Berlarut-larutnya pembahasan RKUHP diharapkan tak menjadi hambatan bagi pembahasan RUU lain, terutama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Kasus Baiq Nuril menjadi pendorong pentingnya RUU PKS segera diundangkan.
JAKARTA, KOMPAS —Pembahasan Rancangan Kitab Undang- undang Hukum Pidana yang belum juga selesai berpotensi menyandera RUU lainnya, seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Dalam rangka menyediakan payung hukum untuk memenuhi kebutuhan keadilan sosial bagi korban pelecehan seksual, pembahasan kedua RUU itu diharapkan tetap dilakukan terpisah sehingga RUU PKS dapat segera disahkan.
Saat ini, pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) kembali jalan di tempat setelah sempat berhenti total di tengah masa kampanye Pemilihan Umum 2019 lalu.
DPR dan pemerintah praktis hanya memiliki waktu kurang dari dua bulan untuk merampungkan kedua RUU tersebut sebelum mengakhiri masa jabatannya pada Oktober 2019. Di tengah mandeknya pembahasan RKUHP, RUU PKS ikut terkendala karena muncul pandangan bahwa aturan pokok pemidanaan di RUU tersebut harus mengacu pada RKUHP sebagai payung hukum pidana.
Pembahasan RKUHP belum menemukan titik terang karena masih ada beberapa poin krusial yang belum berhasil disepakati antara fraksi-fraksi partai politik di Komisi III DPR dan pemerintah.
”Undang-undang khusus (lex specialis) itu harus mengacu dulu pada hukum induk pidananya, yaitu pada KUHP. Makanya, RKUHP harus cepat diselesaikan,” kata anggota Panitia Kerja RKUHP dari Fraksi Partai Nasdem, Taufiqulhadi, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (30/7/2019).
Meski demikian, menurut anggota Komisi VIII dari Fraksi PDI-P, Diah Pitaloka, hal itu sebetulnya problematik karena ada banyak kasus kekerasan seksual yang sulit untuk dipidana jika mengacu pada pengaturan di KUHP.
Dalam RKUHP, kekerasan seksual diatur melalui pasal tentang pencabulan dan perkosaan. Meski demikian, aturan tersebut luput memperhatikan adanya relasi kuasa dan budaya patriarki yang masih dominan dalam konteks sosial di Indonesia. Selain itu, unsur-unsur lingkup kekerasan seksual di RKUHP tidak komprehensif.
Samakan persepsi
Sebagai contoh, tindakan yang bisa dimaknai pencabulan di RKUHP tidak diperjelas jika ikut mencakup aksi non-fisik, sementara definisi pelecehan seksual menurut RUU PKS juga mencakup tindakan non-fisik atau verbal.
Unsur kekerasan seksual di RUU PKS juga sudah lebih luas karena mencakup sembilan tindakan, seperti pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
”Ini bagian dari konteks relasi kuasa. Misalnya, banyak kasus mahasiswa yang diajak melakukan hubungan seksual dengan dosennya. Ketika tidak mau, akhirnya diancam tidak lulus. Apakah bisa dikatakan mau sama mau atau suka sama suka ketika ada unsur tekanan?” kata Ketua Subkomisi Pendidikan Komisi Nasional Perempuan Masruchah.
Definisi dan unsur jenis kekerasan seksual yang tak diatur secara komprehensif itu bisa memunculkan ketidakadilan, seperti dalam kasus kriminalisasi yang dialami Baiq Nuril Maqnun, yang Senin lalu akhirnya mendapat amnesti dari Presiden Joko Widodo.
”Di pengadilan banyak yang kesulitan mencari keadilan karena pembuktiannya sulit, seperti kasus Baiq Nuril. Itu sulit dijelaskan dalam fenomena hukum sehingga akhirnya dijerat melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE),” kata Diah.
Masruchah mengatakan, perlu ada dialog antara Komisi III dan Komisi VIII yang membahas RKUHP dan RUU PKS untuk membahas aturan pemidanaan kekerasan seksual. Persepsi kedua RUU itu perlu disamakan agar politik hukum di RUU PKS ataupun RKUHP tetap berorientasi pada perlindungan korban dan pemenuhan keadilan hukum bagi korban.
RUU PKS dan RKUHP akan kembali dibahas pada pertengahan Agustus 2019 setelah masa reses DPR berakhir.
Senada dengan Masruchah, menurut Diah, Panja RUU PKS di Komisi VIII akan terlebih dahulu menyamakan persepsi terkait beberapa isu yang saat ini masih diperdebatkan.
”Komisi VIII akan segera bicara dengan Komisi III. Mungkin kami akan mengadakan rapat gabungan. Ini masalah cara pandang terhadap bagaimana menghadapi kasus kekerasan seksual yang perlu disamakan dulu karena substansinya adalah bagaimana kita ingin membangun keadilan bagi korban kekerasan seksual,” kata Diah. (AGE)