JAKARTA, KOMPAS—Tafsir agama masih sangat antroposentris atau hanya memandang dari persepsi keuntungan bagi manusia. Pengembangan tafsir nilai-nilai agama yang peduli kepada pelestarian lingkungan semakin niscaya diperlukan, terlebih dengan bertambahnya intensitas krisis lingkungan hidup.
"Sering kali agama ditafsirkan seolah tidak memiliki kaitan antara perilaku religius formal dengan aturan hukum di masyarakat. Misalnya orang yang berpenampilan religius ternyata tetap melanggar aturan lalu lintas dan membuang sampah sembarangan," kata Kepala Program Studi Pascasarjana Kajian Islam Universitas Paramadina Pipip AR Hasan dalam acara Kajian Etika dan Peradaban ke-11 Paramadina di Jakarta, Rabu (31/7/2019). Topiknya adalah "Agama dan Masalah Lingkungan".
Ia menjelaskan mengenai perintah dalam agama Islam agar manusia menjadi khalifah di Bumi. Konsep ini diterjemahkan dengan persepsi manusia mengelola lingkungan atas nama Tuhan sehingga bebas melakukan eksploitasi demi kepentingan manusia.
"Perlu dipahami dalam konsep menjadi khalifah adalah kewajiban menjalankan amanah atau tanggung jawab. Hal ini berhubungan dengan konsep bahwa Bumi adalah titipan Tuhan dan manusia wajib bertanggung jawab atas kelangsungannya," ungkap Pipip.
Perlu dipahami dalam konsep menjadi khalifah adalah kewajiban menjalankan amanah atau tanggung jawab.
Menurut dia, tafsir yang condong kepada eksploitasi sumber daya alam itu tidak lepas dari konsep pembangunan yang diusung negara semenjak zaman dulu. Pembangunan dilandaskan pada pertumbuhan ekonomi dengan acuan pencapaian materialistis. Akibatnya, aspek lain seperti lingkungan hingga kompetensi sumber daya manusia luput dari tujuan pembangunan.
Pipip menjelaskan, ada ayat yang mengimbau agar manusia makan dan minum secukupnya yang bisa diturunkan jadi perilaku tidak konsumtif. Moderasi dalam memanfaatkan alam, yaitu diimbangi dengan upaya pelestarian.
"Pekerjaan rumah kita adalah menyosialisasikannya karena belum semua tokoh agama memiliki visi ramah lingkungan," ujarnya.
Praktiknya adalah memastikan sistem masyarakat yang adil dan terpercaya, dengan demikian masyarakat berpikir mereka pasti mendapat hak masing-masing dan tidak perlu menerabas aturan demi tujuan pribadi.
Respons agama
Sementara Dosen Filsafat Ekologi Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Romo Andang Binawan menjelaskan empat jenis respon agama terkait masalah lingkungan. Pertama adalah karitatif, yaitu respon cepat seperti memberi bantuan dan derma untuk turut memerbaiki kerusakan lingkungan. Respon ini adalah yang termudah dilakukan.
Respons kedua adalah melakukan advokasi melalui ceramah pro lingkungan dan motivasi lainnya. Ketiga, mengambil sifat politis, yaitu agama menyuarakan kritik ketika terjadi perusakan lingkungan. Respon keempat lebih kompleks, yaitu perilaku sehari-hari.
"Perilaku harian yang tidak merugikan diri sendiri, orang lain, dan alam adalah fungsi dasar agama. Namun, sering tertutup dengan praktik keagamaan yang terlalu fokus kepada formalitas ritual," ucapnya.
Ia juga memaparkan konsep iman dan agama. Iman merupakan hubungan antara manusia dan Sang Khalik. Tujuannya adalah memastikan kedekatan dengan cara merawat semua ciptaan-Nya. Adapun agama adalah sistem sosial yang mendukung manusia dalam menjaga iman tersebut. Artinya, di dalam agama ada keniscayaan untuk mencintai lingkungan.
Meski demikian, pelaksanaannya perlu pembiasaan. Di sini agama dan hukum formal bekerja sama, misalnya membuat aturan untuk mengurangi pemakaian plastik, pemilahan sampah, pengelolaan limbah, hingga ke mengurangi pemakaian kendaraan pribadi.
"Apalagi sekarang pemerintah berniat memindahlan ibu kota ke Kalimantan. Ini kesempatan baik untuk membangun masyarakat dan infrastruktur ramah lingkungan dan dididik melalui pendidikan formal dan agama," kata Romo Andang.
Pegiat Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Parid Ridwanuddin mengatakan, diskusi terkait relasi agama dengan menjaga lingkungan masih jarang di Indonesia. Padahal, di dunia internasional sudah dilakukan sejak tahun 1980-an. Bahkan, pada 2010 di Yordania ada konferensi ulama dunia yang membahas melestarikan lingkungan sebagai bentuk pengamalan agama.
Dari segi hukum Indonesia sudah memiliki banyak aturan yang tidak diterapkan di lapangan. Pendekatan yang harus dilakukan adalah bersifat karakter yang menyasar cara pandang manusia terhadap kehidupan.