Syarifudin Melawan Perdagangan Orang di Indramayu
Dengan menggandeng broker, Syarifudin (56) membangun pijakan melawan perdagangan perempuan dan anak di desanya di Kecamatan Bongas, Indramayu, Jawa Barat. Itu baru langkah awal karena saat ia mulai melawan pada tahun 2000, warga di desanya telah akrab dengan praktik perdagangan anak dan perempuan sebagai penghibur di tempat prostitusi.
”Di sini sudah telanjur (marak perdagangan orang). Tanpa channel (saluran perekrut), mereka sendiri bisa ke sana (tempat hiburan). Bisa juga ke Jakarta dengan direkrut teman-temannya sendiri, tanpa melalui perantara,” kata Ketua Harian Yayasan Kusuma Bongas ini, saat ditemui di Indramayu, pertengahan Juli kemarin.
Kala itu, Syarifudin masih aktif sebagai guru honorer di Madrasah Aliyah Darul Falah di Bongas. Meskipun merasa prihatin terhadap eksploitasi perempuan dan anak di desanya, dia belum mampu berbuat banyak untuk melawannya. Apalagi teman dan tetangganya pun terlibat aktif sebagai perekrut calon penghibur di desanya yang dikenal dengan sebutan broker.
”Saya melihat tetangga sendiri yang merekrut, tetapi saya tidak bisa berbuat apa-apa. Jadi yang memberangkatkan (perempuan dan anak di desanya ke tempat prostitusi) itu semua saya kenal. Tetapi, kalau saya ngomong sendiri kan enggak mempan. Mencegah sendiri kan bahaya juga,” katanya.
Syarifudin mengungkapkan, sesungguhnya warga di desanya tak ingin bekerja sebagai penghibur. Namun, sejak 1995, baik perekrut maupun mucikari sudah masuk ke desanya. Lama-kelamaan jaringan mereka semakin kuat di desa sehingga semakin banyak anak dan perempuan di desanya yang tersedot ke bisnis prostitusi.
Sementara lapangan pekerjaan di Indramayu lebih sedikit dibandingkan kabupaten di sekitarnya. Contoh Kabupaten Karawang yang sudah lama menjadi pusat industri, dan Kabupaten Cirebon yang berkembang menjadi pusat dagang dan pariwisata. Bahkan, Kabupaten Subang yang dikenal dengan pariwisata alamnya di bagian selatan kini didukung dengan pembangunan Pelabuhan Patimban yang diproyeksi dapat menjadi pusat kegiatan ekonomi di pesisir utara Jawa Barat.
Sebaliknya, Indramayu yang dikenal sebagai produsen buah mangga belum dapat menarik wisatawan ke kabupaten itu. Sektor pertanian pun mulai ditinggalkan generasi muda di kabupaten itu sehingga kebutuhan lapangan pekerjaan di sektor publik dan domestik pun meningkat.
Saya melihat tetangga sendiri yang merekrut, tetapi saya tidak bisa berbuat apa-apa. Jadi yang memberangkatkan (perempuan dan anak di desanya ke tempat prostitusi) itu semua saya kenal. Tetapi, kalau saya ngomong sendiri kan enggak mempan. Mencegah sendiri kan bahaya juga.
Praktik eksploitasi pada perempuan dan anak ini, menurut Syarifudin, semakin mengakar di desanya karena sebagian warga yang awalnya menjadi korban eksploitasi sebagai penghibur, kemudian ikut mendorong anak-anaknya bekerja di tempat prostitusi. ”Mengapa sulit memutus mata rantai jaringan (perdagangan orang) di Indramayu? Karena sudah terbentuk itu tadi, sudah mengakar. Sudah dimaklumi juga. Karena sudah mengakar dan membudaya, jadi ya dimaklumi,” katanya.
Belum lagi, lanjutnya, persepsi orang luar yang menganggap Indramayu tempatnya perempuan penghibur. ”Jadi mau bagaimana? Karena sudah terkena label seperti itu, jadi ada pengaruh juga,” ujarnya.
Di tengah keprihatinan itu, Syarifudin masih harus dihadapkan dengan organisasi-organisasi sosial masyarakat yang datang untuk mengambil data dan lakukan penelitian terkait eksploitasi anak dan perempuan di desanya, tetapi mereka tak pernah memberikan solusi.
Kegundahannya baru memperoleh penawar saat Yayasan Kusuma Buana datang ke desanya sebelum tahun 2000. Yayasan yang aktif memberikan pendampingan terkait kesehatan reproduksi dan pencegahan infeksi menular seksual, termasuk pencegahan HIV-AIDS, itu mengajak Syarifudin mengendalikan perdagangan perempuan dan anak untuk eksploitasi seksual di desanya.
Selain sebagai guru, kebetulan saat itu Syarifudin juga aktif di Lembaga Pemberdayaan Masyarakat di desanya. Ia juga salah satu tokoh di desanya sehingga memiliki pengaruh terhadap warga di desanya.
Tujuan Yayasan Kusuma Buana mengajak dirinya kala itu adalah untuk mengendalikan perdagangan perempuan dan anak di tempat prostitusi, khususnya di kawasan Mangga Besar, Jakarta. Pihak Yayasan, menurut Syarifudin, meyakini perdagangan orang akan sulit dikendalikan jika dilakukan di tempat prostitusi berlangsung. Sebaliknya pengendalian itu harus dilakukan di daerah pengirim. ”Makanya mereka datang ke Indramayu,” katanya.
Hanya dia akui, saat yayasan itu mengutarakan keinginannya, ia tetap skeptis. ”Karena pengalaman waktu itu sudah banyak yang datang ke Bongas tetapi cuma cari data, terus pulang. Datang lagi cari data, terus pulang, dan tidak ada tindak lanjutnya. Yang seperti itu saya bilang, enggak perlu. Yang perlu itu bagaimana pencegahannya dan riilnya seperti apa,” katanya.
Namun, keraguan Syarifudin dijawab dengan kesungguhan Yayasan Kusuma Buana dengan merekrut beberapa warga untuk memberikan sosialisasi terkait kesehatan reproduksi terhadap remaja di desanya. ”Ujung-ujungnya itu kan sosialisasi trafficking (perdagangan orang). Jadi dibentuklah kelompok Kusuma Bongas. Kalau di Jakarta itu Kusuma Buana, kalau di sini Kusuma Bongas,” jelasnya.
Sejak itu Syarifudin mengajak beberapa broker sebagai mitra kerjanya untuk memberikan sosialisasi kesehatan reproduksi kepada warga di desanya. Mereka adalah Sukim dan Nono Taryono. Keduanya kini bergerak aktif sebagai pendamping bagi warga setempat dalam memerangi perdagangan anak dan perempuan. ”Jadi kami bertiga. Saya bersama Pak Sukim dan Pak Nono bekerja bersama,” ucapnya.
Setelah membentuk kelompok kerja Kusuma Bongas, Syarifudin bersama Sukim dan Nono membuat analisis penyebab perdagangan orang terjadi di desanya. Dari analisis itu diperoleh jawaban bahwa salah satu penyebabnya karena minimnya lembaga pendidikan. Sejak 1995 hingga 2000, Kecamatan Bongas yang terdiri atas 8 desa itu hanya memiliki satu SMP, meskipun di kecamatan itu tersedia 28 sekolah dasar.
”Dari data yang kami himpun, anak SD yang lulus itu banyak yang tidak lanjut (ke SMP),” katanya.
Banyaknya anak yang tak melanjutkan ke SMP itu tak lain karena terbatasnya ketersediaan SMP. ”Kalau satu SD ada 40 siswa yang lulus, sementara saat itu ada 28 orang sehingga ada lebih dari 500 anak yang harus melanjutkan ke SMP. Padahal, SMP cuma satu. Ini kan enggak rasional. Makanya, pantas banyak anak yang tidak lanjut sekolah,” katanya.
Anak-anak yang tak melanjutkan pendidikan ke SMP itu kemudian tumbuh dewasa tanpa pendidikan, dan banyak menganggur di desa. Mereka yang kemudian dijadikan sasaran obyek untuk perdagangan orang, yakni dijadikan penghibur.
”Jadi, waktu itu kami mendorong pemerintah (Pemerintah Kabupaten Indramayu) agar mendirikan SMP. Baru kemudian muncul SMP Negeri 2, dan SMP-SMP swasta,” katanya.
Kusuma Bongas yang saat itu belum berbadan hukum sebagai yayasan juga ikut mendirikan SMP Terbuka Kusuma Bongas pada 2006. Pendirian SMP itu pun dalam rangka pencegahan perdagangan orang. Salah satu penyebab perdagangan perempuan dan anak itu terjadi karena anak tidak bisa melanjutkan sekolah. Penyebab lainnya adalah jarak dari rumah ke sekolah juga jauh, berjarak 5 hingga 7 kilometer dengan kondisi jalan tanah.
Pendirian SMP Terbuka itu, menurut Syarifudin, dibantu Yayasan Kusuma Buana Jakarta dengan didukung Indo ACT dan Terres des Hommes Nederland. ”Jadinya kami bertiga (Syarifudin, Sukim, dan Nono) ini mencari-cari siswa. Anak yang enggak sekolah harus jadi sekolah. Kami sampai harus membelikan baju seragam. Akhirnya kerja sama dengan pemerintahan desa untuk mencari anak-anak yang tidak sekolah. Makanya visi misi sekolah itu agar mereka tidak diperdagangkan dan anak Bongas sekolah semua,” terangnya.
Menurut Syarifudin, anak-anak yang sekolah di SMP Terbuka Kusuma Bongas tak hanya diberikan pendidikan yang layak. Mereka juga dipantau perkembangan pendidikannya setelah lulus dari SMP itu. ”Kami pantau terus ketika mereka mau melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Hingga sekarang ada 4 sampai 5 sarjana yang lulus dari SMP Kusuma Bongas. Ada yang jadi guru, ada pula yang kerja di Jakarta, di bengkel. Ada juga yang kerja di garmen,” katanya.
Hingga kini di Kecamatan Bongas berdiri 30 SD, 11 SMP, 2 SMA, dan 7 SMK. Tumbuhnya sekolah-sekolah ini menyebabkan masing-masing sekolah saling berebut siswa. ”Nah, misi kita akhirnya selesai juga. Bahkan, SMP kita (SMP Terbuka Kusuma Bongas), dibuat jadi persaingan mereka. Terakhir 2017, SMP Terbuka Kusuma Bongas ditutup,” katanya.
Namun, kerja memberikan pendampingan tidak usai. Kusuma Bongas yang akhirnya berbadan hukum sebagai yayasan pada 2011, menurut Syarifudin, tetap memberikan pendampingan dan pendidikan bahayanya perdagangan anak dan perempuan, termasuk penularan HIV-AIDS sebagai dampak eksploitasi anak dan perempuan untuk prostitusi. Pendampingan itu terus diberikan secara rutin hingga saat ini.
Dengan adanya intervensi berupa pendidikan ini, berdasarkan catatan Yayasan Kusuma Bongas, perdagangan orang di Kecamatan Bongas bisa terus ditekan. Selama 2016-2018, ada 32 anak dan orang dewasa di kecamatan itu yang menjadi korban perdagangan orang, dan mayoritas adalah perempuan. Di masa sebelumnya, menurut Syarifudin, jumlah warga Kecamatan Bongas yang terjerat perdagangan orang jauh lebih banyak.
Syarifudin mengungkapkan, daerah yang telanjur warganya dijadikan obyek perdagangan orang, seperti Kecamatan Bongas, itu akan menghadapi permasalahan yang pelik. Selain eksploitasi terhadap perempuan dan anak semakin mudah terjadi, perilaku warganya juga akan semakin konsumtif. Menurut dia, beberapa orang yang diketahui terjerat sebagai korban perdagangan orang itu dilatarbelakangi oleh motif konsumerisme.
Jadinya kami bertiga (Syarifudin, Sukim, dan Nono) ini mencari-cari siswa. Anak yang enggak sekolah, harus jadi sekolah. Kami sampai harus membelikan baju seragam. Akhirnya kerja sama dengan pemerintahan desa untuk mencari anak-anak yang tidak sekolah. Makanya visi misi sekolah itu agar mereka tidak diperdagangkan dan anak Bongas sekolah semua.
”Kenapa korban-korban itu masih ada saja, kenapa demikian? Karena, satu, orang-orang yang terjerat menjadi korban perdagangan orang itu berasal dari daerah terpencil, jauh dari jangkauan informasi. Kedua, mereka berasal dari keluarga miskin, ada kebutuhan (hidup) yang harus dipenuhi. Selain itu, ada persaingan hidup, konsumerisme hidup,” jelasnya.
Jika ditemukan perdagangan orang mulai muncul di salah satu daerah, menurut Syarifudin, sangat penting untuk ditangani segera. Jangan sampai dibiarkan praktik perdagangan orang itu dibiarkan seperti di Kecamatan Bongas. Karena jika praktik itu sudah mengakar maka anak dan perempuan di daerah itu rawan dieksploitas. ”Kalau sudah mengakar, akan sulit dihilangkan,” katanya.
Seperti Kecamatan Bongas, menurutnya, kini menghadapi masalah penularan HIV-AIDS. Mulanya penyakit itu diderita oleh warga yang dijual ke tempat prostitusi. Namun kini, penularan HIV-AIDS ditemukan pada ibu rumah tangga yang diduga tertular dari suaminya. Hingga kini, di Kecamatan Bongas ada 290 orang yang tertular penyakit itu.
”Makanya sosialisasi dan pendidikan bahaya perdagangan orang, dan penularan HIV-AIDS, ini tak pernah berhenti. Sosialisasi itu diberikan secara rutin kepada para siswa sekolah di kecamatan ini,” katanya.
Syarifudin
Ketua Harian Yayasan Kusuma Bongas
Pendidikan: Sarjana Bahasa Inggris