Jangan Berhenti Sebelum Cita-cita Terwujud
”Mimpi saya dari kecil adalah tampil dalam babak utama Grand Slam, dan itu tercapai.” Christopher Rungkat
Petenis putra Indonesia, Christopher Rungkat (29), harus menanti selama 10 tahun untuk mewujudkan cita-citanya sejak terjun ke arena tenis profesional pada 2009. Cita-cita itu adalah tampil pada babak utama Grand Slam, turnamen tenis berlevel tertinggi.
Pada 2019, petenis yang akrab disapa Christo itu tampil pada babak utama Perancis Terbuka dan Wimbledon. Dia tampil di nomor ganda putra bersama petenis Taiwan, Hsieh Cheng Peng.
Sebelum 2019, Christo sebenarnya berpengalaman tampil pada nomor tunggal Australia Terbuka 2013 serta nomor ganda Wimbledon 2017 dan 2018, tetapi dia langsung tersingkir pada babak pertama kualifikasi. Saat bermain di level yunior, dia bahkan menjadi juara ganda putra Perancis Terbuka 2008 bersama Henri Kontinen (Finlandia).
Di lapangan tanah liat Roland Garros, Paris, akhir Mei lalu, Christo/Hsieh bertahan hingga babak kedua sebelum dikalahkan pasangan tuan rumah, Gregoire Barrere/Quentin Halys. Adapun di Wimbledon, Grand Slam yang menjadi impian setiap petenis, Christo/Hsieh hampir membuat kejutan saat bertemu unggulan ke-14, Oliver Marach/Juergen Melzer.
Bermain selama 3 jam 20 menit, Christo/Hsieh membuat ganda Austria itu bermain lima set meskipun akhirnya kalah, 3-6, 4-6, 6-1, 6-2, 9-11. Marach dan Melzer memiliki reputasi sebagai juara ganda putra Grand Slam dengan partner berbeda.
Christo lolos ke babak utama Perancis Terbuka dan Wimbledon melalui jalur direct acceptance. Tanpa babak kualifikasi pada nomor ganda—Wimbledon memakai peraturan tersebut mulai 2019—mereka yang berhak tampil adalah yang memenuhi syarat berdasarkan peringkat dunia.
Dari 64 pasangan ganda putra, 56 pasang lolos berdasarkan akumulasi peringkat dunia. Setiap pasangan bisa menggunakan peringkat tunggal atau ganda, atau gabungan peringkat tunggal dan ganda untuk mendaftarkan diri. Semakin tinggi peringkat, semakin besar peluang menjadi peserta.
Sebelum 2019, Christo yang saat ini berperingkat ke-73 ganda berada di peringkat 90-an atau 100-an dunia. Peringkat itu lebih banyak menempatkannya pada turnamen ATP Challenger, rangkaian turnamen yang lebih rendah daripada ATP World Tour yang terdiri dari ATP 250, 500, dan 1000 (biasa disebut Masters).
Saat berkunjung ke Kompas seusai Wimbledon, pertengahan Juli, Christo mengatakan, satu-satunya cara untuk menaikkan peringkat adalah dengan lebih sering mengikuti turnamen, tentu dengan lebih banyak kemenangan. ”Saya biasanya mengikuti 30-35 turnamen per musim,” ujar Christo.
Sisa sekitar lima bulan hingga akhir 2019, mereka bertekad mengikuti lebih banyak turnamen ATP 250. Christo juga berambisi tampil pada babak utama Grand Slam berikutnya, AS Terbuka, 26 Agustus-8 September, dan berada pada posisi ke-60 besar pada akhir musim.
Pesan dari Grand Slam
Meskipun perjalanannya di Perancis Terbuka dan Wimbledon singkat, Christo menilai, penampilannya bersama Hsieh membuka mata bahwa petenis seperti mereka, yang berperingkat ke-60-70-an dunia, bisa menandingi pemain kelas dunia.
”Bedanya, dalam menghadapi poin kritis, mereka lebih unggul karena punya lebih banyak pengalaman. Mereka lebih tenang dan lebih berani dalam mengambil keputusan ekstrem. Pengalaman memang tak bisa bohong,” ujar Christo.
Dalam menghadapi poin kritis, mereka lebih unggul karena punya lebih banyak pengalaman. Mereka lebih tenang dan lebih berani dalam mengambil keputusan ekstrem. Pengalaman memang tak bisa bohong.
Melalui pengalamannya itu, Christo pun memiliki pesan kepada petenis-petenis muda di Tanah Air. ”Jangan berhenti sebelum cita-cita terwujud. Saya memang tak muda lagi, harus menunggu 10 tahun untuk mencapai tahap seperti sekarang, tetapi akhirnya mampu dengan berjuang sendiri,” katanya.
”Pola pikir juga harus diubah, dari yang tadinya sekadar mengejar bonus dari juara SEA Games, harus ditingkatkan. Saya selalu menjadikan SEA Games sebagai batu loncatan. Bonus yang didapat karena juara SEA Games digunakan untuk menjalani tur dan menyewa pelatih,” tutur petenis yang telah meraih empat medali emas SEA Games. Bersama Aldila Sutjiadi, Christo juga mempersembahkan medali emas ganda campuran Asian Games 2018.
Dalam beberapa kali pertemuan, Christo tak jarang mengemukakan keresahan tentang minimnya petenis Indonesia yang terjun ke dunia profesional. Tak punya cita-cita tinggi dan banyaknya biaya yang dibutuhkan menjadi kendala mereka.
Transportasi, akomodasi, dan makan adalah kebutuhan inti untuk menjalani tur. Pada Januari-Oktober 2018, Christo menghabiskan 53.000 dollar AS (Rp 742 juta). ”Itu tidak termasuk membayar pelatih, karena saya tak punya pelatih. Kalau ada pelatih, biaya yang dibutuhkan bisa dua kali lipat. Belum lagi fisioterapis dan pelatih fisik,” katanya.
Dibantu Pelti Jawa Timur membiayai tur sejak 2019, saat ini Christo disponsori Adidas, Bank BRI, Head, dan Pocari. ”Saya berharap bisa mendapat sponsor lagi supaya bisa didampingi pelatih,” katanya.
Risiko
Dalam posisi seperti saat ini, bukan hal yang mudah bagi Christo untuk tampil pada turnamen yang diinginkan. Turnamen level tertinggi yang bisa diikutinya adalah ATP 250, level terendah ATP Tour. Itu pun tergantung pada keikutsertaan petenis lain. Saat tak diterima dalam satu turnamen, dia pun harus menurunkan levelnya.
”Saya dan Hsieh menyusun turnamen per tiga bulan, harus lengkap dari rencana A hingga D untuk setiap pekannya. Semakin tinggi ranking, sebenarnya semakin mudah untuk memilih turnamen. Untuk itu, saya pun harus mengejar peringkat yang lebih baik,” katanya.
Risiko lain sebagai petenis profesional adalah terbatasnya waktu berkumpul bersama keluarga di Jakarta. Sebelum mengikuti Perancis Terbuka, Christo sebenarnya berencana pulang ke Jakarta setelah berada di Taiwan, China, Jerman, dan Korea Setalan sejak April.
Rencana itu tiba-tiba berubah karena dia dan Hsieh harus terbang ke Swiss untuk mengikuti ATP 250 Geneva, sepekan sebelum Perancis Terbuka. Melanjutkan perjalanan ke Perancis, Inggris, Turki, lalu Inggris lagi untuk Wimbledon, dia pun baru kembali ke Jakarta pada pertengahan Juli. Kurang dari sepekan di Jakarta, Christo kembali ke Eropa guna mengumpulkan poin agar bisa lolos AS Terbuka.
Namun, pengorbanan itu terbayar ketika dia akhirnya bisa mewujudkan cita-citanya, tampil dan menang di arena Grand Slam. Pengalaman lain tak jarang didapat di luar pertandingan, seperti yang terjadi dalam persiapan Wimbledon.
Christo/Hsieh berkesempatan berlatih bersama ”Bryan Brothers”, si kembar Mike dan Bob Bryan yang telah menjuarai semua Grand Slam dan peraih medali emas ganda putra Olimpiade London 2012. ”Saya gugup banget melawan mereka walaupun cuma latihan. Kami kalah telak, sih, dalam pertandingan itu, tetapi tetap bangga,” katanya.