintu air irigasi di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Namun, langkah itu dinilai tidak cukup tanpa perbaikan infrastruktur pengairan dan penindakan hukum terhadap pihak yang memperjualbelikan air irigasi.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
INDRAMAYU, KOMPAS — Untuk mencegah praktik mafia air, jajaran Komando Distrik Militer 0616/Indramayu menjaga pintu air irigasi di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Namun, langkah itu dinilai tidak cukup tanpa perbaikan infrastruktur pengairan dan penindakan hukum terhadap pihak yang memperjualbelikan air irigasi.
”Kami menyiagakan 120 personel yang menjaga di pintu air selama 24 jam setiap hari. Ini untuk menghindari praktik premanisme atau mafia di pintu air,” ujar Komandan Kodim 0616/Indramayu Letnan Kolonel (Kav) Agung Nur Cahyono, Selasa (30/7/2019), di Indramayu.
Kami menyiagakan 120 personel yang menjaga di pintu air selama 24 jam setiap hari. Ini untuk menghindari praktik premanisme atau mafia di pintu air. (Agung Nur Cahyono)
Praktik mafia air memaksa petani membayar sejumlah uang kepada pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mengatur tata gilir air sehingga sawah petani terairi. Praktik ini juga disebut preman air, menurut Agung, karena pihak tidak bertanggung jawab itu mengancam petugas pintu air dengan senjata tajam. Praktik itu diduga kerap terjadi saat musim tanam kedua atau gadu ketika kemarau seperti sekarang.
”Kami sudah terima laporan preman air dari petani. Kepala Polres Indramayu (Ajun Komisaris Besar Yoris Marzuki) juga sudah mencium adanya praktik pungutan liar di pintu air. Namun, kami belum menemukan orangnya,” ujar Agung.
Menurut dia, terdapat tiga titik rawan praktik mafia air, yakni di Losarang, Rancajawat, dan Kandanghaur. ”Di titik tersebut pasukan kami menduduki daerah pintu air selama 24 jam. Kalau ada yang ’bermain’, akan kami serahkan kepada polisi,” ungkapnya.
Sebelumnya, dalam penelusuran Kompas pekan lalu, untuk mendapatkan jatah air 36 jam dalam 10 hari, petani di enam desa di Kecamatan Losarang harus menyerahkan Rp 12 juta kepada oknum penjaga pintu air setiap gilir air. Setiap hektar dipatok Rp 100.000. Agar sampai panen, terdapat lima kali masa gilir air.
Namun, Kepala Dinas Pertanian Indramayu Takmid menilai dugaan mafia air hanya kesalahpahaman petani. ”Ada petani yang tidak patuh pada jadwal gilir air. Seharusnya air untuk daerah lain, tetapi petani yang bukan gilirannya masih mengambil air menggunakan pompa atau membuat tanggul,” katanya. (Kompas, 25/7/2019)
Yanto (30), petani Desa Santing, Losarang, mengatakan, air irigasi saat ini melimpah ke daerahnya. ”Tetapi, itu sudah terlambat. Lahan garapan saya 2,8 hektar sudah gagal panen, padi sudah keburu mati. Padahal, kalau panen bisa dapat 16 ton gabah kering giling (GKG),” ujar Yanto yang menyewa lahannya Rp 40 juta per tahun.
Berdasarkan data Dinas Pertanian Indramayu, lahan seluas 5.666 hektar di Indramayu mengalami gagal panen karena kekeringan. Daerah puso tersebar di Kecamatan Losarang, Gabuswetan, Kandanghaur, hingga Krangkeng. Dengan rata-rata produksi 6 ton GKG per hektar, Indramayu telah kehilangan 33.996 ton GKG. Dalam setahun, Indramayu mampu memproduksi hingga 1,7 juta ton GKG.
Karsa (28), petani lainnya, mengapresiasi upaya TNI untuk mencegah praktik mafia air. ”Praktik ini sudah bertahun-tahun. Tetapi, belum pernah ada yang ditangkap. Harus ada efek jera,” ungkapnya.
Menurut dia, antisipasi praktik mafia air dapat dilakukan dengan perbaikan infrastruktur pengairan oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Indramayu. Sejumlah pintu air di Sentolop, Gato, dan Krama yang mengalirkan air ke Losarang, misalnya, rusak bahkan hilang. Pintu air hanya berupa balok yang dapat dibuka tutup, bukan pelat besi dengan kunci khusus.