Libatkan Ormas Keagamaan dalam Mencegah Perkawinan Anak
›
Libatkan Ormas Keagamaan dalam...
Iklan
Libatkan Ormas Keagamaan dalam Mencegah Perkawinan Anak
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Organisasi kemasyarakatan berbasis agama Islam berperan penting untuk mencegah perkawinan anak. Selain menjadi filter, ormas keagamanan bisa jadi agen dalam menyuarakan berbagai pesan pada masyarakat dengan bahasa agama, terutama di komunitas mereka.
Peran ormas itu dibutuhkan lantaran saat ini di Indonesia kawin anak masih jadi problem serius. Menurut data Susenas tahun 2016, satu dari sembilan anak menikah di usia bawah 18 tahun.
“Artinya, dalam satu hari ada 375 anak menikah. Fakta ini menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara ”darurat kawin anak” yang jika terus dibiarkan akan mengancam masa depan anak Indonesia. Sebagai negara mayoritas berpenduduk muslim, kawin anak kerap didasari alasan keagamaan,” ujar Lies Marcoes, Direktur Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB), di Jakarta, Rabu )31/7/2019), pada Diskusi “Menindaklanjuti Hasil Penelitian dan Advokasi Rumah Kitab: Tanggung Jawab Ormas Keagamaan, Perwakilan Tokoh Formal Non Formal Dalam Upaya Pencegahan Perkawinan Anak”.
Menurut Lies, selama ini banyak program pembangunan, seperti Keluarga Berencana, pendidikan anak, pemberian vitamin A, mencapai keberhasilannya berkat peran serta ormas Islam, termasuk ormas Islam sayap perempuan yang bekerja di akar rumput melalui kelompok pengajian mereka.
Temuan Rumah KitaB
Pada diskusi itu, Achmat Hilmi dari Rumah KitaB memaparkan studi kasus tantangan pencegahan perkawinan anak dari pengalaman Rumah Kitab di lapangan antara lain soal dualisme hukum, persoalan kehamilan tidak dikehendaki, perjodohan paksa dan kemiskinan akut.
Ada sejumlah temuan Rumah KitaB yang membutuhkan ”fatwa keagamaan” antara lain dari 53 orang yang menikah di usia anak, 36 orang di antaranya karena hamil di luar nikah, empat di antaranya tewas karena aborsi tidak aman, sebagian besar menikah karena dikondisikan atau dijodohkan (perkawinan paksa), serta dua di antaranya mengalami disabilitas permanen. Semuanya tidak pernah mendapat pendidikan kesehatan reproduksi.
Rumah KitaB menemukan ada dualisme hukum, yakni hukum negara versus hukum agama. Misalnya ada upaya pencegahan pejabat pemerintah namun kontradiksi, yakni ditolak di Kantor Urusan Agama (KUA) tetapi diloloskan di pengadilan agama (dispensasi), lalu di tolak di pengadilan agama namun diloloskan kawin siri.
Karena itu, dalam diskusi bekerja sama dengan Bappenas dan Pemerintah Australia (DFAT) yang dikelola Australia Indonesia Parthnership for Justice 2 (AIPJ2), dan dihadiri sekitar 50 ormas Islam dan ormas perempuan, dibahas peran ormas keagamaan mengatasi problem kawin anak, serta langkah yang bisa dilakukan agar praktik kawin siri pemicu kawin anak bisa dieliminasi.
Selain Lies dan Ulil Abshar Abdalla dari Rumah Kitab, diskusi menghadirkan sejumlah pembicara antara lain, Amran Suadi (Ketua Kamar Agama Mahkamah Agung), M Adib Machrus (Kasubdit Keluarga Sakinah, Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam, Kementerian Agama), KH. Ahmad Ishomuddin (Rais Syuriah PBNU), Atiyatul Ulfa (PP Muhammadiyah), dan KH. Hasanuddin AF (Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia).
Amran Suadi menambahkan, masalah pada MA, pengadilan umum maupun pengadilan agama adalah kewenangan memberikan dispensasi nikah yang erat hubungannya dalam memberi perlindungan anak. Karena itu MA mengeluarkan kebijakan, menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan perempuan adan anak, mempersempit ruang gerak pengajuan perkawinan anak, serta memeriksa perkara dispensasi nikah lebih cermat dan hati-hati berkomitmen dalam merespons akibat negatif perkawinan dini.
Saat ini MA membentuk Kelompok Kerja (pokja) tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, dan rancangan Peraturan MA (Perma) rumusannya telah disepakati pada 16 Juli 2019 lalu. Pada 8 Agustus mendatang akan digelar diskusi publik, sebelum draf tersebut dibawa ke rapat pimpinan MA untuk mengeluarkan Perma. Apabila disetujui oleh Rapim MA, akan diajukan ke Kementeriam Hukum dan HAM dan diteruskan ke Sekretariat Negara untuk di terbitkan berita negaranya.
“Hendaknya hakim yang memeriksa perkara dispensasi nikah ini dilatih. Karena praktiknya anaknya enggak diperiksa, yang diperiksa orangtuanya,” katanya.
Hendaknya hakim yang memeriksa perkara dispensasi nikah ini dilatih. Karena praktiknya anaknya enggak diperiksa, yang diperiksa orangtuanya.
Adib Machrus mengungkapkan, jika ada permohonan kawin dan yang bersangkutan belum mencapai batas umur disyaratkan, pasti akan ditolak KUA. Selama ini jika ada pernikahan anak, masyarakat sering tidak melihat proses sebelumnya. Padahal permohohan perkawinan di KUA ditolak atau dicegah, mereka mengajukan dispensasi ke pengadilan agama (atas pertimbangan hakim permohonan dispensasi perkawinan dikabulkan), sehingga KUA tidak bisa mencegah karena persyaratannya terpenuhi.
Saat ini, dalam upaya pencegahan perkawinan anak, Kementerian Agama juga mendukung revisi Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan, pengetatan ijin/dispensasi kawin, penegakkan sanksi pelanggaran, serta Wajib Belajar 12 Tahun.