Kapuas, Eksotika yang Merana
Sungai Kapuas, Kalimantan Barat, dikenal sebagai sungai terpanjang di Indonesia, mencapai 1.143 kilometer. Sungai itu berjasa bagi peradaban masyarakat tatkala jalur darat belum ada dan merupakan sumber inspirasi budaya. Kini, Kapuas perlahan terpinggirkan.
Aktivitas pertambangan emas ilegal merajalela, sampah di mana-mana. Kapuas tak ubahnya sebuah eksotika yang merana. Perahu cepat bermesin 40 PK yang membawa Kompas perlahan meninggalkan dermaga kota Sintang, Kalimantan Barat, Minggu (30/6/2019) pagi.
Udara terasa sejuk. Sungai Kapuas masih tenang dengan pemandangan rumah-rumah penduduk dan lanting di pinggirnya. Baru sekitar 15 menit meninggalkan dermaga, pemandangan sontak berubah. Deretan alat untuk menambang emas berjejer di tepi sungai. Alat menambang yang terdiri dari mesin dan pipa penyedot itu ditempatkan di rumah rakit di tepi sungai.
Di salah satu lokasi, alat menambang emas secara ilegal diletakkan di tengah-tengah Sungai Kapuas. Perahu untuk melintasi jalur itu harus melewati tepi. Ada puluhan alat untuk menambang emas di situ.
Bantaran Sungai Kapuas juga banyak longsor akibat pertambangan emas ilegal. Bahkan, bantaran ada yang hilang 10-20 meter ke arah daratan. Kondisi itu ditemukan di sejumlah lokasi bantaran sungai sepanjang 20 km. Namun, lokasinya terpencar di banyak tempat.
Alat penambang emas, selain berada di sungai, juga terletak di bantaran. Bahkan, ada yang sedang melakukan aktivitas penambangan yang merusak bantaran dan aliran Sungai Kapuas.
Pohon di bantaran Kapuas banyak yang tumbang ke sungai. Sebab, pohon-pohon itu menjadi tempat mengikatkan tali rakit yang berisi alat menambang emas. Ada pula kayu yang tumbang akibat bantaran sungai yang longsor.
Selain aktivitas pertambangan ilegal, ada pula perkebunan sawit di bantaran Kapuas. Jarak tanam hanya beberapa meter dari sungai. Harusnya minimal 50-100 meter dari sungai. Hal itu berpotensi mengotori sungai karena pupuknya bisa menyebar ke sungai.
Wajah Kapuas seperti itu baru ditemui di salah satu lokasi saja dari 1.143 km total panjang Kapuas. Diduga kondisi Kapuas yang memprihatinkan itu terjadi tidak hanya di Sintang, tetapi juga di sepanjang Kapuas. Kapuas melintasi sejumlah kabupaten/kota, hulunya di Kabupaten Kapuas Hulu, kemudian melintasi Sintang, Sekadau, Sanggau, dan di hilir di Kota Pontianak.
Pada akhir 2018 saat Kompas mengunjungi wilayah paling hulu dari Kapuas Hulu, penambangan emas sudah terjadi sejak di hulu. Di sana juga ditemui banyak lanting berisi alat penyedot emas. Sejak dari hulu, air Kapuas sudah berwarna kekuningan. Suara mesin penyedot emas menggema di berbagai sudut bantaran Kapuas.
Kapuas juga tak ubahnya seperti tong sampah. Banyak sampah ditemukan di Kapuas, mulai dari hulu hingga hilir. Berbagai macam sampah ada di sungai, dari plastik hingga sampah rumah tangga.
Memprihatinkan
Kondisi yang memprihatinkan seperti itu terjadi di banyak daerah aliran sungai (DAS) di Kalbar. DAS di Kalbar termasuk Kapuas sudah kritis. Data dari Balai Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung Kapuas, dari sekitar 14 juta hektar luas DAS di Kalbar, sekitar 1 juta hektar sudah kritis. Sebagian besar yang kritis di DAS Kapuas.
Namun, berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar, DAS Kapuas dan sub-DAS Kapuas saja luasnya sekitar 10 juta hektar. Klaim Walhi, dari luasan itu DAS Kapuas dan sub-DAS Kapuas yang sudah kritis sebetulnya mencapai 70 persen.
Direktur Eksekutif Walhi Kalbar Anton Widjaya mengatakan, DAS di Kalbar memang sudah kritis karena banyak dibebani izin perkebunan. Selain itu, pertambangan emas ilegal. Khusus di DAS Kapuas tahun 1990-an sudah banyak.
Kritisnya DAS Kapuas berdampak pada 1,7 juta penduduk di kabupaten/kota yang dilintasi Sungai Kapuas. Air sungai yang awalnya digunakan sebagai sumber air bersih, perikanan, dan transportasi lambat-laun tidak dapat diandalkan karena tingginya tingkat pencemaran. Bencana banjir pun kerap terjadi di daerah-daerah sekitar DAS karena DAS rusak dan mengalami pendangkalan.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Perumahan Rakyat Provinsi Kalbar Adi Yani dalam beberapa kali kesempatan mengatakan, kualitas air Sungai Kapuas di bawah standar baku mutu. Jika ingin dipergunakan, air perlu diolah.
Perlahan tersingkir
Sungai Kapuas dahulu sangat vital karena menjadi jalur transportasi utama, terutama saat jalan darat belum ada. Bahkan, para misionaris yang salah satunya membawa misi pendidikan bagi orang-orang pedalaman juga menggunakan transportasi sungai.
Direktur Sintang Freshwater Care Rayendra mengatakan, Kapuas dahulu merupakan urat nadi perekonomian karena menyediakan sumber daya ikan bagi masyarakat. Selain itu, jalur transportasi utama orang dan barang dari pedalaman ke kota sebelum jalur darat dibangun. Sintang Frashwater Care adalah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang advokasi lingkungan, khususnya perairan darat dan bentang alam.
”Sungai bahkan menjadi inspirasi budaya. Banyak muncul kebudayaan sungai di masyarakat yang mendiami bantaran Kapuas. Inspirasi budaya itu muncul karena masyarakat sangat menghargai sungai. Sebab, begitu pentingnya sungai bagi mereka,” tuturnya.
Namun, setelah jalan darat ada, perlahan sungai dipinggirkan. Muncul budaya baru dalam perekonomian dengan adanya pertambangan emas ilegal di Kapuas. Bahkan, perkebunan sawit pun ada di sekitarnya sejak tahun 1990-an.
Kondisi seperti itu mengancam sektor perikanan sungai. Apalagi, masih banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari perikanan. Ada daerah yang menjadi andalan sebagai pemasok ikan.
Tak bisa diandalkan
Bupati Sintang Jarot Winarno mengatakan, Kapuas mengalami sedimentasi. Hal itu terlihat dari perubahan fisiknya. Kapuas masih jadi sumber air baku Perusahaan Daerah Air Minum. Namun, melihat kondisi Kapuas yang tidak bisa diandalkan, pihaknya telah menyiapkan alternatif sumber air baku dari Bukit Saran. Perlu upaya bersama untuk mengatasi masalah Sungai Kapuas.
Kepala Balai Pengelola DAS dan Hutan Lindung Kapuas Evi Budiaryanti mengatakan, DAS Kapuas memang sudah kritis. Wilayah di hilir saja sering terjadi banjir. Hal itu sinyal adanya kondisi kritis di hulu. Airnya juga keruh.
”Kami telah melakukan upaya rehabilitasi. Namun, laju degradasi lebih cepat daripada upaya rehabilitasi. Rehabilitasi memerlukan waktu yang lama karena proses pohon tumbuh memerlukan waktu,” ujar Evi.
Pada 2017, upaya rehabilitasi sudah dilakukan di DAS Kapuas seluas 800 hektar. Pada 2018, juga dilakukan seluas 300 hektar. Kemudian, dilanjutkan pada 2019 seluas 11.000 hektar. Rehabilitasi dilakukan dengan penanaman pohon yang bernilai ekonomi, misalnya jengkol dan petai. Ada juga pohon tengkawang. Upaya rehabilitasi dilakukan berkelanjutan.
Rehabilitasi itu dilakukan di kabupaten-kabupaten yang dilintasi Kapuas dengan melibatkan berbagai pihak. Pelibatan itu tidak hanya dari unsur pemerintah daerah, tetapi juga masyarakat. Oleh sebab itu, tanaman yang ditanam juga harus bernilai ekonomi bagi masyarakat.