JAKARTA, KOMPAS — Kuota subsidi perumahan yang akan segera habis akan berdampak pada arus keuangan pengembang rumah bersubsidi. Oleh karena itu, Real Estat Indonesia berharap usulan penambahan anggaran rumah bersubsidi dikabulkan Kementerian Keuangan.
Ketua Umum Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata, Selasa (30/7/2019), di Jakarta, berharap agar usulan penambahan kuota anggaran subsidi perumahan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dikabulkan Kementerian Keuangan. Jumlah anggaran yang diusulkan sebesar Rp 8,66 triliun dapat membiayai 76.000 unit sampai 80.000 unit rumah bersubsidi.
”Kami berharap ini dikabulkan karena program sejuta rumah ini, kan, termasuk program strategis nasional yang langsung menyentuh rakyat kecil,” kata Soelaeman.
Bagi anggota REI, lanjut Soelaeman, terbatasnya anggaran rumah bersubsidi berdampak pada kelangsungan bisnis pengembang. Saat ini, rumah berspesifikasi subsidi yang siap untuk akad kredit mencapai 180.000 unit. Padahal, anggaran rumah bersubsidi, baik berskema fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) maupun subsidi selisih bunga (SSB), berjumlah 168.000 unit.
Sementara, lanjut Soelaeman, sekitar 5.000 pengembang atau sekitar 70 persen anggota REI merupakan pengembang rumah bersubsidi. Mereka membangun rumah bersubsidi dengan dana pinjaman bank. Jika rumah tidak terjual atau akad kredit, dikhawatirkan mereka juga tidak akan mampu mengembalikan dana pinjaman bank.
Saat ini, lanjut Soelaeman, diperkirakan anggaran subsidi hanya tinggal sekitar 20.000 unit. Sementara, hingga 24 Juli 2019, Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP) telah menyalurkan anggaran FLPP untuk 48.463 unit dari total anggaran FLPP untuk 68.000 unit.
”Kalau tidak akad kredit, sementara bunga kredit jalan terus, ini bisa mengancam pengembang rumah bersubsidi karena tetap menanggung bunga kredit konstruksi,” ujar Soelaeman.
Sebenarnya, lanjut Soelaeman, saat ini terdapat skema Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) dari pemerintah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang bekerja di sektor informal. Anggarannya sekitar Rp 1 triliun untuk sekitar 30.000 unit rumah. Namun, Soelaeman menilai program tersebut belum disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat.
Sementara itu, Direktur Consumer Banking Bank Tabungan Negara Budi Satria mengatakan, hingga 30 Juni 2019, BTN baik konvensional maupun unit usaha syariah telah merealisasikan akad kredit pemilikan rumah (KPR) bersubsidi sebanyak 101.656 unit. Jumlah itu terdiri dari FLPP berjumlah 29.281 unit serta SSB dan subsidi selisih margin (SSM) sebanyak 72.357 unit.
Sementara kuota yang diberikan kepada BTN untuk kedua skema tersebut berjumlah 127.104 unit. Dengan demikian, hingga akhir Juni yang tersisa sebanyak 25.448 unit yang diperkirakan akan habis pada Agustus 2019.
Secara terpisah, pengajar dari Laboratorium Perumahan dan Permukiman Institut Teknologi Bandung M Jehansyah Siregar berpandangan, pemberian subsidi triliunan rupiah setiap tahunnya terbukti tidak menyelesaikan masalah, yaitu pengurangan angka kekurangan rumah (backlog). Pada tahun 2000, angka kekurangan rumah sebesar 4,5 juta unit dan pada 2010 menjadi 13,5 juta unit.
”Artinya, pemberian subsidi belum efektif dalam mengatasi backlog. Masalahnya, apa yang membuat subsidi terus dikucurkan setiap tahun. Mau ditambah ratusan triliun pun tidak akan mengubah karena sudah salah strategi,” kata Jehansyah.
Menurut Jehansyah, sudah saatnya pemerintah mengevaluasi secara menyeluruh terhadap penyaluran subsidi perumahan. Evaluasi tersebut mencakup ketepatan sasaran dengan mengidentifikasi kelompok terbesar pembeli rumah bersubsidi. Dikhawatirkan, pembeli rumah bersubsidi sebenarnya adalah masyarakat yang mampu secara ekonomi untuk membeli rumah komersial.
Sudah saatnya pemerintah mengevaluasi secara menyeluruh terhadap penyaluran subsidi perumahan. Evaluasi tersebut mencakup ketepatan sasaran dengan mengidentifikasi kelompok terbesar pembeli rumah bersubsidi.
Selama ini, masalah kekurangan rumah kebanyakan terjadi di perkotaan. Hal itu terjadi karena arus urbanisasi yang akan terus meningkat. Pada 2025, sebanyak 60 persen penduduk akan tinggal di perkotaan. Sepuluh tahun kemudian, pada 2035, sebanyak 67 persen penduduk atau 183.374 jiwa akan tinggal di perkotaan.
Sementara selama ini anggaran yang disediakan tidak dapat memenuhi kebutuhan. Dari indikasi kebutuhan anggaran perumahan tahun 2015-2019 sebesar Rp 336 triliun, yang dapat disediakan pemerintah hanya sekitar 10 persen, yaitu Rp 33,09 triliun.
Setiap tahun rata-rata diperlukan 627.000 unit rumah baru untuk memenuhi pertumbuhan keluarga baru. Adapun potensi kemampuan pembiayaan pemerintah hanya 20-30 persen.
Dengan perhitungan tersebut, lanjut Jehansyah, pemerintah mesti mengubah strategi penyediaan perumahan dari pemberian subsidi ke program lain yang memang dapat mengurangi angka kekurangan rumah dalam jangka panjang. Bukan hanya sekadar memberikan subsidi.
Dari evaluasi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mengenai pengawasan pengendalian pembangunan rumah sederhana bersubsidi pada 2018, ditemukan adanya bangunan rumah bersubsidi yang tidak memenuhi standar, seperti di Padang (Sumatera Barat), Pangkal Pinang (Bangka Belitung), Jembrana (Bali), Karawang dan Cirebon (Jawa Barat), Gresik (Jawa Timur), serta Semarang dan Batang (Jawa Tengah). Selain itu, rumah yang tidak memenuhi standar juga ditemukan di Tangerang (Banten), Bantul (Daerah Istimewa Yogyakarta), dan Minahasa Utara (Sulawesi Utara).
Bangunan yang ditemukan tidak memenuhi standar itu seperti penggunaan besi hanya 5-6 milimeter dari seharusnya minimal 10 milimeter atau jarak sengkang yang harusnya maksimal 25 sentimeter menjadi 60 sentimeter. Selain itu, ditemukan pula kerangka atap yang tidak sesuai kaidah bangunan. (NAD)