JAKARTA, KOMPAS -- Suku bunga simpanan di perbankan stabil dan berpotensi turun. Di sisi lain, kondisi dan risiko likuiditas perbankan relatif terjaga di tengah tren perbaikan pertumbuhan simpanan.
Stabilitas sistem keuangan domestik juga stabil seiring volatilitas di pasar keuangan yang mereda.
Berbagai kondisi ini menjadi pertimbangan Lembaga Penjamin Simpanan menurunkan tingkat bunga acuan simpanan rupiah di bank umum dan bank perkreditan rakyat, masing-masing 25 basis poin (bps).
Pemicu kebijakan LPS itu adalah pelonggaran kebijakan moneter Bank Indonesia yang menurunkan giro wajib minimum (GWM) 50 bps dan penurunan suku bunga acuan BI 25 bps. Pada 18 Juli 2019, BI menurunkan suku bunga acuan BI menjadi 5,75 persen.
“Ketika LPS menurunkan suku bunga penjaminan, dampaknya lebih ke alokasi apakah orang kemudian memegang uang atau memegang surat berharga. Hal ini yang akan kita lihat. Kalau misalnya dengan penurunan suku bunga penjaminan untuk simpanan masyarakat akan beralih ke pasar modal, itu bagus karena akan lebih produktif,” kata Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah, dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (31/7/2019).
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), rasio kredit terhadap dana pihak ketiga atau LDR perbankan turun dari 95,54 persen pada Mei 2019 menjadi 94,28 persen pada Juni 2019. Sementara, kredit tumbuh 9,92 persen secara tahunan per Juni 2019.
Rata-rata nilai tukar rupiah Rp 14.045 per dollar AS pada periode 28 Juni-25 Juli 2019 atau menguat 2,4 persen dari rata-rata nilai tukar pada 6 Mei-10 Juni 2019.
Kepala Eksekutif LPS yang juga Anggota Dewan Komisioner LPS Fauzi Ichsan menambahkan, LPS melihat, ekspektasi pasar atas penurunan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, belum terealisasi.
“Jadi kami melakukan penurunan bunga penjaminan LPS berdasarkan capaian dan realisasi, bukan ekspektasi,” kata Fauzi.
Selain itu, tambah Halim, fundamen dari tingkat bunga penjaminan valas adalah defisit transaksi berjalan. Dengan kondisi defisit, maka masih diperlukan dana masuk, sehingga tingkat bunga penjaminan valas tidak diturunkan.
Kebijakan BI menurunkan GWM dan suku bunga acuan BI, lanjut Halim, akan menambah likuiditas bagi bank. Hal ini mestinya memicu penyaluran kredit ke masyarakat. Namun, periode transmisi yang diperlukan bisa agak panjang.
Sektor riil
Halim berharap kebijakan pelonggaran di sektor moneter akan mendorong penyaluran kredit di sektor riil yang selama ini melambat, antara lain di tekstil dan properti. Jika bunga kredit untuk properti dapat turun, maka akan memacu sektor yang memiliki dampak berganda di banyak sektor.
Secara terpisah, Ketua Umum Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia Soelaeman Soemawinata berharap agar penurunan suku bunga acuan BI diikuti penurunan suku bunga kredit perbankan.
“Dulu ketika suku bunga acuan BI sampai 4,5 persen, bunga kredit tetap tinggi di 13 persen. Akan tetapi, ketika suku bunga acuan BI naik, bunga kredit tetap di 13 persen. Semoga ke depan bisa turun agar sektor properti tumbuh lebih baik,” ujar Soelaeman. (NAD)