Karut-marut persoalan garam rakyat belum menunjukkan titik terang. Musim panen garam datang silih berganti, tetapi situasinya masih sama, yaitu harga garam di tingkat petambak anjlok, penyerapan garam rakyat tidak optimal, sementara industri pengolahan bergantung pada impor garam.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
Karut-marut persoalan garam rakyat belum menunjukkan titik terang. Musim panen garam datang silih berganti, tetapi situasinya masih sama, yaitu harga garam di tingkat petambak anjlok, penyerapan garam rakyat tidak optimal, sementara industri pengolahan bergantung pada impor garam.
Memasuki panen raya garam pada Agustus tahun ini, persoalan kembali terulang. Harga garam rakyat jatuh menjadi Rp 300-Rp 500 per kilogram, atau hanya 30 persen dari harga garam pada Juli 2018. Pola fluktuasi harga garam umumnya terjadi hingga musim panen berikutnya.
Masalah klasik pergaraman nasional belum tuntas kendati periode pemerintahan berganti dan rapat koordinasi lintas kementerian/lembaga yang dipimpin Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian digelar secara berkala. Muncul kesan, tiga kementerian terkait, yaitu Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan, belum mencapai titik temu.
Pangkal persoalan di pergaraman antara lain terkait data. Hingga kini, belum ada data konkret mengenai jumlah dan sebaran garam rakyat kualitas I yang sesuai standar industri, kebutuhan riil bahan baku industri pengolahan garam, serta kebutuhan riil impor garam industri.
Kesimpangsiuran data di level pembuat kebijakan memicu benturan di tingkat bawah. Petambak berteriak kencang akibat harga yang jatuh. Impor garam yang berlebih dituding menjadi penyebab garam tidak terserap optimal oleh industri. Sebaliknya, perusahaan pengolahan garam berdalih jumlah dan kualitas garam rakyat belum memenuhi standar industri sehingga impor dibutuhkan.
Dibutuhkan langkah strategis untuk menjadikan tambak rakyat berdaya saing. Pendampingan dalam teknologi produksi yang efisien terhadap petambak dan pengaturan masa produksi diperlukan agar garam yang dihasilkan memiliki spesifikasi sesuai standar industri.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, produksi garam nasional per Desember 2018 sebanyak 2.719.256 ton, meliputi garam rakyat sebanyak 2.349.630 ton dan PT Garam 369.626 ton. Sementara kebutuhan garam industri hampir 4 juta ton per tahun.
Sudah ada kesepakatan antara Kementerian Perindustrian dan industri pengolahan bahwa penyerapan garam rakyat pada Juni 2018-Juni 2019 sebanyak 1,12 juta ton. Adapun realisasi impor garam pada 2018 sebanyak 2,7 juta ton.
Di tengah ketergantungan impor garam industri, pemerintah menargetkan swasembada garam nasional pada 2021. Target dicapai antara lain dengan intensifikasi lahan garam yang sudah dibangun di Jawa, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat melalui integrasi lahan. Ada juga ekstensifikasi lahan dengan membuka lahan baru, antara lain di Kupang, Nagekeo, dan Rote (Nusa Tenggara Timur), serta Sumbawa Besar (Nusa Tenggara Barat).
Pengembangan lahan baru untuk garam industri mengundang sejumlah investor dan industri pengolahan garam. Harapannya, lahan yang dikelola dengan teknologi lebih modern bisa menghasilkan garam sesuai kebutuhan industri dan langsung diserap industri pengolahan.
Lantas, bagaimana nasib petambak rakyat? Dibutuhkan langkah strategis untuk menjadikan tambak rakyat berdaya saing. Pendampingan dalam teknologi produksi yang efisien terhadap petambak dan pengaturan masa produksi diperlukan agar garam yang dihasilkan memiliki spesifikasi sesuai standar industri.
Dari sisi pasar, peningkatan produksi perlu didukung pembenahan tata niaga garam dengan memastikan garam terserap dengan harga layak. Sulit mengharapkan produksi garam rakyat menguat dari sisi kualitas dan kuantitas jika harga garam dibiarkan terombang-ambing.
Sebanyak 18 gudang garam nasional yang dibangun pemerintah dengan kapasitas masing-masing 2.000 ton belum optimal menopang sisi hilir sehingga diperlukan badan penyangga yang membeli hasil panen rakyat dengan harga wajar.
Di sisi lain, perlu tindakan untuk menghadapi rembesan impor garam industri. Tujuannya, memberi efek jera dan memastikan perlindungan terhadap harga garam rakyat. Beragam langkah strategis mesti diterapkan agar persoalan klasik garam tidak terus berulang. (BM Lukita Grahadyarini)