Ekspor sabut dan arang dari kelapa Indonesia masih berpeluang untuk dioptimalkan. Namun, hal ini terkendala oleh daya saing produk yang dipengaruhi akses pelabuhan, tenaga kerja, dan proteksi terhadap pelaku industri domestik.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ekspor sabut dan arang dari kelapa Indonesia masih berpeluang untuk dioptimalkan. Namun, hal itu terkendala oleh daya saing produk yang dipengaruhi akses pelabuhan, tenaga kerja, dan proteksi terhadap pelaku industri domestik.
Data Asosiasi Industri Serabut Kelapa Indonesia, perbandingan pemanfaatan sabut terhadap luas lahan kelapa di Indonesia berada di angka 0,6 persen. ”Angka ini berada di bawah Filipina yang sebesar 2,5 persen,” kata Ketua Asosiasi Industri Serabut Kelapa Indonesia Elfi Ramli dalam diskusi tentang kelapa yang digelar Kamar Dagang dan Industri Indonesia di Jakarta, Selasa (30/7/2019).
India dan Sri Lanka memiliki angka rasio pemanfaatan sabut terbesar terhadap luas lahan kebun kelapa yang masing-masing sebesar 44,7 persen dan 50,3 persen. Padahal, luas lahan kebun kelapa India hanya setengahnya dari Indonesia. Sementara lahan kebun kelapa Sri Lanka sekitar 10 persen dari Indonesia. Mayoritas produk sabut kelapa ditujukan untuk ekspor. Karena itu, akses dari sentra produksi ke pelabuhan menjadi salah satu faktor penentu.
Elfi menyatakan, pelabuhan-pelabuhan yang menjadi tumpuan ekspor sabut kelapa berada di Medan, Lampung, Jakarta, Surabaya, dan Semarang. Padahal, ada potensi ekspor produk sabut kelapa dari luar Pulau Jawa dan Sumatera. Sebagai ilustrasi, dia menggambarkan, biaya untuk ekspor dari Jawa sekitar 300 dollar Amerika Serikat, sedangkan dari Sulawesi dapat mencapai 1.600 dollar AS.
Sabut kelapa dapat diolah menjadi keset, tali, jaring, geotekstil, dan matras. Namun, saat ini mayoritas ekspor masih berupa bahan mentah. Salah satu pelaku usaha pengolah sabut kelapa adalah PT Agri Lestari Nusantara yang beroperasi di Lampung. General Manager PT Agri Lestari Nusantara Cepi Mangkubumi mengatakan, pihaknya menyuplai keset dari sabut kelapa untuk IKEA di pasar domestik.
Sebagian besar produksi PT Agri Lestari Nusantara diekspor dalam bentuk tali dan jaring. Kedua produk itu dimanfaatkan sebagai media budidaya kerang di Korea serta media rambat anggur di AS dan Australia.
Cepi mengemukakan, rata-rata ekspor bulanan ke ketiga negara itu masing-masing mencapai empat kontainer per negara. Satu kontainer diperkirakan sekitar 13 ton. Secara geografis kelautan, Indonesia memiliki kedekatan dengan Australia. Oleh karena itu, Cepi menyatakan, pihaknya fokus dalam mengembangkan pasar di Australia.
Perlindungan domestik
Kurang optimalnya pemanfaatan pasar internasional juga terjadi pada produk arang berbahan baku tempurung kelapa. Berdasarkan data yang dihimpunnya, Ketua Umum Perkumpulan Pengusaha Arang Kelapa Indonesia (Perpaki) Y Abimanyu mengutarakan, Indonesia baru memanfaatkan 24 persen dari potensi pasar internasional yang sebesar Rp 171 triliun.
Menurut Abimanyu, pemanfaatan itu belum optimal karena persaingan dengan pemain asing yang turut memproduksi arang dan briket di Indonesia. Karena itu, perlu ada perlindungan terhadap produsen dalam negeri. ”Sebelumnya, negara-negara asal pelaku asing itu mengimpor dari kami. Namun, kini mereka membuka usaha di Indonesia dan mengolah langsung di Indonesia,” katanya.
Jumlah arang yang diolah oleh Perpaki berkisar 280.000 ton- 295.000 ton per tahun. Adapun produksi arang nasional mencapai 800.000 ton-1 juta ton per tahun. Abimanyu mengharapkan pemerintah dapat mengembangkan dan menumbuhkan industri skala rumah tangga yang mampu mengolah arang menjadi briket dengan kapasitas 300-500 kilogram per hari. Nilai tambah dari arang menjadi briket dapat mencapai dua kali lipat.
Secara proses, tempurung kelapa pertama-tama diolah menjadi arang. Arang itu dapat menjadi briket serta sumber zat karbon aktif yang dimanfaatkan oleh industri kimia dan farmasi.