Belum Ada Peningkatan Jumlah Penumpang Angkutan Umum
›
Belum Ada Peningkatan Jumlah...
Iklan
Belum Ada Peningkatan Jumlah Penumpang Angkutan Umum
Buruknya pencemaran udara di Jakarta akhir-akhir ini semestinya mendorong penggunaan angkutan umum. Sayangnya momentum ini belum dapat dimanfaatkan di tengah kualitas udara Ibu Kota yang buruk.
Oleh
AYU PRATIWI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Buruknya pencemaran udara di Jakarta akhir-akhir ini semestinya mendorong penggunaan angkutan umum. Sayangnya momentum ini belum dapat dimanfaatkan di tengah kualitas udara Ibu Kota yang buruk. Sejumlah sumber data menyebutkan belum ada perubahan signifikan terkait jumlah penumpang angkutan umum.
Kondisi ini menjadi pembicaraan hangat di media sosial. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun tergerak untuk menggelar kampanye #7dayschallenge dan menantang para aparatur sipil negara (ASN) untuk naik angkutan umum. Uji emisi kendaraan juga semakin didorong agar emisi gas buang kendaraan lebih ramah lingkungan dan sesuai dengan standar yang ditentukan.
Namun, upaya itu belum cukup mengurangi polusi dan mendorong warga menggunakan angkutan umum. Data sejumlah operator angkutan umum menunjukkan tidak ada perubahan signifikan terkait jumlah penumpang.
Kepala Humas Transjakarta Wibowo, misalnya, mengatakan, jumlah penumpang harian transjakarta rata-rata 800.000 orang. ”Pencapaian tertinggi transjakarta untuk jumlah pelanggan sebanyak 822.034 orang pada 10 Juli 2019. Pengaruh cuaca tidak ada sepertinya,” ujarnya ketika dihubungi pada Rabu (31/7/2019) di Jakarta.
Sementara Vice President Corporate Communications PT KCI Anne Purba menyampaikan, jumlah penumpang KRL sejak Januari 2019 cukup konsisten dengan jumlah rata-rata per hari 900.000-1 juta orang per hari.
”Khusus bulan April 2019, PT KCI melayani sekitar 28 juta penumpang. Pada Mei 2019 sekitar 28,5 juta penumpang dan pada Juni 2019 melayani sekitar 25,8 juta penumpang,” kata Anne.
Dalam rangka kampanye penggunaan angkutan umum, PT KCI menambah frekuensi perjalanan KRL dan jumlah stasiun. Hal serupa juga dilakukan transjakarta dan moda transportasi umum lain.
Namun, Ketua Koalisi Pejalan Kaki Alfred Sitorus berpendapat, upaya meningkatkan fasilitas angkutan umum belum cukup berdampak pada peningkatan jumlah penumpang. Sebab, kemacetan dan polusi masih menjadi masalah sehari-hari warga Jakarta.
”Penambahan angkutan umum kita tidak signifikan. Jalur utama di Jakarta masih mengalami kemacetan. Jadi, kita belum melihat adanya perpindahan dari kendaraan pribadi ke angkutan umum. Sebab, angkutan umum masih bersaing dengan kendaraan pribadi,” kata Alfred
Polusi ada sejak lama
Mengutip rilis dari Greenpeace, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengakui, pada Maret 2019, adanya masalah pencemaran serius di Jakarta. Berdasarkan indeks PM 2,5, pada 2018, terdapat 196 hari di saat kualitas udara Ibu Kota tergolong ”tidak sehat”, 122 hari tergolong ”sedang”, dan hanya 34 hari tergolong ”baik”.
Berdasarkan laporan IQ AirVisual dan Greenpeace Asia Tenggara pada 2018, Jakarta merupakan kota dengan kualitas udara terburuk di Asia Tenggara. Terungkap bahwa rata-rata tahunan PM 2,5 di Jakarta yang sebesar 34,57 ug/m3 melampaui batas yang ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 yang sebesar 15 ug/m3. Standar Pemerintah RI lebih longgar daripada baku mutu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang ditentukan sebesar 10 ug/m3.
Menurut Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, 75 persen polusi udara berasal dari transportasi darat, 9 persen dari sektor industri, 8 persen dari sektor domestik, seperti kegiatan sampah bakar, dan 8 persen industri lain lain.
Bagi Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel Ahmad Safrudin, buruknya kondisi udara di Jakarta hingga saat ini menunjukkan bahwa masih belum ada usaha serius dari pemerintah untuk mengendalikan pencemaran udara.
Padahal, sudah ada banyak regulasi yang mengatur hal itu, seperti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya, UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah No 41/1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, serta Peraturan Daerah No 2/2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara Provinsi DKI Jakarta.
”Sesungguhnya isu pencemaran udara di Jakarta sudah ada dari dulu. Pada 1995, Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) melaporkan Jakarta sebagai kota paling tercemar di dunia nomor ketiga setelah Mexico City dan Bangkok. Masyarakat sipil mendorong pemerintah mengatasi pencemaran udara. Setelah hampir sepuluh tahun, pemerintah baru tergerak menyusun Perda No 2/2005,” kata Ahmad Safrudin, pekan lalu, di Jakarta.
Ia menambahkan, kualitas udara di Jakarta sempat membaik hingga 2010, tetapi menjadi lebih parah lagi kemudian. ”Pemerintah tidak melakukan apa-apa. Termasuk menjelang Asian Games 2018. Kami sampaikan bahwa kualitas udara harus diperhatikan, tetapi pemerintah abai pada hal itu. Atlet saat Asian Games kemarin bertanding dalam suasana udara tercemar,” ujar Puput.