Kampus, Ladang Subur Pengedar dan Pengguna Narkoba
Kampus sebagai institusi pendidikan menjadi ladang subur bagi para calon sarjana untuk menyemai benih demi meraih masa depan yang lebih baik. Namun, di kampus pula, ladang subur tercipta bagi para pengedar dan pengguna narkoba.
Kampus sebagai institusi pendidikan menjadi ladang subur bagi para calon sarjana untuk menyemai benih demi meraih masa depan yang lebih baik. Namun, di kampus pula, ladang subur tercipta bagi para pengedar dan pengguna narkoba.
Ladang subur bukan istilah semata atau metafora kosong. Istilah ini nyata untuk mengambarkan mudahnya pengedaran narkoba di kampus. Oleh sebagian mahasiswa, kampus disebut sebagai Jalur Gaza atau kawasan jalur merah yang berarti kawasan bebas untuk peredaran dan penggunaan narkoba.
Mantan Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional Benny Mamoto mengungkapkan, ada banyak istilah yang muncul untuk mengambarkan kawasan rawan atau bebas peredaran dan pengguna narkoba khususnya di kampus.
“Ada jalur tikus, jalur tokek, dan Jalur Gaza. Ini merupakan jalur rahasia dengan menggunakan orang dalam seperti mahasiswa, mahasiswa drop out, hingga satpam. Mereka bisa bebas bertransaksi dan menggunakan narkoba di kawasan kampus atau kos,” ujarnya.
Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional, terdapat 117 kawasan rawan narkoba yang tersebar DKI Jakarta tahun 2019. Kawasan ini mulai dari permukiman padat penduduk sampai lingkungan kampus.
Kawasan itu antara lain Kelurahan Kemanggisan dan Kelurahan Kota Bambu Selatan, Kecamatan Palmerah di Jakarta Barat. Kelurahan Kebon Sirih dan Kelurahan Kalipasir, Kecamatan Menteng di Jakarta Pusat.
Kelurahan Manggarai dan Kelurahan Manggarai Selatan, Kecamatan Tebet di Jakarta Selatan. Kelurahan Kalisari, Kecamatan Pasar Rebo dan Kelurahan Pondok Kelapa, Kecamatan Duren Sawit di Jakarta Timur serta Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan dan Kecamatan Kelapa Gading di Jakarta Utara.
Sore itu, Rabu (30/7/2019) di salah satu sudut kampus swasta di Jakarta Selatan, transaksi jual-beli narkoba jenis tembakau gorila begitu bebas. Dengan berpura-pura sebagai kerabat dekat salah seorang alumni kampus tersebut, Kompas ikut duduk melingkar di selasar bersama delapan mahasiswa itu.
Sekilas tidak ada yang aneh dari tongkrongan tersebut, hingga salah satu mahasiswa berseru, “Bakar dong.”
Laiknya sebuah kode, salah seorang mahasiswa lantas mengeluarkan sebungkus plastik klip berukuran kecil. Tongkrongan mendadak riuh. Salah satu dari mereka sibuk mengeluarkan tembakau dari dalam plastik, menaruhnya di atas papir (kertas khusus rokok linting), lalu melintingnya menjadi seperti rokok. Satu linting siap dihisap bersama.
Tidak berselang lama, dua orang mahasiswa menghampiri tongkrongan tersebut. Mereka mengeluarkan uang Rp 100.000, memberikannya ke salah seorang yang terindikasi sebagai pengedar. Pembeli itu lantas mendapatkan dua plastik klip kecil berisi tembakau gorila.
Transaksi antara pembeli dan pengedar yang berstatus mahasiswa itu dilakukan secara terang-terangan. Mahasiswa lain yang melintas di jalan depan selasar tidak dipedulikan. Jual-beli narkoba itu bahkan berlangsung cepat dan singkat.
“Santai, di kampus mah aman, bang,” ujar Bono (nama samaran) salah seorang mahasiswa yang juga pengguna aktif tembakau gorila. Menurutnya, transaksi biasa terjadi saat sore hari ketika jam kelas berakhir. Waktu yang tepat untuk high atau nge-fly (istilah yang digunakan mahasiswa saat menghisap ganja dan tembakau gorila) setelah selesai kuliah atau jika tidak ada kegiatan seperti libur semester seperti ini.
Peredaran tembakau gorila marak sejak 2016. Akhir tahun lalu, Kepala Bidang Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) DKI Jakarta, Khrisna Anggara, menyebutkan, peredaran tembakau gorila atau ganja sintetis melesat di kalangan pelajar lantaran sering menggunakan nama samaran dalam penjualannya.
“Berdasarkan pengakuan siswa SMP yang mengonsumsi tembakau gorila, mereka mengetahui itu sebagai rokok herbal atau tembakau Jawa,” kata Khrisna (Kompas, 21/12/2018). Sementara di lingkup kampus, tembakau gorila biasa juga disebut sinte.
Menurut Bono, peredaran tembakau gorila di kampusnya merebak karena pasokan ganja naik-turun. “Ijo (sebutan untuk ganja) lagi susah bang, jadi yang ada aja lah disikat meski harganya agak mahal dan efek nge-fly lebih kuat,” tuturnya.
Jack (bukan nama sebenarnya) mengatakan, mudahnya mendapatkan narkoba di kampus membuat dirinya dan temannya semakin senang menongkrong di kampus meskipun tidak ada kegiatan perkuliahan.
“Saya mulai ngisep sekitar dua tahun yang lalu ketika mulai bergabung bersama organisasi dan sering berkumpul bersama senior lainnya. Kami biasa patungan atau jika ada uang, saya beli sendiri dan ngisep bareng teman-teman. Seringnya ngisep ganja seh, karena lebih ringan dan enak,” kata mahasiswa angkatan 2017 yang memiliki Indeks Prestasi Kumulatif rata-rata 3 itu.
Jutaan Rupiah
Kompas juga berbincang dengan salah seorang alumni yang pernah menjadi bandar ganja di kampus. Sebut saja Hasan (26). Dia menuturkan, dulu, saat masih aktif mengedarkan ganja, dalam sehari dia mampu meraup untung jutaan rupiah.
“Ya, biasa bawa ke kampus 10-20 empel (sebutan untuk paket kecil ganja) seharga Rp 100.000. Itu sudah pasti habis terjual, jadi, ya bisa dihitung penghasilannya sehari berapa,” ujar mahasiswa angkatan 2011 ini. Dia juga mengaku menjual ganja sekadar memenuhi gaya hidup dan memperluas pergaulan.
Hasan mendapatkan pasokan ganja dari bandar yang lebih besar dengan sistem membayar setoran. Ganja yang diturunkan dari bandar terlebih dahulu ia jual, lalu sebagian penghasilannya dikirim ke bandar.
“Misal saya mendapat stok dari bandar 500 gram untuk dijual. 500 gram itu kemudian saya pecah menjadi per empel dan jual ke kampus. Hasil penjualan bisa sampai Rp 1,5-2 juta. 60-70 persen dari hasil penjualan masuk ke bandar, selebihnya untuk saya,” tutur Hasan.
Kendati melanggar hukum, Hasan mengaku tidak takut tertangkap polisi. Asalkan, transaksi jual-beli dilakukan di dalam lingkungan kampus. “Selama jualannya di kampus, saya yakin tidak akan tertangkap. Kebanyakan mereka yang tertangkap itu transaksinya di luar (kampus),” katanya.
Selain itu, para pengedar ini juga menjalin relasi dengan pihak keamanan kampus. Tak jarang mereka memberikan uang tutup mulut sebagai imbalan.
Di sisi lain, solidaritas antara pemakai dan pengedar juga terjalin kuat. Hal itu kentara saat Kompas, yang datang sebagai orang asing di kampus itu, sempat diberondong pertanyaan seputar asal, siapa mengajak, serta maksud dan tujuan datang. Hal itu dilakukan dengan dalih menjaga keamanan.
Kejadian serupa juga ketika Kompas masuk ke salah satu perguruan tinggi di Jakarta Timur. Sesaat setelah memarkir motor, dan berjalan menuju halaman kampus, seorang mahasiswa langsung menghampiri dan bertanya curiga. Tak lama berselang beberapa mahasiswa lainnya juga mendekati dan mulai menginterogasi lalu dengan kasar mengusir.
“Kami biasa melakukan itu untuk memastikan yang masuk ke kampus itu bukan intel atau polisi. Itu sudah menjadi kewajiban, semacam aturan tidak tertulis. Kami harus pastikan juga yang melakukan transaksi adalah orang yang dikenal atau orang yang dekat dengan kerabat pengguna,” ujar Hasan.
Berdasarkan penangkapan mahasiswa di kampus di Jakarta Timur, Kepala Unit III Satresnarkoba Polres Metro Jakarta Barat Ajun Komisaris Achmad Ardhy menyebutkan, orang luar pun dapat membeli ganja dari pengedar di kampus. Namun, transaksi hanya berlangsung di dalam lingkungan kampus.
"Orang luar bisa masuk ke dalam untuk beli. Mereka tidak mau transaksi di luar kampus," ucap Ardhy.
Polisi menyelidiki jaringan ini selama dua bulan. Ardhy menuturkan, polisi menyamar sebagai pembeli dan bertransaksi langsung di kampus swasta di Jakarta Timur tersebut. Saat itulah polisi menangkap PHS dan TW.
"Awalnya dipancing keluar, tetapi mereka tidak mau karena merasa di kampus lebih aman. Saat transaksi di dalam kampus, mereka bawa ganja dan ditunjukan terang-terangan," katanya.
Saking terang-terangan, salah satu tersangka menyebut bahwa transaksi di lingkungan kampus terjadi di kedai kopi dan taman kampus. Bahkan taman kampus pun menjadi area untuk nemakai ganja setelah selesai kelas.
Lahan “basah”
Berdasarkan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Ganja masuk ke dalam golongan I bersama sabu-sabu, kokain, opium, heroin, dan lain-lain. Golongan ini diindikasikan memiliki potensi tinggi menimbulkan ketergantungan.
Kendati begitu, banyak pihak terutama mahasiswa beranggapan bahwa ganja tidak memiliki sifat ketergantungan. Oleh karena itu, ganja disukai oleh banyak pengguna dari berbagai kalangan.
“Siapa yang enggak doyan? Sudah enak, murah, banyak yang suka pula,” kata Hasan. Menurutnya, wajar saja jika pengedar ganja mendulang keuntungan dalam bisnis tersebut. Hasan menyebutnya sebagai bisnis yang “easy money”.
Ujaran Hasan sejalan dengan pernyataan Deputi Pemberantasan BNN Inspektur Jenderal Arman Depari. Arman mengatakan, peredaran ganja di kampus tinggi karena pangsa pasar yang jelas dan memiliki banyak pengguna.
“Kampus menjadi daerah rawan. Pemberitaan terkait narkoba yang legal di beberapa negara turut menjadi acuan mereka (pelajar). Mereka berpikir ganja itu tidak berbahaya,” ujar Arman.