PBNU: Jokowi Sudah Bertemu Prabowo, Jangan Ada Friksi Lagi
›
PBNU: Jokowi Sudah Bertemu...
Iklan
PBNU: Jokowi Sudah Bertemu Prabowo, Jangan Ada Friksi Lagi
PBNU mengharapkan keterlibatan tokoh masyarakat dalam menghadapi potensi friksi yang mengancam keutuhan bangsa. Ini karena friksi di masyarakat disebabkan perbedaan pendapat sehingga peran tokoh penting untuk menengahi ihwal perbedaan itu.
Oleh
Aditya Diveranta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengurus Besar Nahdlatul Ulama mengharapkan keterlibatan tokoh masyarakat dalam menghadapi potensi friksi yang mengancam keutuhan bangsa. Itu karena friksi yang terjadi pada masyarakat disebabkan adanya perbedaan pendapat sehingga peran tokoh menjadi penting untuk menengahi ihwal perbedaan tersebut.
Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj menilai, seusai momen pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, semestinya sudah tidak ada lagi perseteruan di kalangan masyarakat. Apalagi, Prabowo sebagai calon presiden nomor urut 02 dalam Pemilu 2019 itu telah menyatakan legawa terhadap keputusan Komisi Pemilihan Umum.
”Langkah yang kemarin (rekonsiliasi) itu sudah tepat. Saat ini suasana sudah jauh lebih dingin. Namun, tidak dimungkiri, ada kalangan masyarakat yang tidak menerima hal tersebut. Padahal sudah rekonsiliasi, terus mau apa lagi? wong, pemimpinnya sudah ketemu,” ujar Said seusai acara istigasah di Kantor PBNU, Jakarta, Rabu (31/7/2019) malam.
Said menyatakan, peran tokoh masyarakat di sini dibutuhkan untuk meredakan suasana tersebut. Sebab, masyarakat Indonesia selama ini selalu berpanutan pada tokoh penting yang mereka kagumi.
Tidak dimungkiri, ada kalangan masyarakat yang tidak menerima hal tersebut. Padahal sudah rekonsiliasi, terus mau apa lagi?
”Tokoh-tokoh ini harus kembali menanamkan nilai moral demokrasi dan toleransi kepada masyarakat di akar rumput. Perlu ditanamkan toleransi, saling menghormati, baik yang berbeda suku maupun berbeda agama,” tutur Said.
Indikasi friksi di masyarakat sebelumnya terlihat dari Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2018 yang dirilis Badan Pusat Statistik, Senin (29/7/2019). Ada kenaikan indeks, yakni dari 72,11 pada 2017 menjadi 72,39 pada 2018. Namun, terjadi penurunan pada aspek kebebasan sipil dan hak-hak politik individu, yang menjadi dua aspek penentu dalam IDI tersebut.
Penurunan skor pada aspek kebebasan sipil terjadi karena timbulnya ancaman atau penggunaan kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan berkumpul, berserikat, dan berpendapat. Kondisi ini ditengarai sebagai ekses dari kontestasi politik pada Pemilu 2019 yang, antara lain, ditandai munculnya berita bohong (Kompas, 30/7/2019)
Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini mengatakan, banyak berita bohong yang tersebar di dunia maya, terutama di media sosial. Keberadaan berita bohong itu sering kali memudarkan narasi demokrasi dan hidup saling toleran di kalangan masyarakat.
”Masyarakat sering kali tidak sadar sedang berinvestasi terhadap adanya friksi di kalangan mereka dengan membagi berita hoaks, pernyataan kebencian, dan lain-lain. Tanpa sadar, sebagian masyarakat terpapar oleh adanya paham-paham lain yang bertentangan dengan demokrasi,” ujar Helmy.
Menurut dia, perlu ada kontra-narasi yang melawan berita bohong tersebut. Tujuannya sebagai perimbangan agar demokrasi yang sudah berlangsung baik nantinya tetap berjalan sesuai tujuan bangsa.
”Hal ini yang juga kami lakukan melalui akun media sosial milik PBNU. Narasi yang kami sampaikan kepada masyarakat adalah demokrasi Pancasila serta hal terkait literasi media, bagaimana menggunakan media sosial dan menyaring kabar bohong,” katanya.