Walau menurunkan suku bunga, Bank Sentral AS memberikan isyarat bahwa kebijakan moneter mereka tidak tengah memasuki siklus pelonggaran jangka panjang. Hal ini memicu gejolak di pasar keuangan dan bursa saham global.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Walau menurunkan suku bunga, Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, memberikan isyarat bahwa kebijakan moneter mereka tidak tengah memasuki siklus pelonggaran jangka panjang. Isyarat ini berada di luar perkiraan pelaku pasar sehingga memicu gejolak di pasar keuangan dan bursa saham global.
Pada Rabu (31/7/2019) siang waktu setempat atau Kamis dini hari WIB, The Fed mengumumkan memangkas suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin menjadi kisaran 2-2,25 persen. Hal ini dilakukan untuk mendukung ekspansi perekonomian AS, memperkuat kondisi pasar ketenagakerjaan, dan mendorong pencapaian inflasi yang masih jauh di bawah target 2 persen.
Namun, Gubernur The Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell menyatakan tidak akan melakukan penurunan suku bunga secara agresif. Menurut dia, pemangkasan suku bunga ini bisa jadi merupakan penurunan terakhir atau kalaupun masih ada pemangkasan, tidak akan terjadi dalam waktu dekat.
Gubernur The Federal Reserve Jerome Powell menyatakan tidak akan melakukan penurunan suku bunga secara agresif.
Seiring dengan adanya pernyataan tersebut, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 8,96 poin atau 0,14 persen ke posisi 6.381,54 pada perdagangan Kamis. Sementara kelompok 45 saham unggulan atau indeks LQ45 bergerak naik 5,69 poin atau 0,56 persen menjadi 1.016,75.
Dibuka melemah, IHSG berfluktuasi baik di sesi pertama maupun kedua hingga akhirnya ditutup di zona merah. Total volume transaksi bursa mencapai 15,55 miliar saham dengan nilai transaksi Rp 9,82 triliun. Investor asing mencatat pembelian bersih Rp 43,5 miliar di seluruh pasar.
Kepala Riset Valbury Sekuritas Alfiansyah mengatakan, bursa global dan regional tertekan seiring dengan kekecewaan para investor terhadap The Fed yang mengisyaratkan menutup peluang pelonggaran moneter lebih lanjut.
”Perundingan konflik dagang antara AS dan China berakhir tanpa kesepakatan apa pun menjadi katalis negatif,” ujarnya.
Pelaku pasar global sebelumnya memperkirakan penurunan suku bunga acuan mencapai 100 basis poin Fed sepanjang tahun 2020, yang sentimennya membuat bursa saham global melonjak ke rekor tertinggi dalam beberapa hari terakhir.
Namun, pada perdagangan Kamis ini, bursa Asia selain Jepang kompak ditutup di zona merah. Indeks Hang Seng Hong Kong melemah 212,05 poin atau 0,76 persen ke level 28.565,7. Sementara indeks Straits Times Singapura melemah 8,84 poin (0,27 persen) ke posisi 3.291,91. Adapun indeks Shanghai Composite China melemah 23,74 poin (0,81 persen) ke level 2.908,77.
”Sentimen dari pasar saham AS yang anjlok tajam ini bisa berdampak bagi pasar Asia dan juga saham di Bursa Efek Indonesia dengan indeks acuan IHSG akan rawan terkoreksi,” ujar Alfiansyah.
Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi menilai, pernyataan The Fed untuk menahan laju pelonggaran moneter mendorong investor pasar keuangan menempatkan modal mereka dalam instrumen dollar AS.
Hal ini dilakukan untuk menghindari kemungkinan pemotongan suku bunga bank sentral lain yang lebih agresif. ”Situasi ini turut membuat nilai tukar rupiah dan mata uang regional Asia lainnya turut melemah terhadap dollar AS,” ucap Ibrahim.
Berdasarkan kurs nilai tukar Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), rupiah berada di posisi Rp 14.098 per dollar AS, lebih rendah dibandingkan dengan posisi kemarin, yakni Rp 14.026 per dollar AS. Sementara di pasar spot, rupiah diperdagangkan dalam rentang Rp 14.068-Rp 14.125 per dollar AS.
Sentimen eksternal lainnya, lanjut Ibrahim, pelaku pasar juga tengah mempertimbangkan iklim investasi di Inggris setelah Perdana Menteri Inggris Boris Johnson berencana mengeluarkan Inggris dari Uni Eropa tanpa ada perjanjian perdagangan.
”Selain meningkatnya risiko Brexit tanpa kesepakatan perdagangan, pelaku pasar juga akan fokus kepada kebijakan moneter yang dihasilkan dari pertemuan Bank Sentral Inggris,” ujarnya.