Kenaikan tarif kargo pesawat udara menyebabkan pengiriman ikan segar dari Maluku, termasuk untuk ekspor, semakin melorot.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Kenaikan tarif kargo pesawat udara menyebabkan pengiriman ikan segar dari Maluku, termasuk untuk ekspor, semakin melorot. Seperti pada Februari 2018, frekuensi pengiriman sebanyak 544 kali dengan nilai Rp 16,5 miliar anjlok pada Februari 2019 menjadi 211 kali dengan nilai Rp 2,2 miliar. Penurunan hingga 87 persen ini membuat loyo usaha perikanan di Maluku yang mulai bergairah pasca-kebijakan penertiban sektor perikanan secara nasional.
Demikian informasi yang dihimpun Kompas dari Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Ambon pada Rabu (31/7/2019). Penurunan tersebut terus terjadi dalam beberapa bulan terakhir dan diperkirakan terus mencapai titik terandah selama tarif kargo belum diturunkan.
Bandara Internasional Pattimura belum menjadi pintu keluar ekspor ikan segar dari Maluku sehingga ikan dimaksud dikirim terlebih dahulu ke Jakarta, Surabaya, atau Makassar.
Tarif kargo pesawat udara dari Bandar Udara Internasional Pattimura Ambon ke Jakarta yang pada Oktober 2018 hanya Rp 11.000 untuk ikan segar telah melonjak hingga Rp 31.000 atau sekitar 181,8 persen. Bandara Pattimura belum menjadi pintu keluar ekspor ikan segar dari Maluku sehingga ikan dimaksud dikirim terlebih dahulu ke Jakarta, Surabaya, atau Makassar. Dengan begitu, biaya pengiriman semakin membengkak.
”Faktor penting dalam menunjang keberhasilan di bidang perikanan Maluku adalah tersedianya sarana transportasi yang lancar dan murah. Nyatanya, tarif kargo pesawat mahal sekali. Ini yang membuat frekuensi dan pengiriman ikan segar di Maluku terus menurun dalam beberapa bulan terakhir,” kata Kepala BKIPM Ambon Ashari Syarief.
Padahal, sejauh ini, pihaknya bersama pemerintah daerah terus berusaha mengenjot ekspor. Perizinan usaha pengolahan ikan dan beberapa persyaratan dalam pengiriman ikan dipermudah. Tempat penampungan ikan juga dibangun di sejumlah titik yang menjadi lumbung ikan. Pengusaha difasilitasi.
Upaya itu mendorong tren pengiriman ikan dari Maluku melalui Bandara Pattimura sejak 2016 hingga 2018 naik hingga 600 persen. Tahun 2016 yang hanya 15.000 ton meningkat menjadi 110.602 ton pada 2018.
Jumlah perusahaan yang terlibat pengiriman naik hampir 100 persen dalam periode yang sama menjadi 15 orang. Negara tujuan pengiriman di antaranya Amerika Serikat, China, dan Jepang.
Data dari Bank Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi Maluku juga memperlihatkan sektor perikanan berperan signifikan dalam pertumbuhan ekonomi di Maluku. Pada triwulan IV-2018, ekonomi Maluku tumbuh 6,41 persen, lebih tinggi dibandingkan ekonomi nasional yang tumbuh 5,1 persen.
Paket pertanian, kehutanan, dan perikanan mencatat pangsa pasar tertinggi, yaitu 23 persen. Sayangnya, gairah itu kemudian loyo setelah kenaikan tarif kargo.
Pengepul tidak mau lagi beli ikan di nelayan karena pengepul tidak mau kirim ikan. Kalau terpaksa membeli, pasti dengan harga sangat murah.
Ketua Program Studi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Pattimura Ambon Ruslan Tawari berpendapat, kenaikan tarif kargo pesawat secara otomatis akan memukul nelayan kecil. ”Pengepul tidak mau lagi beli ikan di nelayan karena pengepul tidak mau kirim ikan. Kalau terpaksa membeli, pasti dengan harga sangat murah,” ujarnya.
Persoalan tarif kargo hanyalah satu dari banyaknya masalah pegelolaan perikanan di Maluku dari hulu hingga ke hilir. Ruslan menyayangkan persoalan itu terjadi pada saat perikanan mulai bergairah pascamoratorium yang diberlakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ia berharap ada solusi untuk menyelamatkan kondisi tersebut agar pengiriman ikan dari Maluku tidak redup.
Samakan persepsi
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Romelus Far Far yang dihubungi secara terpisah mengatakan, Pemerintah Provinsi Maluku terus berkoordinasi dengan pemerintah pusat untuk menyamakan persepsi terkait pengelolaan perikanan di Maluku. Sejumlah kebijakan dianggap merugikan daerah, seperti dicabutnya kewenangan uji mutu ikan. Lewat kewenangan, daerah mendapat tambahan pendapatan.
Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, dari potensi perikanan nasional 9,9 juta ton per tahun, sebanyak 30,7 persen disumbang Maluku, yang tersebar di tiga wilayah pengelolaan perikanan (WPP), yaitu WPP 714, WPP 715, dan WPP 718. Selain memiliki tiga WPP, perairan di Maluku tergolong subur.
Secara rutin, perairan Maluku dilewati massa air dari Samudra Pasifik dan Samudra Hindia yang kaya unsur hara karena proses pembalikan air atau upwelling.