13 RW Kumuh di Jakarta Selatan Jadi Sasaran Program CAP
›
13 RW Kumuh di Jakarta Selatan...
Iklan
13 RW Kumuh di Jakarta Selatan Jadi Sasaran Program CAP
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 13 rukun warga kumuh di Jakarta Selatan menjadi target penataan kampung dalam program Community Action Plan (CAP) 2019. Penataan kampung kumuh ini diharapkan tidak hanya sekadar program mempercantik kawasan, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup warga.
Kepala Suku Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman Jakarta Selatan Herry Poernama, Kamis (1/8/2019), mengatakan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2017, ada 11 variabel RW kumuh.
Variabel tersebut yaitu kepadatan penduduk, kepadatan bangunan, kualitas bangunan buruk, ventilasi dan pencahayaan buruk, jamban buruk, frekuensi ambil sampah, cara buang sampah, kondisi saluran air, permukaan jalan, pola penataan bangunan, dan penerangan jalan umum.
Penataan permukiman kumuh meliputi aspek fisik lingkungan, aspek sosial, dan aspek ekonomi. ”Kami punya konsultan di sembilan kelurahan yang mendampingi warga memetakan masalah. Konsultan ini juga menyelenggarakan diskusi grup terarah (FGD) bersama warga untuk mencari solusi masalah mereka,” ujar Herry.
Kampung-kampung yang menjadi sasaran CAP di antaranya Kelurahan Ragunan, Pejaten Barat, Pejaten Timur, Kebayoran Lama Selatan, Kebayoran Lama Utara, Cipulir, Cilandak Barat, Gandaria Selatan, dan Pondok Pinang. Pendampingan oleh konsultan dilakukan selama sembilan bulan.
Selama pendampingan, mereka juga akan dibantu membuat detail engineering detail (DED) penataan kampung. Adapun proyek fisik penataan kampung baru dimulai tahun 2020.
”Anggaran untuk sewa konsultan ini sekitar Rp 400 juta untuk setiap kelurahan,” kata Herry.
Sejumlah konsultan pendamping warga di kampung kumuh mengungkapkan, masalah yang ditemui di kampung kumuh di antaranya drainase, ketersediaan ruang terbuka hijau, dan banjir.
Farid, konsultan warga Pejaten Timur, mengatakan, di wilayah ini ada tiga RW yang masuk program CAP, yaitu RW 005, 007, dan 008. Isu yang muncul yaitu normalisasi Kali Ciliwung dan ketersediaan ruang terbuka hijau. Kawasan ini memang berada di bantaran Kali Ciliwung dan langganan banjir. Beberapa lahan rumah milik warga sudah dibebaskan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Namun, beberapa warga memilih bertahan.
”Jika normalisasi Kali Ciliwung dijalankan, ada sebagian RT yang hilang di sana. Masalah kekumuhan wilayah justru terselesaikan dengan program normalisasi kali,” kata Farid.
Herman, konsultan di Kebayoran Lama Selatan, menemukan masalah serupa di RW 011 dan RW 006. Di wilayah itu, masalah yang muncul yaitu banjir akibat luapan Kali Grogol. Kali yang dulu lebarnya 20 meter, kini tinggal tersisa 2,5 meter. Secara topografi, kampung berada di ketinggian yang sama dengan air sungai. Akibatnya, air hujan mudah meluap ke permukiman warga.
”Selain itu, sanitasi warga di sini juga masih buruk karena sebagian besar tidak punya septic tank (tangki septik) dan masih membuang kotoran ke kali,” kata Herman.
Wakil Wali Kota Jakarta Selatan Isnawa Adji mengimbau para konsultan, lurah, dan camat agar lebih kreatif mengusulkan program penataan lingkungan di wilayah kumuh. Jangan sampai program yang dibuat hanya meniru program sebelumnya dan tidak berdampak pada warga.
Menurut Isnawa, inspirasi penataan lingkungan bisa didapatkan dari berbagai sumber, misalnya dari program serupa di luar negeri. ”Program penataan kali, misalnya, jangan hanya terbatas pada pemasangan turap beton. Coba contoh penataan kali di Korea Selatan. Kalau memang usulannya bagus dan realistis, pasti bisa dilaksanakan,” kata Isnawa.