YOGYAKARTA, KOMPAS— Friksi yang terjadi di masyarakat tidak hanya mengancam demokrasi, tetapi juga membahayakan keutuhan bangsa. Elite dan partai politik menjadi pihak yang paling bertanggung jawab dalam mengatasi friksi itu, salah satunya dengan cara memberikan pendidikan politik. Pasalnya, friksi itu sering kali dipicu oleh kontestasi politik di tingkat elite.
Terkait hal tersebut, mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif, Selasa (30/7/2019), di Yogyakarta, berharap partai politik di Indonesia tidak hanya memikirkan kepentingannya sendiri. Parpol juga mesti memikirkan kepentingan bangsa dan negara ke depan.
Secara terpisah, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris, menuturkan, perbedaan pendapat merupakan sesuatu yang wajar dan sehat dalam demokrasi. Namun, perbedaan pendapat itu menjadi tidak sehat jika sampai menimbulkan benturan atau friksi. ”Pemangku kepentingan, khususnya parpol, yang paling bertanggung jawab (mengatasi friksi di masyarakat) dengan melakukan pendidikan politik karena mereka yang berkompetisi,” katanya.
Indikasi adanya friksi di masyarakat terlihat dari Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2018 yang dirilis Senin lalu. Meski ada kenaikan indeks, yaitu dari 72,11 pada 2017 menjadi 72,39 pada 2018, dua dari tiga aspek yang dinilai mengalami penurunan. Penurunan terjadi pada aspek kebebasan sipil dan aspek hak-hak politik individu. Satu aspek lain, yaitu lembaga demokrasi, mengalami kenaikan.
Penurunan skor pada aspek kebebasan sipil, antara lain, terjadi karena adanya ancaman atau penggunaan kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan berkumpul, berserikat, dan berpendapat. Kondisi yang mengindikasikan adanya friksi di masyarakat ini ditengarai sebagai ekses dari kontestasi politik pada Pemilu 2019 yang, antara lain, ditandai dengan munculnya berita bohong (Kompas, 30/7/2019).
Kontestasi politik seperti pemilu, menurut Haris, idealnya juga menjadi saat bagi parpol untuk melakukan pendidikan politik dan mencerdaskan bangsa. Hal ini bisa terwujud jika parpol menunjukkan secara jelas visi kebangsaannya pada momentum tersebut sehingga publik mendapat gambaran mengenai arah Indonesia.
”Visi kebangsaan untuk Indonesia itu harus jelas ditunjukkan oleh parpol. Parpol sebaiknya juga tidak memanfaatkan identitas asal, seperti agama, suku, ras, dan lainnya, sebagai basis persaingan politik,” tuturnya.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Aditya Perdana mengatakan, saat ini agak susah berharap parpol dapat optimal melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Ini karena parpol masih disibukkan dengan masalah internal, seperti kaderisasi.
Syarat pencalonan
Pemilihan presiden yang hanya diikuti dua pasangan calon, menurut Aditya, ikut memicu munculnya friksi di masyarakat saat pemilu lalu. Pasalnya, dengan hanya ada dua pasang calon, masyarakat berpotensi terbelah dalam dua kubu yang saling berlawanan.
”Pengubuan yang keras di masyarakat, seperti pada pemilu lalu, jangan sampai terulang. Syarat pencalonan mungkin perlu dilonggarkan sehingga lebih terbuka munculnya lebih dari dua pasang calon,” tutur Aditya.
Pengajar di Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia, Hurriyah, mengingatkan, ada sejumlah hal yang perlu dicermati dari proses demokratisasi di Indonesia jika melihat beberapa indeks yang dikeluarkan lembaga internasional, seperti Freedom House dan Bertelsmann Stiftung Transformation Index.
Berdasarkan kategori yang dibuat Freedom House, misalnya, menurut Hurriyah, sejak tahun 2015, Indonesia tidak lagi disebut sebagai negara bebas, tetapi partly free. ”Jadi, ada penurunan indeks,” katanya.
Dikutip dari laman freedomhouse.org pada Selasa (30/7) malam, status partly free diberikan kepada 59 negara dan Indonesia termasuk di dalamnya. Adapun status free diberikan kepada 86 negara dan status not free bagi 50 negara.
Menariknya, dalam laporan tahun 2019 yang menyoroti hak-hak politik dan kebebasan sipil itu disebutkan, demokrasi memang sedang mundur. Disebutkan pula bahwa pada 2018, laporan Freedom In the World mencatat penurunan kebebasan global selama 13 tahun berturut-turut.