Pembentukan perusahaan induk badan usaha milik negara di sektor minyak dan gas, terutama antara PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk dan PT Pertamina Gas, dinilai belum berdampak pada pelaku industri.
Oleh
Ferry Santoso
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembentukan perusahaan induk badan usaha milik negara di sektor minyak dan gas, terutama antara PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk dan PT Pertamina Gas, dinilai belum berdampak terhadap pelaku industri. Pembentukan perusahaan induk belum berpengaruh terhadap efisiensi investasi jaringan dan distribusi gas sehingga dapat menekan harga jual gas ke industri.
Hal itu disampaikan Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Achmad Safiun di sela-sela acara Gas Indonesia Summit and Exhibition di Jakarta, Rabu (31/7/2019). Hadir dalam acara itu antara lain Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan serta Menteri Negara Kementerian Daya, Energi, dan Sumber Daya Mineral Bangladesh Nasrul Hamid.
Harga gas yang dibeli oleh pelaku industri masih relatif tinggi. Di Jawa Barat, sekitar 9,2 dollar AS per MMBTU (juta metrik british thermal unit), sementara di Sumatera Utara 9,9 dollar AS per MMBTU. Padahal, harga keekonomian di industri pengguna sekitar 6 dollar AS per MMBTU.
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi juga dianggap belum terlaksana sepenuhnya. Pada Pasal 2 Perpres No 40/2016 diatur bahwa dalam hal harga gas bumi tidak dapat memenuhi keekonomian industri pengguna dan lebih tinggi dari 6 dollar AS per MMBTU, menteri menetapkan harga gas bumi tertentu.
Dengan harga gas yang masih tinggi, pelaku industri sulit meningkatkan daya saing untuk merebut pasar ekspor. Padahal, peluang pasar ekspor sangat terbuka dengan adanya perang dagang antara Amerika Serikat dan China. ”Industri yang ada tidak bisa memanfaatkan peluang yang diberikan dari pertarungan perang dagang,” kata Safiun.
Forum Industri Pengguna Gas Bumi terdiri atas berbagai asosiasi pelaku usaha industri pengguna gas, seperti Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia, Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia, Asosiasi Industri Pengecoran Logam Indonesia, dan The Indonesian Olefin, Aromatic, and Plastic Association.
Sebelumnya, dalam keterangan pers, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi menyatakan, Kementerian ESDM terus berupaya menciptakan harga gas yang kompetitif. Selain menjaga keekonomian harga di hulu, perbaikan tata niaga di hilir juga jadi fokus.
Pemerintah juga mengatur mekanisme alokasi gas kepada pengelola infrastruktur hingga perpendekan rantai niaga. Penertiban diatur melalui Peraturan Menteri ESDM No 6/2016 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan serta Harga Gas Bumi. Harapannya, rantai niaga menjadi lebih efisien.
Daya saing
Seusai acara itu, Menteri ESDM Ignasius Jonan menekankan agar Pertamina sebagai perusahaan produsen migas mampu bersaing dengan produsen migas lain, terutama perusahaan asing, dalam meningkatkan produksi migas.
Menurut Jonan, dalam 10 proyek migas, biasanya produksi berjalan sesuai rencana, misalnya proyek migas di lapangan Banyu Urip oleh Exxon Mobil. ”Saran saya ke Pertamina, proses pembuatan keputusan untuk produksi harus jauh lebih cepat,” katanya.
Jika proses membuat keputusan terkait produksi terlalu lama, menurut Jonan, makin lama produksi makin tidak memenuhi target. ”Masa orang Indonesia mengerjakan (di dalam negeri) lebih lama,” katanya.
Nasrul Hamid mengungkapkan, pihaknya tertarik datang ke Indonesia untuk menjalin kerja sama dalam pengembangan sektor migas, termasuk batubara. Bangladesh membutuhkan pasokan batubara dari Indonesia. Semakin murah harga batubara yang dijual, semakin banyak batubara yang dapat diserap Bangladesh. (*)